Kita sekarang di hidup di era ketika sekat telah hilang. Batas telah melayang. Semua membaur menjadi satu. Sehingga sulit untuk membedakan mana yang kanan mana yang kiri. Mana atas mana bawah. Mana permata mana batu bata.
Orang berceramah berseliweran di linimasa. Semua menyitir ayat kitab suci. Dandanannya semua hampir mirip. Religus. Hanya gaya ceramahnya saja beda-beda. Ada yang santai, meledak-ledak, dan ada yang penuh canda tawa.
Semua punya pengikut fanatik. Ingat, fanatisme tak memerlukan logika berpikir. Yang diperlukan adalah kesamaan psikologis. Orang awampun dibikin bingung, kepada siapa harus meletakkan kepercayaan? Seorang bapak bertanya, kemana menyerahkan nasib pendidikan anaknya?
Dan dalam kehidupan sehari-hari, kampanye pengagungan materi sedemikian rupa massif. Para YouTuber melakukan ‘investigasi’ harta kekayaan publik figur. Ada kasur seharga Rp 1 miliar. Ada kacamata seharga motor. Mainan anak artis seharga rumah. Dan lain sebagainya.
Sementara di politik, para pejabat tinggi berakrobat politik. Ada yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Tapi tak sedikit yang sekadar menarik simpati rakyat. Celakanya, karena hidup sudah tanpa sekat, sulit membedakan pejabat yang jujur dan pejabat yang korup. Kata Cak Lontong, sebenarnya tak ada koruptor, yang ada hanyalah pejabat yang ketahuan korupsi. Kalau tidak ketahuan, maka tidak pernah ada koruptor.
Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi? Kita tidak perlu menyalahkan kondisi saat ini. Kebencian pada satu kondisi, pasti akan memunculkan keinginan mewujudkan sebuah kondisi impian. Keinginan itu wajar jika dalam takaran wajar pula. Jangan terbawa kebencian yang membabi buta.
Oleh karena itu, yang kita butuhkan saat ini adalah keterampilan. Ya aneka keterampilan agar hidup kita tetap seimbang. Keterampilan ini laiaknya keterampilan fisik, harus terus dilatih. Hati dan pikiran ternyata juga memerlukan latihan-latihan agar makin ‘terampil’
Rasa syukur ternyata juga harus dilatih. Salah satu caranya adalah melatih keterampilan cara pandang. Memandang dunia dengan bersyukur akan berbeda dari cara memandang dunia dengan berkufur (nikmat). Seperti melihat gelas berisi air separuh, kita akan melihat airnya atau ruang kosongnya.
Dalam derap lari perubahan zaman, kita seringkali melewatkan belajar keterampilan-keterampilan macam itu. Kita seakan merasa perlu berpikir cepat, tepat, dan benar. Seperti kerja mesin. Kita melupakan sisi bahwa kita bukan mesin yang ketika disetel lurus akan selalu lurus jalannya.
Ketika kita mempunyai potensi salah, maka logikanya orang lain pun punya potensi salah. Dan ketika kita sama-sama berpotensi berbuat salah, kenapa kita selalu memaksakan orang lain untuk perfect 100%, tidak pernah salah dan tanpa cacat sedikitpun. Kenapa kita sering tidak bisa terima dengan kesalahan orang lain? Dan ketika ada orang lain yang melakukan kesalahan, kita dengan cepat akan membully-nya, mempersekusinya, menghakiminya, mencaci-makinya, membencinya dengan membabi buta. Padahal sebenarnya sederhana saja bahwa kita juga potensi melakukan kesalahan, jadi ya sewajarnya saja. Inilah keterampilan yang kita perlukan kini.
Oleh karena itu, di Jumat yang penuh berkah ini, kita perlu sama-sama belajar keterampilan hidup. Belajar keterampilan mengolah pikiran dan hati untuk selalu memandang bahwa dunia ini bukan segala-galanya. Kita sama-sama bisa berperilaku salah, sebagaimana orang lain berperilaku salah. Kita juga bisa berperilaku benar sebagaimana orang lain berperilaku benar.
Dan bahwa Yang Maha Sempurna hanya Allah.
Jogja, Jumat 13 Desember 2019