Pada hari santri nasional (HSN) 2018 kemarin, ada tragedi yang menurut sebagian kelompok ‘mengecewakan’ kalangan santri. Hal itu karena kejadian tersebut dilakukan oleh orang yang mengklaim dirinya santri/pengawal kyai. Dari kejadian itu, banyak kalangan yang tersulut emosinya.
Hanya bermodalkan menonton video pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid yang berdurasi beberapa menit, kemudian saling adu argumen dan saling menyalahkan satu sama lain.
Bagi mereka yang setuju dengan tindakan itu beranggapan bahwa itu adalah bendera ormas terlarang di Indonesia, sementara yang menolak pembakaran itu berpendapat bahwa siapapun yang membakar kalimat tauhid berarti menyakiti hati mereka, lantaran membakar kalimat yang diagungkan oleh mereka.
Semenjak kejadian itu sampai saat ini, beranda facebook, timeline twitter dan sosial media lain dipenuhi beberapa kalangan yang saling hujat, saling klaim kebenaran dan paling terdepan membela ideologi mereka.
Yang mengherankan adalah, seakan-akan mereka yang mudah marah dan mudah tersulut emosinya lah yang paling kuat membela agama dan ideologinya. Seakan-akan marah adalah ‘rukun’ dalam membela agama, yang harus dilakukan saat agama/simbol agamanya (menurut definisi mereka) dihina. Mereka memaknai pembakaran adalah penghinaan.
Klarifikasi dari kelompok pelaku pun diberikan dengan nada (agak) marah seakan-akan mereka benar kemudian beranggapan kelompok lain salah tangkap dari kejadian pembakaran itu.
Di saat situasi memanas karena definisi banyak hal menjadi serba bias dan menjadikan orang mengedepankan kemarahan dalam menyikapi aneka fenomena, peran warung kopi sangat dibutuhkan.
Saat ini definisi agama bias. Definisi islam bias. Definisi ulama bias. Dan sialnya, menghormati kalimat tauhid didefinisikan dengan cara yang bias pula.
Lalu, pertanyaannya, kenapa harus warung kopi? Karena warung kopi adalah tempat yang tepat untuk meredam emosi. Di warung kopilah banyak beban terlepaskan. Seringkali, jika Anda di depan secangkir kopi, meski dengan orang berbeda pemikiran, Anda akan memulai obrolan santai tanpa emosi.
Pertukaran pemikiran, argumen dan gagasanpun terasa asik jika dilakukan sambil ngopi. Percayalah, warungkopi adalah tempat muamalah yang tepat untuk meredam emosi.
Saat dua kubu saling menghujat dalam berargumen dan diskusi, jangan harap salah satu dari keduanya jadi penengah. Sebab, jika ada yang jadi penengah, yang berseteru siapa? Hemm
Berangkatlah ke warungkopi. Redam emosi di warung kopi. Larutkan emosi di dalam secangkir kopi. Agar mengendap. Jika sudah mengendap, tentu bakal mudah membedakan mana yang ampas dan mana yang inti. Sebab, saat ini, inti dan ampas kerap kali tampak bias.
Anda harus ngopi. Sebab, Yen wes tresno paite kopi, rasane legi.