Sebagai seorang penjaga sekolah, kehilangan kunci bagaikan kehilangan pekerjaan. Bagaimana tidak, jika terjadi apa-apa pasti akan panjang ceritanya. Bila parah mungkin bisa ke ranah hukum. Masih beruntung jika kunci hanya hilang karena jatuh. Bagaimana jika kunci itu hilang karena dicuri orang? Hilanglah mata pencaharian.
Begitulah yang Diaz rasakan sebagai penjaga sekolah di sebuah SMA negeri di kota kelahiranya. Kejadian ini terjadi tak lama setelah ia mulai masuk bekerja. Sebelumnya, Diaz merupakan salah satu siswa yang cukup aktif di sekolah yang sekarang ia jaga. Itu juga yang membuat Diaz diminta untuk bekerja di sana.
Saat kuncinya hilang, Diaz bingung bukan kepalang. Bersama teman jaganya, ia mencari ke seluruh tempat yang pernah ia singgahi di hari sebelum kunci itu hilang. Mulai dari asrama tempat menaruh barang, ruang guru, ruang tata usaha, hingga ke kamar mandinya, yang barangkali ia lupa menaruhnya setelah membersihkanya.
Ketika itu ia mulai menyadari kuncinya hilang di hari Minggu saat hendak membuka kunci kantor. Hari sebelumnya, ia hanya menganggap kunci itu klibet karena lupa menaruh seperti biasanya. Setelah seharian mencari kunci, sore harinya Ia pergi ke tukang kunci untuk mengganti kunci yang hilang.
Hari Senin, ia pergi menemui kepala tata usaha untuk melaporkan kejadian itu. Sesuai dengan yang ia perkirakan, dicuci, dikucek dan diperaslah ia oleh kepala tata usaha itu. Muka kepala tata usaha nampak memerah karena darah yang meninggi sampai kepala.
Selanjutnya Ia dipanggil ke kantor kepala sekolah untuk meceritakan kejadian itu. Saat itu ia ditanya tentang siapa yang dicurigai sebagai orang yang mengambil kuncinya. “Kira-kira ada tidak orang yang kamu curigai? Kalo ada siapa?” tanya kepala sekolah. Dengan sedikit keraguan, Ia menjawab kalau yang ia curigai adalah teman sekamarnya.
Jawaban itu didasarkan karena memang setiap harinya, kunci itu selalu ia kembalikan ke meja teman se kamarnya setelah selesai membuka dan mengunci pintu. Ia mencurigai teman sekamarnya itu, karena dialah yang menurutnya paling berpotensi. Itu juga karena sebelumnya, beberapa barang yang Diaz miliki hilang dan rusak saat Ia tidak di kamar.
Beberapa barangnya yang rusak dan hilang seperti uang, sikat gigi hilang dan sabun beserta tenda dan tas yang robek. Selain itu, terkadang tatapan yang Diaz dapatkan adalah tatapan intimidasi.
Saat itu ia hanya bisa berpikir dan berasumsi tentang temannya itu. Dalam pikirannya, Diaz menganggap ketidaksenangan temanya itu karena keberadaanya mengganggu kenyamanan kamarnya yang dulu dihuni sendirian.
Hari esoknya, bersama tukang yang sudah dianggap sebagai teman, Diaz ikut membantu mengganti kunci salah ruang yang kuncinya hilang. Sambil bercerita, tukang itu berusaha menenangkan agar tidak terjadi hal-hal yang lebih buruk. Beberapa hari berselang, kunci juga belum segera ditemukan. Sebagai ganti sementara, ia menggunakan kunci teman jaganya untuk membuka dan mengunci pintu.
Hingga kamar Diaz dipindahkan, kunci juga belum ditemukan. Hingga akhirnya, berselang dua hari, kejadian janggal sekaligus menenangkan terjadi. Tiba-tiba saja segerombol kunci yang hilang itu sudah berada di atas ranjang tidur kamar baru. Diaz bingung bukan kepalang. Itu karena sebelum keluar, pintu itu dalam keadaan terkunci.
Hingga setelah dia bekerja lebih dari dua tahun di sekolah itu, ia belum juga mendapati kepastian tentang siapa orang yang mencuri kunci itu. Hanya bisik-bisik pelan yang terdengar, bahwa asumsinya itu benar.
“Kamu diam, kata orang pintar, yang mengambil kuncimu itu adalah teman sekamarmu sendiri.”
Katanya temanya Diaz yang juga teman sekantor yang sekamar dengan Diaz.