Hidup adalah perjalanan menysukuri apa yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Tapi, ada saat ketika manusia diterpa kebimbangan, rasa ketakutan, dan lain sebagainya. Nah, tulisan bustan af ini sungguh inspiratif. Silahkah membaca dan memetik hikmahnya. (redaksi)
_____________
Ketika Ramadhan tiba, aku selalu teringat masa lalu; masa yang pahit, masa yang selalu ingin kulupakan, tapi tak pernah bisa. Syukurnya, itu membawa kesadaran bagiku bahwa hidupku hari ini adalah hidup yang lebih dari sekedar layak untuk disyukuri. Bukan semata-mata karena keberlimpahan kebaikan yang aku terima dan rasakan setiap hari, tetapi lebih karena tingkat kematangan dan kebijaksanaan yang terus ditanam di jiwaku, seiring proses pembelajaranku menjalani setiap detak peristiwa kehidupan.
Sepuluh tahun yang lalu (dan beberapa tahun berikutnya), Ramadhan adalah kabar buruk bagiku. Karena itu berarti bulan penuh kesulitan: ekonomi mampet, hidup cupet, dan utang akan semakin menumpuk. Nyaris tak ada keajaiban yang bisa kuharapkan dalam kehadirannya. Tuhan seakan mengejakku dengan gegap gempita kegembiraan di luar sana; orang-orang, suasana, lingkungan, media, yang begitu riuh gembiranya merayakan bulan penuh keberkahan dan ampunan. Tapi tak kutemukan kegembiraan itu tergores di hatiku. Hari-hari yang terjalani adalah ketakutan-ketakutan yang terajut dengan rapi. Ramadhan betul-betul menjadi teror yang terus menakut-nakuti.
Mengapa itu bisa terjadi? Pertanyaan itulah yang kemudian mengubah segalanya menjadi berbeda. Aku mencoba menelusuri apa yang salah di dalam diriku hingga kenyataan itu hinggap di hidupku dan memberikan pengalaman yang begitu menakutkan. Kucoba menelisik satu persatu akar-akar kemungkinan yang membuat hal itu bisa terjadi. Dan akhirnya aku menemukannya.
Awalnya adalah sebuah pengalaman. Pengalaman kesulitan di masa transisi: bisnisku sedang kolaps dan aku baru saja berhenti dari kerja sebagai wartawan. Di masa itu untuk mencari lima ribu rupiah sehari saja sulitnya minta ampun. Maka hari-hari yang kujalani waktu itu adalah hari-hari penuh peluh dan keputusasaan. Dan itu semakin parah saat ramadhan, hingga selain putus asa yang terjadi pada diriku adalah inferioritas. Aku merasa rendah diri di hadapan siapapun, meski telah berusaha berdiri segagah-gagahnya. Seakan-akan semua orang dan seluruh dunia meneriakiku: hidup ini butuh bukti, bukan apologi. Idealismemu itu tak berarti apa-apa bagi kami. Dan yang paling menyakitkan adalah: hampir segalanya diukur dengan materi.
Ternyata pengalaman itu terekam begitu rapinya di alam bawah sadarku, hingga tanpa sadar perasaan-perasaan ketakutan itu muncul tanpa bisa terkendali, bahwa di setiap ramadhan akan ku alami lagi kesulitan-kesulitan tak terperi, yang membuatku akan terus tersuruk di lubang keputusasaan dan inferioritas.
Hingga kemudian kusadari bahwa aku telah salah selama ini. Aku telah terjebak dengan bayangan-bayangan buruk dari pikiranku sendiri. Merangkai ketakutan yang tak semestinya kubayangkan, karena semua “belum terjadi”. Entahlah, mengapa aku bisa sebodoh ini. Mungkin karena saat itu (awal pengalaman) aku belum membaca “THE SECRET” yang ditulis Rhonda Byrne.
Ya, harus kuakui buku “THE SECRET” inilah yang menjadi penyumbang terbesar perubahan kesadaranku. Dan buku “QUANTUM IKHLAS” dan “THE MIRACLE OF ZONA IKHLAS” karya Erbe Sentanu menjadi penyumbang terbesar perubahan kehidupanku.
Dari buku THE SECRET aku belajar bahwa segala yang terjadi pada kita (baik ataupun buruk) adalah akibat dari pikiran dan perasaan dominan kita. Segala hal yang datang dan kita alami terjadi karena kita sendiri yang menariknya. Bagaimana kita menariknya? Yakni melalui pikiran dominan (fokus) dan perasaan kita. Ini yang disebut HUKUM TARIK MENARIK (Law of Attraction). Hukum paling kuat di alam raya ini. Hukum yang menggerakkan seluruh proses kehidupan yang melibatkan manusia.
Sementara dari buku QUANTUM IKHLAS dan THE MIRACLE OF ZONA IKHLAS aku belajar menerapkan hukum tarik menarik dengan kekuatan IKHLAS yang kita latihkan di dalam hati. Ikhlas adalah sebuah proses, bukan hasil. Ikhlas adalah ketrampilan hati yang harus dilatih dan diasah terus menerus sepanjang hidup. Dan biarkan ikhlas itu bekerja untuk mengubah segalanya.
Tapi apa sih ikhlas itu? Sulit untuk mendefinisikannya secara universal, karena pemahaman setiap orang bisa berbeda (subyektif berdasarkan pengalamannyasendiri-sendiri). Sulitnya menjelaskan ikhlas ini sama dengan sulitnya menjelaskan (mendefinisikan) rasa garam pada seseorang. Cara terbaik untuk menjelaskannya adalah dengan cara menyuruh orang tersebut untuk mencicipi rasa garam itu, maka tanpa kata yang berbusa-busa orang itu akan paham dengan sendirinya.
Ketika saya menerapkan ikhlas ini (menerima dengan lapang dada dan penuh syukur semua yang terjadi padaku; sifat istri dan orang lain yang tidak cocok denganku, orang-orang yang menganggap rendah diriku, kesulitan-kesulitanku, kelemahan-kelemahanku, dan lain-lain), ternyata semua kemudian berubah. Kondisiku berubah, sikap orang lain padaku berubah, dan lebih banyak kebaikan dan kegembiraan yang datang.
Dari situlah aku membuktikan kebenaran kata-kata orang bijak: jika kau ingin mengubah orang lain, ubahlah dirimu dulu. Jika kau ingin mengubah lingkungan, ubahlah dirimu sendiri dulu. Jika kau ingin mengubah keadaanmu, ubahlah pikiranmu.
Artinya, perubahan yang kita inginkan dari orang lain sangat dipengaruhi oleh perubahan persepsi kita terhadapnya. Begitu juga dengan perubahan pada kondisi kita sangat dipengaruhi oleh persepsi dan cara berpikir kita.
Sederhananya, misalkan, jika kita ingin pasangan kita berubah dari sifatnya yang buruk (pemalas, pemarah, misalnya), maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menerima dengan lapang dada sifat-sifat yang tidak kita sukai itu, kemudian mulai ubah persepsi kita terhadapnya: bahwa ia adalah orang yang rajin, hanya saat ini ia sedang stagnan, sehingga gamang untuk bergerak. Ia bukan pemarah, tapi orang yang sabar, hanya saat ini sedang bergelut dengan dirinya sendiri sehingga bawaannya marah melulu. Artinya, yang kutekankan di sini: bahwa sesungguhnya ia orang baik seperti yang kita harapkan. Maka lihatlah perubahan yang akan terjadi kemudian.
Ini hanya contoh, seperti yang kualami dalam beberapa kasus. Dengan hanya mengubah pikiran atau persepsi, maka segalanya bisa berubah.
Jadi inilah yang terjadi padaku yang kemudian mampu mengubah segalanya, termasuk ramadhan dan tahun-tahun penuh ketakutan yang kualami seiring kehadirannya.
Saat ini, ramadhan adalah kabar baik dari langit dan rezeki (kebaikan dan kebahagiaan) yang melimpah ruah bagiku. Tentu aku tidak menyempitkan pengertian rezeki sebagai sebatas uang, tetapi segala hal berupa rasa nikmat, bahagia, tenang, tenteram yang bisa kurasakan di dalam hati. Dan semua itu terjadi karena aku telah mengubah pikiran dan persepsiku. Aku percaya: pikiran baik menarik kebaikan. Begitu juga sebaliknya. Salam.
Bangun Mulya, 27 Mei 2017
Di penghujung malam.