Pramoedya Ananta Toer meninggal pada 30 April 2006 silam. Setelah 14 tahun, penulis kelahiran Blora 6 Februari 1925 tersebut, tetap hidup dan diperbincangkan banyak cendekiawan. Karya-karyanya terus diburu pembaca, baik cetakan lama maupun baru. Harga buku-bukunya terus melambung. Satu buku bisa di atas Rp 1 juta. Pun buku bajakannya kian menggila.
Saya tentu bukan pembaca buku-buku Pram yang baik. Saya pembaca yang terlambat datang. Jadi, saya tidak akan berani menyebut diri ‘pembaca buku Pram’ , tapi saya cuma belajar membaca Pram. Tulisan ini pun bukan bermaksud menunjukkan bahwa saya menyukai karya-karya Pram. Saya hanya ingin menceritakan pertemuan saya dengan buku-buku Pram yang jauh dari lengkap.
Saya lebih dulu membaca daripada membeli buku Pram. Buku Bumi Manusia hingga Rumah Kaca saya baca sekitar 2009. Saat itu, tentu saya tidak mempunyai satupun koleksi. Pernah pada suatu ketika di tahun 2000 an, saya ditawari buku empat jilid tersebut. Tapi sayang, dompet saya tidak tebal. Apalagi saya masih berstatus mahasiswa kere waktu itu.
Empat buku seri Pulau Buru menjadi pembuka. Saya mengamini perjumpaan seseorang dengan buku yang kemudian menyeretnya untuk lebih masuk ke dunia buku adalah takdir. Tuhan pasti mengaturnya. Demikian juga saya dan buku Pram.
Saya mengumpulkan satu demi satu buku Pram dengan kantong cekak. Bersyukur, saya mendapatkan buku Pram tidak dengan harga yang melangit. Paling mahal buku Pram yang saya beli adalah ‘Hoakiau di Indonesia’ cover merah cetakan pertama tahun 1960. Pram masih menggunakan nama Pramudya Ananta Toer bukan Pramoedya Ananta Toer yang penulisannya populer. Harga buku tersebut Rp 150.000
Artinya, semua buku Pram yang saya punya tidak ada yang harganya di atas Rp 150.000. Saya hafal satu demi satu buku harga buku Pram saat saya beli. Arus Balik cetakan ke-5 tahun 2002 saya beli Rp 90.000 di lapak buku bekas. Saya beli tahun 2012 ketika harga buku itu bisa di atas Rp 500 ribu.
Ada kisah kecil mengiringinya. Saat itu, saya di Bojonegoro dan tiba-tiba pengen sekali ke Surabaya. Lalu dengan uang pas-pasan, saya meluncur ke Surabaya. Tak ada tujuan lain selain mencari buku. Baru saja sampai di lapak-lapak buku bekas di Jalan Semarang, saya dipanggil seorang penjual dan diberitahu bahwa ada buku-buku Pram. Saya mendekat. Buku Arus Balik dan Anak Semua Bangsa masuk ke tas.
Beberapa buku lain saya dapat dari banyak cara, membeli online, pemberian teman, hingga dapat dari penjual di lapak buku Pasar Senen Jakarta. Saya ingat, dua buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa edisi Pembebasan, yang ada poto Pram pakai kopyak di sampul belakang, saya beli dari Senen. Harganya masing-masing Rp 50.000.
Satu buku pemberian seorang kawan adalah Tjerita dari Blora terbitan Balai Pustaka cetakan 1963. Saya girang sekali mendapatkannya. Pemberian itu tertanggal 13 Nopember 2012. Dan tak berselang lama, saya mendapatkan buku sama cetakan berbeda, yakni cetakan Hasta Mitra ke-3 tahun 2001. Beberapa buku Pram saya biarkan dobel di rak buku.
Saya juga mengoleksi beberapa buku tentang Pram. Seperti Pram dan Cina (2008), Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (2008), Setelah Politik Bukan Panglima Sastra (2009), Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (1999), Bersama Mas Pram (2009).
Saya tidak pernah bertemu ataupun pergi ke rumah Pram di Blora. Saya cuma membacai buku-bukunya. Itupun sebagai pembaca yang terlambat datang. Ketika orang-orang sudah banyak membincang pikiran-pikiran Pram, saya mungkin baru mengenal satu-dua bukunya.
Meski begitu, Pram hidup dalam imajinasi saya. Imajinasi yang terbangun dari buku-buku yang saya baca. Baik pikiran Pram yang diungkapkan oleh Pram sendiri, maupun perspektif orang tentang Pram.
Pram adalah sosok yang keras, pendiriannya teguh. Saat ditanya tentang idelogi, dia menjawab: “ideologi ditanamkan dalam diri saya oleh keluarga , yaitu cinta akan keadilan, kebaikan dan alam, serta nasionalisme…..Jika saya melakukan kesalahan, maka saya akan mengakuinya.” (dalam buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir, hal: 146). Tak heran jika Pram mengaku tak pernah mempelajari Marxisme Komunisme, karena dia punya ideologi sendiri.
Pram beberapa kali masuk nominasi Piala Oscar. Konon, pengusul awal adalah Parakitri. Dalam buku Analisa Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer (Nur Cayaha, 1981), Parakitri menulis “alangkah luasnya pengetahuan yang dibutuhkan oleh Pramoedya dalam menulis novel yang luar biasa ini. Alangkah dalam dicernakannya hakikat zaman akhir abad XIX, zaman samasekali belum terjamah oleh sastra Indonesia hingga hari ini”. (hal:46)
Al-akhir, Pramoedya adalah idola banyak anak muda. Meski tentu saja banyak orang mengkritiknya. Wajar. Hidup seseorang tak mungkin serba putih, dan tak mungkin pula selalu hitam. Tapi yang saya selalu ingat, Pram pernah berkata bahwa di Indonesia ini orang bebas menindas, tapi belum bebas untuk tidak ditindas. Sayang, saya lupa itu saya baca dari teks wawancara di buku mana. Salam.