“Sastra kita perlu pulang ke kampung halamannya”
***
Malam itu jalanan basah. Hujan baru saja mengguyur kota kecil Bojonegoro. Jalanan yang licin membuat para pengendara motor memperlambat laju kendaraanya. Suasana malam pun kian berbeda dari biasanya. Sendu yang candu.
Dan malam itu, Selasa 18 Januari 2022 agak berbeda. Beberapa penyair berkumpul di warung kopi kecil Sematta Wedangan. Sematta itu berada di balik bangunan tinggi yang menjulang di kawasan Pacul, Kota Bojonegoro.
Hadir dua penyair yang menjadi narasumber malam itu. Keduanya berupaya untuk mengangkat tema “Sastra Agraris” dalam acara Purnama Sastra Bojonegoro yang ke-61. Purnama Sastra Bojonegoro merupakan agenda rutin para sastrawan Bojonegoro setiap bulan dengan lokasi yang berbeda-beda. Malam itu, memasuki umur yang ke- 61.
Di situ, siapapun yang ingin belajar sastra bisa hadir. Entah itu dari Surabaya, Lamongan, Tuban dan juga dari berbagai kalangan usia.
Dua narasumber malam itu, Timur Budi Radja, sosok penyair di Bojonegoro. Pria berambut gondrong tersebut akrab disapa dengan Bang Timur. Hadir sebagai narasumber bersama pegiat sastra di Komunitas Sematta dengan ciri khas suaranya yang keras dan lantang, yakni Agus Salim.
Namun selain dua pemantik itu, ada juga yang menjadi pemandu Agus Sighro Budiono.
Dalam acara PSB ada pembacaan karya sastra puisi, geguritan, permainan perkuisi maupun musikalisasi puisi dari para penyair yang hadir. Namun yang menjadi menarik adalah diskusi dengan tema Sastra Agraris.
“Mengapa harus memilih tema Sastra Agraris? Sebenarnya apa yang menjadi keterkaitan antara Sastra dengan Agraris sendiri?” tanyaku.
“Sastra kita perlu pulang ke kampung halamannya. Sastra yang seharusnya punya aroma kampung, lahir dari dusun, mengenal sawah, mengenal kebaikan-kebaikan petani dan rumus-rumus hidupnya yang saling berbagi, antara petani dengan tanah dan petani dengan semesta kecilnya. Sehingga nilai-nilai yang hidup dan menjaga lingkungan kebudayaan tetap terjaga. Tetapi sastra kita kini sudah terlampau dekat dengan perayaan-perayaan, teks-teks yang dihasilkan pun semakin canggih karena kepiawaian berbahasa. Tetapi sastra kita semakin jauh dari fungsi kehidupan.” Demikian jawab Bang Timur.
Dan memang, kalau kita mau melihat fenomena sosial di masyarakat, Bojonegoro merupakan daerah agraris dengan penghasilan yang didapat dari hasil pertanian. Sektor ini menjadi amat penting karna ada satu unsur kesatuan dengan kehidupan warga sehari-hari, seperti makanan orang bisa bertahan hidup, bisa untuk membiayai anak cucu sekolah dan segala kebutuhan yang lainya.
“Sastra yang secara prinsip adalah ujaran, petuah, tulisan/lisan yang akan menjadi panutan masa depan, di perkembanganya hari ini mengalami ambiguitas yang tinggi. Padahal adanya sumpah pemuda dulu itu tidak sekonyong-konyong sebagai bentuk sastra tanpa tujuan, bisa kita renungkan kembali nilai-nilai apa yang ada di dalam Sumpah Pemuda. Mulai dari kata bertumpah darah tanah air, berbangsa satu, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan di situ kalau kita mau menelaah kembali begitu dewasa representasi dalam memahami sastra.” Demikian ungkap Agus Salim.
“Pertama kata tumpah darah dan tanah air yang disublimasikan jadi satu. Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kata tanah air itu hanya dimiliki orang Indonesia. Di negara lain istilah yang dipakai landfather atau bapak moyang. Kedua, Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Mengapa harus kata bangsa? Mengapa tidak negara? Dan mengapa juga ikrar terakhir Menjunjung tinggi bahasa Persatuan?” tanya Agus Salim.
Dan ya ternyata memang tidak akan ada negara jika tidak ada bangsa, adanya negara jika ada bangsa, lahan dan pemerintahan.
Dan ikrar terakhir: Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Mengapa harus menjunjung tinggi bahasa persatuan? Karena bahasa yang dimiliki bangsa indonesia sangat bermacam-macam mulai Sabang sampai Merauke bahkan mulai Bojonegoro timur dengan Bojonegoro barat terkadang banyak yang beda. Jadi begitu dalam kearifan dan kedewasaan memahami sastra di dalam Sumpah Pemuda. Lalu sekarang apa yang menjadi keterkaitan antara sastra agraris dengan sumpah pemuda?
“Korelasinya sama dengan sastra agraris, bahwa kita tidak boleh menegasikan atau menghilangkan bahasa sastra lokal masing-masing di berbagai wilayah sesama agraris. Contoh Banten, Kalimantan, Sumatra, Aceh itu sama-sama merupakan wilayah agraris tetapi bahasa lokal yang dimiliki tidak mungkin sama. Karna di sana pasti punya bahasa sendiri-sendiri dan dengan sastra agraris harapanya bisa menjadi solusi untuk mengembalikan nilai-nilai sastra kembali ke tubuhnya,” imbuh Agus Salim.
Sastra, bagi narasumber, semakin jauh melenceng dari fungsinya dan harapannya. Adanya “Sastra Agraris” bisa menjadi solusi alternatif dalam mengembalikan fungsi sastra ke khitahnya. Karna apa yang menjadi fungsi sastra? Bahwa sastra itu lahir dari masyarakat, menceritakan fenomena kehidupan masyarakat, dan diperuntukkan kepada masyarakat. Kalau kita mau mengecek kembali pasti akan ada saja bahasa daerah yang hilang pertahunya. Dan jangan sampai kita sebagai Wong Jowo sampek ilang jowone. Begitu kira-kira pesan leluhur.