Tulisan ini merespons keputusan Gubernur Jatim, Soekarwo, yang Selasa (6/3/2018) lalu mengganti dua nama jalan di Surabaya. Jalan Dinoyo diganti Jalan Sunda, dan Jl Gunungsari diganti Jl Prabu Siliwangi.
Duh… catet ya, saya tidak pada posisi menolak nama penggantinnya. Tapi kegemaran mengganti nama jalan adalah perbuatan yang tidak pantas. (bahasanya lebih halus dari judulnya -Lancang-)
Tau nggak sih….. nama jalan bukan sekadar plang nama di ujung jalan. Nama jalan termasuk nama kampungnya adalah pembentuk sebuah identitas. Bahas kerennya brand. Dia tidak muncul mak bedunduk atawa tiba-tiba, asal keren aja, atau bahkan ngikutin tren.
Dia dibangun dari kearifan lokal, dilahirkan dari kesepakatan bersama dari orang-orang sekitarnya. Dari sejarah panjang yang menyertainya. Dinoyo misalnya, dia sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Catatan saya tahun 1848 ketika tuan tanah Arab membeli tanah kawasan itu, namanya sudah Dinoyo. Bakal satu bab sendiri menerangkan sejarah Dinoyo.
Belum lagi Gunungsari. Saya menduga nama lawas ini muncul akibat ‘kerinduan’ Surabaya yang berdataran rendah ini akan pegunungan. Sehingga gundukan tanah dikit aja yang sebenarnya pantes disebut bukit kebablasen dinamai gunung. Seperti juga gundukan tanah yang ditumbuhi pohon waru disebut Waru Gunung. Atau nama Gunung Anyar di Surabaya timur, ini baru ada tahun 1920 akibat tiba-tiba muncul fenomena minyak bumi yang menyembur (lebih tepatnya ndledek).
Tidak hanya Jl Dinoyo dan Jl Gunungsari. semua…. Saya ulangi lagi, semua, nama di kultur timur ini tidak muncul dari ruang hampa. Dia lahir karena sejarah yang menyertainya. Dia tidak sekadar nama yang keren, ikut tren. Namun ada maknanya. Lha, jangankan nama tempat. Dulu, nama orang saja ditentukan karena kekuatan identitas kultural. Jika bayi lahir pas-pasaran pon, namanya tidak jauh-jauh dari kata Ponidi, Poniem, Poniman. Kalo lahir bulan Safar juga tidak jauh-jauh dari nama Sapari, Sapardi, atau Sapariyah. Simpel, unik, namun kuat identitasnya. Bandingkan dengan nama bocah sekarang, Kesya, Nesya, Aska, Dafa, dan entah nama apa lagi yang berakhiran huruf A.
Saya yakin 80 persen ide nama itu karena membuka link populer manten anyar. “100 Nama Keren Kekinian”, atau “Rangkaian Nama Bayi Modern”. Sedangkan 20 persen sisanya, terinspirasi dari nama tokoh sinetron pujaanya.
Virus asal keren ini juga ada di penyebutan tempat. Perhatikan perumahan anyar sekarang, namanya menggelikan. Western Village, di Sememi. ini maksudnya apaaaa coba????. Daerah ujung barat Surabaya yang dikelilingi tambak bandeng, panas kalau kemarau, banjir kalau hujan, banyak kerbau. Pakai nama itu. Atau nama Palm Spring Regency. di Jambangan. (ini sih perumahan tempat tinggalku). Duh. apa-apaan lagi ini. Tau nggak sih? Surabaya ini sejak jaman Dinosaurus hanya dikenal dua musim. Lha ini kok tiba-tiba ada tempat pakai nama yang arti harafiahnya pohon Kelapa musim semi. ???
Saya tahu Gubernur sedang mengikuti tren. Setelah rekonsiliasi kebudayaan antara Jawa dan Sunda, (lebih jelasnya baca link2 berita2nya). Yogyakarta memulai, Surabaya mengikuti.
Mengganti nama jalan kok mengikuti trend. Emangnya Maulidia Octavia yg kemudian tersohor dipuja2 ikut tren teman2nya namanya diganti jadi Via Vallen. Dewi Muria Agung jadi Dewi Perssik.
***
Kembali ke soal keputusan penggantian nama Jl Dinoyo dan Jl Gunungsari. Pak Gubernur….. mbok ya o, bapak ini menghargai kearifan lokal, menghormati leluhur. Mungkin untuk soal penghormatan leluhur, kita harus belajar pada penjajah. Lho? Begini ya. sepengetahuan saya, Belanda ketika menguasai negeri ini, Tidak pernah lho mengganti nama jalan bahkan lingkungan yang sebelumnya sudah punya brand lokalnya. Jl Tunjungan, Jl Gemblongan, Jl Bubutan, Jl Keputran, Jl Kupang, Jl Kedungdoro, Jl Kramat Gantung, Jl Undaan. Sudah ada sejak sebelum Belanda datang dan tetap ada setelah Belanda hengkang. Tidak pernah diutak-atik blas gadas. Bahkan nama lokal, seperti Darmo, Gubeng, Ondomohen, Jimerto, dilestarikan jadi nama jalan perumahannya.
Kalau ada nama jalan beraroma Belanda, itu dibuat untuk jalan baru yang dibangun Belanda, seperti kawasan Darmo, atau daerah Jembatan Merah. Konyolnya, justru ketika Indonesia merdeka, banyak nama lokal diganti oleh bangsa sendiri. Jl Kaliasin jadi Jl Basuki Rahmad, Jl Ondomohen jadi Jl Walikota Mustajab, Jl Pelampitan jadi Jl Ahmad Jais, Jl Simpang jadi Jl Gubernur Suryo. Sekali lagi bukan soal apa nama penggantinya.
Maka, kenapa saya terpaksa menyebut lancang keputusan mengganti nama jalan ini. Sebab nama jalan -termasuk nama kawasan- adalah identitas yang diciptakan dan disepakati bersama. Itu artinya, brand ini telah menjadi milik publik. Fungsi negara adalah mencatatkan, mengesahkan dan yang agak seriyes ya membuat plang jalan. Seperti Kantor Catatan Sipil-lah. Emang ada Petugas Catatan Sipil mengubah nama orang? Saran saya sih ya, kalau gak bisa bikin jalan baru, jangan bikin gara-gara di jalan lama.
Contohlah Pemkot Surabaya. Bikin jalan baru dulu di lingkar timur, kemudian menetapkan nama jalan yang sebelumnya MERR ini jadi Jl Ir Sukarno. Saran saya selebihnya, ya saya berdoa semoga segera ditemukan jalan yang lurus.
Gitu aja deh sementara. Selebihnya ayo protes bareng. Kita tolak rame2, Biar dibatalkan.
Kalau Anda seide dengan saya silahkan dishare! gratis 🙂