(FIKSI)
Berkali-kali aku memelototi barisan buku. Tetap tidak menemukan sesuatu yang menarik. Rasanya datar. Tak ada getaran apapun sebagaimana biasa saat bersua buku apik. Tanganku merayapi punggung buku. Mataku merambati judul-judul buku beraneka tema. Itu kulakukan bolak-balik, dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan.
Senja menjelang. Aku belum bermaksud beranjak keluar dari ruangan ini. Hatiku masih di sini. Tak ingin pergi cepat-cepat.
“Kau boleh membawanya kapanpun dan membacanya. Kau tidak mengembalikan bukupun tak mengapa. Kami tidak akan memungut denda.”
Aku masih ingat kata-kata itu diucapkan laki-laki tua yang sering menyambutku di ruang ini. Laki-laki berambut putih yang sering ditutupinya dengan peci putih. Waktu itu aku berdiri di sini, tanganku memegang satu buku. Dan laki-laki itu duduk di balik meja sambil menyampuli buku. Kira-kira tiga meter dari posisi berdiriku.
“Yang buku-buku itu, bisa dibeli. Kalau yang ini bisa diambil gratis. Kalau yang sampean pegang itu, boleh dipinjam dan dibawa pulang. Dan seperti kataku tadi, kalau hilangpun, kami tak akan memungut denda,” katanya waktu itu sambil tangannya menunjuk ke buku-buku yang dimaksud.
Perpustakaan ini terbilang unik. Menurutku paling unik sedunia. Jika dipandang selintas saja, perpustakaan ini tak ada beda dengan perpustakaan umum lainnya. Dibilang besar juga tidak. Dibilang kecil juga tidak. Mungkin tepatnya sedang-sedang saja.
Lokasinya bukan di pusat kota. Pun bukan di daerah pelosok desa. Lebih tepatnya di di kota namun agak pinggiran. Dari jalan raya, perlu masuk gang kecil untuk sampai ke perpustakaan ini. Samping kanannya adalah hamparan sawah. Artinya, perpustakaan ini berada di ujung gang. Di samping kiri ada rumah bercat hitam. Tapi konon, rumah itu sudah kosong lebih dari lima tahun.
Yang kusebut perpustakaan ini bukan sebagaimana perpustakaan milik pemerintah daerah yang besar dan koleksi buku puluhan ribu. Perpustakaan ini adalah sebuah rumah dengan ruang tamu berukuran 6 x 9 meter yang tiap dindingnya diisi rak buku setinggi 3 meter. Semua rak penuh dengan buku-buku. Dari yang cetakan tahun sebelum Indonesia merdeka, hingga buku yang dicetak era Presiden Joko Widodo ada di rumah-perpustakaan ini.
Di tengah-tengah terdapat meja dan kursi. Meja itu berfungsi untuk tatakan aneka alat seperti gunting, kertas, pulpen, dan wadah kecil kotak yang berisi kartu anggota perpustakaan. Dari bentuk kotak kayu yang ada, sudah pasti perpustakaan ini sudah berumur tua.
Di belakang meja ada tangga menuju lantai 2. Aku tak pernah naik ke sana. Dan memang tidak diperuntukkan pengunjung umum. Mungkin rumah ini terbagi dua. Lantai 1 untuk perpustakaan, dan lantai 2 untuk tempat tinggal. Siapa saja yang tinggal di rumah-perpustakaan ini? Aku tak tahu persis.
Terakhir kali aku datang kira-kira enam bulan lalu. Waktu itu laki-laki tua itu menyambutku dengan ramah. Disurungnya air putih di gelas bening kepadaku. “Adanya air putih ini, silahkan!” katanya. Dia bercerita pendek-pendek tentang kisah hidupnya, tentang buku-bukunya.
Salah satu buku yang diceritakan adalah buku Yang Terempas dan Terkandas karya Rusman Sutiasumarga. Buku terbitan PN. Balai Pustaka pada tahu 1951 ini dikisahkannya dengan cucuran air mata. Sungguh menyayat hati, katanya.
Juga buku Sang Raja karya Iksaka Banu yang bercerita tentang Nitisemito sang raja kretek Indonesia yang melegenda. Buku ini diterbitkan KPG tahun 2017.
Kau pasti penasaran, bagaimana cara laki-laki tua itu membaca dan menyerap semua isi buku di usianya yang begitu renta.
Ah, sebaiknya kuceritakan nanti saja tentang dia dan buku-buku yang dikisahkannya. Lebih tepatnya buku-buku yang kami obrolkan. Karena terkadang, aku juga menceritakan buku-buku yang kubaca.
Setiap ketemu dia, aku menjadi riang. Seakan bersua dengan orangtuaku sendiri.
***
Prapanca. Ya, nama perpustakaan itu adalah Perpustakaan Prapanca. Aku tidak tahu kenapa namanya demikian. Nama seorang pujangga Majapahit yang merasa terasing dan kemudian menyepi di desa terpencil. Apakah laki-laki tua itu merasa dirinya terasing? Apakah dia merasa terpencil dari gegap gempita dunia? Ataukah memang ada kisah tersendiri di balik nama perpustakaan itu? Aku tidak tahu.
Aku awalnya mengenal Perpustakaan Prapanca lewat teman yang tertarik dengan cerita mistis di perpustakaan itu. Entah darimana cerita diperoleh, mungkin dari sebuah acara radio lokal yang punya program acara ‘cerita horor’ tiap malam jumat.
Di acara itu, pendengar saling berbagi cerita tentang pengalaman mistis, atau sekadar mempertanyakan ke publik tentang pengalamannya. Dan pendengar lain bisa menjawabnya. Penyiar juga terkadang memberi klarifikasi dan juga berkisah tentang hal-hal berbau mistis. Bahkan, kadang penyiar membantu pendengar, dari jarak jauh tentunya, untuk mengetahui ada atau tidaknya makhluk halus di sekitar rumahnya. Acara ini sangat disukai pendengar.
Nah, aku tidak tahu apakah temanku memperoleh cerita horor dari acara ini atau bukan, yang pasti dia sangat antusias bercerita tentang perpustakaan tersebut. Tentu pada sisi-sisi mistis yang menurut dia sungguh aneh. “Buku yang dicuri, konon akan kembali ke perpustakaan itu. Katanya lagi, penjaganya yang tua itu adalah keturunan raja. Dia sakti dan kebal senjata. Dan….”
Banyak sekali yang diceritakan temanku. Tapi aku tidak tertarik. Setidaknya saat ini. Karena aku merasa benar-benar kehilangan.
Laki-laki tua yang kuceritakan di awal, yang kata temanku keturunan raja dan punya ilmu kebal, ternyata sudah meninggal dunia. Aku terlambat mengetahui. Dia meninggal dunia dua bulan lalu. Meski bukan sanak-kadang, aku ikut merasa kehilangan.
Soal cerita mistis itu, tentu aku tak pedul. Tapi aku sangat menyukai caranya memandang buku dan kehidupan ini. Banyak kalimat-kalimatnya masih kuingat sampai sekarang.
“Buku yang dipinjam orang dan tidak dikembalikan, bukanlah hilang. Buku itu hanya berpindah tangan saja. Tidak ada yang namanya buku hilang. Di tangan siapapun buku itu akan dibaca. Jadi, jika peminjam tidak bisa mengembalikan buku ke sini, ya tidak apa-apa. Karena buku itu tentunya sedang dibutuhkan orang lain. Bukan hilang. Jangan pernah menamai ‘buku hilang’. Buku tak pernah hilang. Buku hanya berpindah-pindah dari satu pembaca ke pembaca lain.”
Di lain waktu dia berujar:
“Saya bukan pemilik buku. Memiliki identik menguasai. Bukan. Saya tak sekejam itu. Buku-buku yang ada di perpustakaan ini milik pembacanya yang terpilih. Kau boleh memiliki fisik buku, tapi apakah kau yakin mampu mengenggam erat isi buku? Mampu menemukan substansi isi buku? Jangan-jangan kau cuma bernafsu menguasai buku dan bukan menjadikannya teman.”
Tapi kini dia sudah tidak ada. Laki-laki itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Mungkin sekarang sedang bersama buku-bukunya. Aku masih ingat lagi kata-katanya yang menyitir kata-kata mutiara Arab:
Khoiru jalisin fi az-zamani kitabun. Sebaik-baik teman duduk di setiap waktu adalah buku.
Jika usai kematian tetap berada pada waktu, maka laki-laki tua itu pasti sedang bersama buku. Karena teman baiknya adalah buku-bukunya. (bersambung)
Respon (2)