Aplikasi MyPertamina, Tepatkah?

Dok. Pribadi

“Indonesia itu terbuat dari sebuah kemewahan yang sederhana: kita. Kita yang berbeda, mengeluh, berharap, mengumpat dan sesekali bersyukur. Indonesia, tiap hari seperti dijarah oleh regulasi yang menyudutkan rakyatnya, pebisnis curang, monopoli, birokrat pencuri dan oligarki. Jika kita berputus asa, kita ikut berdosa.”

Pagi. Masih mengantuk. Setiap pagi aku selalu menyeruak dengan perkasa. Menghempaskan rasa kantuk dan buaian mimpi yang selalu akrab menyertai.

“Lebih baik mengantuk, dari pada sepenuhnya terjaga dan mengetahui ada aplikasi bernama MyPertamina,” gumamku.

Aku meraih selimutku dan kemudian membungkuskannya pada tubuhku. Barangkali 6 atau 7 hembusan nafas, aku tertidur lagi. Pulas sekali. Ya, selain nyruput kopi dan kumpul istri, nikmat yang tiada tara lainnya adalah tidur pagi.

Negeri ini, semakin hari, membuat peraturan yang selalu memakai dalih akan berpihak kepada rakyat, namun praktinya nyaris tak pernah senada, tak jarang malah sebaliknya. Baru saja kemarin, tepatnya 1 Juli 2022, secara resmi peraturan; yang jika ingin membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis pertalite dan solar, wajib menginstall kemudian mendaftar di aplikasi MyPertamina. Ya, sekali lagi, dalihnya agar subsidi tepat sasaran.  BBM jenis pertalite dan solar pun menjadi barang ekslusif akhir-akhir ini.

Peraturan ini, entah sejak kapan digodok, namun seperti mak bedunduk, tanpa sosialisasi yang massif dan seperti tanpa aba-aba yang nyata, sudah diterapkan saja. Sejauh mana peraturan ini dimengerti rakyat? Sejauh apa sosialisasinya? Itu pertanyaan yang kiranya sudah pasti bisa dijawab oleh pihak para pemangku kebijakan.

Namun, sehubungan dengan itu, pemakaian aplikasi MyPertamina ini tampaknya makin rumit dan ruwet dan juga ndak efektif blas.

Jika kamu mencoba unduh aplikasi ini dan kemudian mendaftarkan diri, pertama; kamu diminta untuk menyiapkan KTP, STNK, foto kendaraan dan dokumen pendukung lainnya (entah apa saja itu). Kedua; kamu harus menunggu konfirmasi selama 7 hari. Nah, sembari menunggu, kamu dianjurkan untuk mengecek secara berkala di aplikasinya. Dan jika sudah dikonfirmasi, kamu akan dikasih kode QR. Nah, kode itulah yang nantinya akan kamu gunakan untuk membeli pertalite dan solar. Entahlah, apa itu kode QR?

Baca Juga:  Berkah Lupa dan Ingatan - Ingatan; Esai R.K. Narayan

Kalau iya niatnya ingin mengatur penyaluran BBM subsidi tepat sasarn, kenapa ngga Pertamina saja yang memprakarsai bikin sebuah sistem yang memastikan bisa melihat siapa saja yang layak dan boleh beli BBM bersubsidi. Bukan sebaliknya, ye ka? Masak iya, pelanggan malah dibuat repot? Lupa ya, kalau pelanggan itu adalah raja.

Aduh, saya yang mulanya tertidur, akhirnya bangun kembali karena terusik dengan berita-berita MyPertamina yang berseliweran di mana-mana belakangan ini. Percaya atau tida, berita itu sampai mencuat dalam mimpi.

Sebagai informasi, belum genap setahun yang lalu, tepatnya pertengahan Juli 2021, rakyat kita sudah mulai ketar-ketir dengan kebijakan Electronic Traffic Law Enforcment (ETLE) alias tilang elektronik. Bahkan ada sebuah unggahan di sosmed belum lama ini; beredar sebuah postingan yang menunjukkan sebuah surat tilang yang diberikan kepada seorang pengendara sepeda motor, sesaat setelah  ia berkendara di jalan perkampungan antar desa dan hendak ke ladang miliknya yang dekat lereng gunung. Dalam surat tilang itu, pengendara dianggap melanggar peraturan lalu lintas karena tak memakai helm dan pelindung kaki.

Tak sedikt warganet menganggap hal itu sebuah yang nyeleneh. Bagaimana mungkin orang yang biasanya memang bekerja sebagai petani dan setiap hari ke ladang yang berada di lereng gunung dengan sepeda motor itu musti memakai helm dan sepatu? Jarak rumahnya menuju sawah tak kurang dari 2 km dan sudah tentu ngga ada lampu bangjo atau sebuah perempatan yang selalu sibuk dan ramai seperti halnya di daerah perkotaan.  Lagi pula ladangnya yang berada di lereng gunung itu pun jaraknya dari perkumiman 1 km lebih.

Baca Juga:  Membaca Tradisi Menulis di Pesantren

Terlepas hal itu, saat ada kebijakan baru yang mewajibkan menginstall MyPertamina bagi pemilik kendaraan roda 4 ke atas, idealnya kan ya ngga usah meng-install aplikasi itu lagi. Untuk mencari data para pelanggan setia pertamina dan supaya subsidi itu tepat sasaran, kan bisa meniru polisi yang menilang pengendara yang hendak ke sawah tadi. Semua datanya sudah dikantongi kan?

Belum lagi KTP? Nah, di KTP kan ada NIK, itu konon semua data pemilik KTP sudah tertera dan diketahui oleh pemerintah. Kan bisa disinkronkan? Begitu pun STNK, semua datanya sudah gambalang bukan? Itu terbukti dengan setiap surat ‘cinta’ yang dikirim ke alamat pelanggar rambu lalu lintas. Seperti Pak Dhe Petani tadi.

Gini lho, kami yang warga ndeso dan meski tak punya kendaraan rudo papat ini juga bertanya-tanya dan sedikit ikut kesal, gitu.

Di saat di luar sana banyak aplikasi ‘swasta’ yang begitu simpel dan memudahkan segala urusan masyarakat, nah masak iya, engkau yang para terhormat, para pembuat aplikasi ‘negeri’ mau kalah efektif dan efisien dengan yang swasta? Itu pertama.

Kedua, setahu kami, di pom bengsin itu kan tidak boleh menggunakan kamera dan  ponsel kan ya? Nah lhoh? “Kamu yang berjanji, kamu yang mengingkari?” Aplikasi yang kau wajibkan install itu sudah pasti menyalahi aturan yang kamu buat itu, ya kan? Karena ponsel pintar kami, yang bakal mengunduh dan mendaftar aplikasi MyPertamina pasti mempunyai kamera sekaligus.

Selanjutnya, kami warga desa yang tak seberapa mengerti tentang minyak bumi dan BBM, yang katanya; negeri kita ini adalah salah satu pemasok terbesar kebutuhan minyak dunia dan stoknya diklaim masih aman sampai 19 tahun medatang, malah seakan-akan kesulitan untuk bisa mencicipi harumnya bau knalpot karena bengsin.

Kalau boleh nebak? Ini nebak ya, bukan suudzon. Sekali lagi nebak; Pertamina hanya ingin agar semua pengguna pertalite dan solar beralih ke pertamax kan? Dari subsidi ke non subsidi, hayoooo ngaku? Ya kan?

Baca Juga:  Indonesia Adalah Gudangnya Penulis dan Pembaca Serta Pentingnya Andil Akademisi

Keempat, mau ngga mau jika engkau tetap menetapkan aturan ini, ya itu artinya kami harus menambah lagi satu anggaran untuk keperluan isi bengsin. Yakni paket data internet.

Terakhir, betapa ewoh-nya kami, terutama yang generasi old para supir truck dan tepak jika mau beli bengsin dan solar. Untuk mengoperasikan HP tulit-tulit saja itu susahnya sudah nadzublillah mentok ya nelpon dan angkat telpon, lha ini kok malah mau pakai gawai. Atau bagi yang belum punya gawai, artinya harus beli gawai dulu dong. Kalau yang ngga sanggup mau beli gawai, apa iya harus ke warnet untuk mengunjungi web aplikasi itu? Warnet mana ya yang buka?

Tapi ngga papalah, kami ini–bagaimana pun tetap raja. Raja yang mewakilkan kepada kalian para pembuat kebijakan di sana. Kami tak akan putus asa, setidaknya kami akan tetap memercayaimu duduk, berdebat, haha hihi, fa fi fu dan ba bi bu untuk menggodok ribuan kebijakan lagi.

Rasanya, Indonesia tiap hari hampir dijarah oleh regulasi yang menyudutkan rakyatnya, pebisnis curang, monopoli, birokrat pencuri dan oligarki. Jika kita berputus asa, kita ikut berdosa.

Indonesia itu terbuat dari sebuah kemewahan yang luar biasa: kita. Kita yang berbeda, mengeluh, berharap, mengumpat dan sesekali bersyukur.

Pagi, Klampok 2 Juli 2022

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *