BUKU  

Rasionalitas Gerakan Mahasiswa

foto: tempo.co

Sejak semula, penulis sudah mengklaim novel ini sebagai persembahan untuk mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya. Berlatar belakang pra-reformasi, Leila mengisahkan kehidupan aktivis mahasiswa Yogyakarta – khususnya yang tercatat sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta — dalam menginisiasi berbagai pergerakan melawan pemerintah yang berkuasa. Pergerakan rasional yang saya pikir tidak ndakik-ndakik amat. Seperti aksi tanam jagung bersama petani di Blangguan Jawa Timur sebagai unjuk protes atas kesewenang-wenangan pemerintah menggunakan lahan produktif warga sebagai tempat latihan gabungan tentara dengan menggunakan mortar dan senapan panjang. Lahan produktif itu digusur dengan buldoser (hlm. 116).

Yogyakarta saat itu, kentara betul sebagai basis intelektuil gerakan mahasiswa. Hal ini bisa disimak dari jawaban lugu Biru Laut ketika ditanya Kinan soal keputusannya memilih kuliah di Yogya dan bukan di UNS, “Aku ingin bertemu dan bertukar pikiran dengan anak muda Indonesia yang memilih berkumpul di UGM dan mengutarakan ide-ide besar” (hlm. 23). Aktivis Winatra, Taraka, dan Wirasena terdiri dari mahasiswa dari beragam jurusan yang merasa disatukan oleh cita-cita memperjuangkan Indonesia lebih baik. Kira-kira masih miriplah dengan cita-cita para aktivis mahasiswa saat ini. Para aktivis 90-an itu tentu bukan tipikal mahasiwa yang apapun persoalannya, demo penyelesaiannya. Zaman Soeharto masih berkuasa, mana bisa begitu.

Para aktivis mahasiswa di zaman Orde Baru memiliki kultur membaca dan diskusi yang kuat sebelum akhirnya memutuskan melakukan gerakan bersama masyarakat. Sebelum mantap melakukan aksi Blangguan, para aktivis menggelar diskusi intens yang cukup sengit dengan membandingkan Kwangju Korea Selatan dan People’s Power Manila. Kedua gerakan itulah yang menjadi sumber kecemburuan dan membuat para aktivis semakin berandai-andai kekuatan semacam itu dapat terjadi di Indonesia. Mereka sadar, aksi Blangguan tak cukup berarti bila hanya berbekal suara lantang untuk meneriakkan Sajak Seonggok Jagung-nya Rendra.

Aksi Kamisan, Kerelaan Bersyarat

Beragam kegiatan perlawanan yang diinisiasi mahasiswa kala itu berakhir dengan penyiksaan yang biadab kemudian penghilangan beberapa aktivis mahasiswa yang sampai kini tak jelas rimbanya. Penghilangan inilah yang menyebabkan kesedihan mendalam di lubuk kehidupan para keluarga dan teman-teman seperjuangan. Bagi para orangtua, tentu saja lebih mudah menerima kenyataan bahwa seorang anak terbunuh akibat penyiksaan daripada bermain dengan teka-teki ihwal si anak. Masih hidupkah? Atawa bila sudah mati, di mana jasadnya?. Sama menyedihkannya bagi mereka yang kembali dari penyiksaan dengan selamat untuk menerima kenyataan bahwa beberapa teman seperjuangannya tidak diketahui nasibnya.

Baca Juga:  Membuka Sebuah Catatan Misterius

Orang-orang yang memiliki pertautan dengan para korban menjadi orang-orang yang sakit jiwa raganya. Kita bisa membaca tokoh Anjani yang berubah menjadi serba tak terurus setelah menerima kenyataan hilangnya sang kekasih, Biru Laut.  Jari-jarinya jorok dengan kuku yang hitam membuat Anjani mirip kaum Hippies tahun 1965 yang konon malas mandi (hlm. 322). Meski tak separah Anjani, Nilam mengalami hal serupa. Tubuhnya menyusut dan tulang-tulangnya menonjol, kulit kusam, dan mata yang jelas jarang terpejam (hlm. 322). Asmara Jati bahkan tidak cukup hanya menanggung perih kehilangan kakak satu-satunya, tetapi juga sosok ayah-ibu yang sejak hilangnya Laut menjadi orangtua yang berkubang dalam kehidupan kosong.

Keluarga para korban penghilangan akhirnya memiliki agenda  rutin berkumpul untuk membicarakan perkembangan informasi tentang orang-orang yang dikasihinya. Mereka saling meratap dan terus menyalakan harap. Upaya-upaya terus dilakukan untuk mencari jejak mereka yang hilang. Orang-orang baik terus berdatangan. Leila menghadirkan kisah kehilangan ini dengan gaya tutur yang mengalir perlahan. Dua kekurangan Leila yang cukup menggangu saya barangkali ialah akhir cerita yang nampak dipaksakan dan penggambarannya tentang tokoh lelaki yang terlalu menarik untuk dijadikan pujaan hati.

Aksi Kamisan lahir dari rahim inspirasi para ibu di Argentina dan Cile yang kehilangan anak-anaknya sejak 1977 dan selama puluhan tahun berupaya meyakinkan pemerintah untuk melakukan sesuatu dengan melakukan unjuk rasa di depan istana presiden di Casa Rosada, Istana Presiden Argentina. Para ibu itu memiliki persamaan: anak mereka hilang diculik dan tak tahu apa yang terjadi dengan mereka (hlm. 355). Memasuki tahun ke sepuluh penyelenggaraannya di Indonesia, keluarga para aktivis kemanusiaan, dan wartawan terus berkumpul di Istana Negara menggunakan payung hitam sebagai simbol dukungan terhadap penuntasan kasus-kasus kemanusiaan yang terjadi di negeri ini. Sementara pemerintah kita bersikukuh menganggap masalah kemanusiaan sebagai hal yang tak lebih penting dari masalah pembangunan infrastruktur. Tsah!

__________________

Baca Juga:  BMI: Sekembalinya Rindu Pada Sang Empu

Tentang Buku: 

Judul: Laut Bercerita, Penulis: Leila S. Chudori, Tahun: 2017, Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Tebal: x + 379 halaman, ISBN: 978-602-424-694-5

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *