Ini tentang Raees, seorang penjahat penjual miras kelas kakap yang kemudian masuk ke dunia politik dan dielu-elukan rakyat. Raess sangat kejam kepada musuh-musuhnya, tapi ia sangat baik kepada masyarakat miskin. Ia menghabiskan hartanya untuk membantu rakyat yang kelaparan, meski akhirnya ia harus merendahkan diri meminjam uang kepada musuhnya. Di saat demikian, ia dikhianati oleh musuhnya. Ia menyanggupi mengirim barang ke daerahnya, tapi ternyata barang itu adalah bom yang meledak dan memporak-porandakan rumah-rumah warga tak berdosa.
Tentu saja ini bukan kisah nyata, melainkan ada di film Raees yang dibintangi oleh Shah Rukh Khan dan artis cantik asal Pakistan bernama Mahira Khan. Raees diperankan Shah Rukh Khan dan merupakan peran penjahat pertamanya dalam film.
Mari kita meminggirkan sosok Raees dalam film sebentar dan melihat ke sekeliling kita. Lebih spesifik ke dunia politik. Nanti kita kembali ke Raeess lagi.
Begini. Akhir-akhir ini politik kita diisi oleh fenomena rivalitas yang bagi sebagian orang menjijikkan. Tema apapun bisa diseret ke politik. Sampai-sampai kita berteman dengan siapa dan lebih menyukai mana antara Nella Kharisma atau Via Vallen pun jadi bahasan politik. Memang, manusia adalah makhluk politik, tak bisa lepas dari dunia politik. Kita mengaku tak berpolitik saja itu sudah merupakan pilihan politis. Apalagi di masa di mana negara adalah sebuah keniscayaan dalam hidup bersama.
Makin mendekati 2019, politik kekuasaan makin jadi pusat pusaran. Seakan-akan gerak kehidupan bertali simpul di politik. Sialnya politik yang dibangun bukanlah politik kesalehan, melainkan politik yang seringkali menghalalkan segala cara. Agama dipolitisasi, budaya dipolitisasi, kemiskinan dipolitisasi. Dan media sosial mempunyai peran yang tak bisa diremehkan untuk menumbuhkan cakar-cakar kebencian yang setiap saat siap merobek-robek kerukunan.
Sebenarnya memandang segala sesuatu dengan hitam putih sudah sangat usang. Banyak ilmuwan, ustadz, kiai, guru, hingga bakul kopi cangkir menyerukan agar tak melihat sesuatu dengan hitam putih. Kalau saya benar, berarti kamu salah. Kalau kita benar, berarti mereka salah. Kalau kita surga, maka mereka neraka. Tapi, apa mau dikata, yang usang itu sedang pasang. Genderang terus ditabuh untuk berperang.
Nah, kita kembali ke Raees. Film ini sulit dinikmati dengan cara pandang hitam putih. Raees seorang kriminal. Tapi hatinya mulia. Tentu ini khas film-film India yang menonjolkan kepahlawanan seseorang. Namun Raees setidaknya menunjukkan kompleksitas itu. Dan yang menarik sebenarnya bukan hanya sosok Raees, tapi politisi-politisi yang menjalin kerjasama dengan Raees. Di bawah meja, mereka adalah pengendali bisnis-bisnis tersebut. Ya, politisi-politisi atas itu.
Ada satu percakapan di film tersebut yang menurut saya punya makna khusus. Seorang pejabat setelah melakukan “negosiasi” dengan pengusaha miras ditanya “Mau minum teh atau miras?”. Sang pejabat menjawab “Miras di cangkir teh,”. Percakapan sekilas dan sederhana ini boleh jadi menjadi realitas politik di manapun kini. Apapun isinya, bungkusnya tetap harus enak didengar, indah dilihat, rasional saat dinalar.