Pujian Sebelum Shalat Jamaah, Tradisi Islam-Jawa yang Mulai Hilang

Ilustrasi langgar di masa lampau

Elengo poro konco/ kuwajiban kito/ anetepi dawuhing agomo// iki sasi poso/ sasi kang utomo/ kewajiban kito kudu poso// sak sasi lawase/ ra mangan ra ngombe/ esok tekan sore/ sak rampunge//

yen wes rampung poso/ sembahyang riyoyo/ podo suko suko/ kito samio// lan halal bi halal/ marang wong tuane/ tumeko marang konco-koncone

…..

Syair pendek macam ini akrab terdengar di telinga kami dari speaker musala (langgar). Tapi kami tidak menamainya syair, melainkan pujian. Ya, karena berisi puji-pujian, kepada Allah Tuhan Maha Esa, dan juga pujian untuk utusan-Nya, Nabi Muhammad SAW. Pujian juga berisi nasehat bijak bagi masyarakat. Pujian ini biasa menemani jamaah salat pada waktu usai adzan hingga menjelang iqomah. Terkadang berisi syair bahasa Jawa, tapi seringkali berbahasa Arab.

Siapa pencipta syair “iki sasi poso” di atas? Tak ada yang tahu pasti. Pujian itu seperti hadir begitu saja turun temurun, dihafal di luar kepala oleh warga kampung kami. Tentang judul saja, tak ada yang mengetahuinya. Seakan semua pujian/syair tak membutuhkan judul. Kami bebas meresapi kalimat-kalimatnya, nadanya yang “sederhana”. Apalagi jika yang melantunkan adalah seorang kakek dengan suara khas mendayu-dayu dan menggetarkan hati.

Pujian “iki sasi poso” di atas kalau diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia, beginilah artinya:

ingatlah wahai teman/ kewajiban kita/ menjalankan kewajiban agama//  ini bulan puasa/ bulan yang utama/ kewajiban kita untuk berpuasa// sebulan lamanya/ tidak makan tidak minum/ pagi sampai sore/ hingga selesai// kalau sudah selesai puasa/ salat hari raya/ bersuka ria/ semuanya// dan halal bi halal/ kepada orangtua/ juga dengan teman-teman.

Baca Juga:  Anda Jangan Pernah Menjadi Reseller Kebencian

Betapa dalam maknanya bukan?

Pada malam-malam terakhir bulan Ramadan, pujian ini lebih kerap terdengar di kampung kami. Pujian ini bersahut-sahutan menjelang salat Isya’ dan Tarawih. Di luar langgar, anak-anak bersarung dan berkopyah berlarian membawa kembang api. Ada juga yang nakal membunyikan petasan. Sedang orang-orang dewasa antre mengambil air wudlu di padasan musala.

Pujian sebelum salat jamaah di masjid ataupun musala, adalah tradisi yang kini mulai berkurang di tengah perubahan cara beragama Islam di masyarakat. Ada yang menganggapnya bidah, dan bahkan ada yang menilainya haram.

Bersyair menjelang salat jamaah pun mulai ikut hanyut bersama derap modernitas. Padahal, puji-pujian sebenarnya bukan hanya sebuah aktivitas menunggu salat saja, melainkan bermakna keakraban masyarakat, pendidikan, serta pencerahan akan nilai-nilai Islam. Masjid dan musala di kota besar, kini sudah jarang melantunkan syair-syair bahasa Arab/Jawa ini.

Islam dan Jawa sebenarnya sangat erat hubungannya dalam kesejarahannya. Prof. Bambang Pranowo, dalam ulasan di bukunya berjudul Memahami Islam Jawa memberikan sebuah contoh terkait hubungan Islam-Jawa. Di sebuah pesantren di Magelang, pada tahun 1978 hendak menggelar khataman. Acara ini sekaligus perpisahan santri yang hendak kemabli ke kampungnya dan menjadi tokoh agama. 

Baca Juga:  Arumi Bachsin: Perlu Peran Orang Tua Tingkatkan Literasi Anak

Dalam acara tersebut, pesantren itu mengundang grup seni jatilan (jaranan). Seni jawa ini, di masa lalu sangat identik dengan seni kaum abangan. Bahkan sering menghiasi acara-acara yang digelar PKI. Tapi khataman itu pun tetap berlangsung diiringi pentas seni Jatilan. (2009: 186).

Hal ini menjadi sebuah bukti bahwa hubungan (tradisi) Islam-Jawa tak terhindarkan. Masuknya agama Islam di tanah Jawa, telah banyak mengubah tradisi Jawa yang diberi polesan Islam. Sebut saja slametan, nyandran, kupatan, dan tradisi Jawa lain yang kini diberi polesan ajaran Islam.

Dan pujian menjelang salat jamaah adalah salah satu bentuk tradisi itu. Ambil saja contoh lagi pujian yang berisi doa (menurut agama Islam):

robbana aatina fiddunya hasanah/wafil akhiroti hasanah/ wafil akhiroti hasanah/ hasanah// waqina adza bannaar.

Pujian ini diawali bait berbahasa Arab, namun dalam bait selanjutnya menggunakan bahasa Jawa yang tak lain arti dari doa bahasa Arab tersebut. Yakni:

duh gusti kulo nyuwun keslametan/ slamet dunyo akherat// duh gusti kang welas kang asih/ nyuwun slamet donya akherat.

Dalam tradisi Islam di Jawa, doa tersebut akrab disebut doa sapu-jagat. Doa yang bermakna permohonan kepada Tuhan agar diberi keselamatan dunia dan akhirat itu selalu menghiasi doa yang dipanjatkan umat Islam dalam berbagai kesempatan. Doa itu dilantunkan berbahasa Jawa, lantaran masyarakat bawah di Jawa lebih mudah menangkap maknanya daripada harus memahami doa dalam bahasa Arab.

Baca Juga:  Judulnya Adalah Nama Anakku

Ada sebuah cerita menarik yang saya peroleh dari para orang tua, bahwa ketika geger PKI tahun 1965, pujian-pujian semacam ini sangat memasyarakat. Orang-orang berlomba-lomba menghafal pujian. Pujian-pujian itu ditulis dalam bentuk kertas oleh para santri yang datang dari berbagai pesantren, lalu disebarkan ke masyarakat. Orang yang takut dicap PKI akan menghafal pujian itu sebisa mungkin.

Kini zaman sudah berubah. Sebagian masyarakat menganggap pujian adalah bid’ah, dan sebagian lain menilai hal itu kurang bermanfaat. Maka digantilah pujian (tarhim) dengan aneka bentuk itu dengan menyetel kaset orang mengaji. Anak-anak muda dan anak-anak kecil pun sudah jarang yang hafal pujian seperti yang saya kutip diatas.

Lalu, akankah pujian-pujian yang sering terdengar dari pengeras suara di musala/masjid menjelang salat lima waktu akan hilang? Mari kita buka telinga lebar-lebar, menunggu apa yang terdengar dari musala kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *