BUKU  

Review Buku Jejak Langkah Karya Pramoedya Ananta Toer, Awal Pergerakan Nasional

Foto: Gangkecil

Budi Utomo berdiri pada tahun 1908. Organisasi ini dianggap sebagai organisasi modern pribumi pertama yang dinilai sebagai cikal bakal pergerakan nasional Hindia. Meski sebelumnya sudah ada Syarikat Priyayi tahun 1906 yang didirikan oleh Thamrin Muhammad Thabrie, Tirto Adhie Soerjo dan Prawiradiningrat.

Pada tahun-tahun tersebut, pergolakan politik begitu tajam. Ketidakadilan para pembesar Hindia Belanda dalam merampas hak rakyat terjadi dimana-mana. Pada sisi lain, Ratu Wilhelmina menegaskan perlunya kewajiban moral untuk memajukan masyarakat pribumi Hindia Belanda. Itu dikatakan Sang Ratu dalam pidato pengukuhannya pada 17 September 1901.

Setelah Syarikat Priyayi dan Budi Utomo, susul menyusul berdiri organisasi-organisasi modern pribumi lainnya, seperti Syarikat Dagang Islamiyah (SDI) yang didirikan Tirto Adhie Soerjo di Bogor tahun 1909. Berdirinya organisasi-organisais itu tak bisa lepas dari peran penting Dr Wahidin Soedirohoesodo, seorang pensiunan dokter jawa. Ia keliling untuk kampanye pentingnya organisasi. Salah satunya berbicara di depan siswa STOVIA, di mana Tirto Adhie Soerjo dan Sutomo (pendiri Budi Utomo) ada di sana.

Masa-masa direkam dengan sangat baik oleh Pramoedya dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer. Pram sendiri merupakan penulis terkenal dan beberapa kali masuk nominasi peraih Hadiah Nobel. Jejak Langkah menghidupkan pergolakan masa awal pergerakan nasional.

Baca Juga:  Sebuah Desa Bernama Po-on

Oh ya, sekilas tentang Jejak Langkah, bahwa novel ini merupakan buku ketiga dari seri tetralogi yang ditulis saat Pramoedya dibuang ke Pulau Buru. Tetralogi tersebut kemudian lebih terkenal dengan Tetralogi Buru. Buku pertama adalah Bumi Manusia dilanjut Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan terakhir Rumah Kaca. Pram sendiri lahir pada 6 Februari 1925 dan meninggal pada 30 April 2006.

Kembali pada Jejak Langkah, dalam buku ini pergolakan politik di Hindia Belanda semakin terasa hidup karena Pram mampu meramu sejarah dengan pernak-pernik kisah manusia pada masanya. Jika kita punya minat sejarah, bisa melihat novel ini dari sisi sejarah, jika minat pada politik jawa masa awal abad XX bisa menelitinya dari kacamata ini juga. Pun demikian jika hendak melihat kisah cinta, juga sangat terbuka menikmatinya.

Sebagai tokoh utama adalah Minke yang tak lain Tirto Adhie Soerjo. Pada tahun 2006, Tirto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dan Bapak Pers Nasional. Karena kiprahnya mendirikan Medan Prijaji pada tahun 1907. Medan Prijaji merupakan koran pertama yang dikelola oleh pribumi.

Medan Prijaji di bawah Tirto Adhie Soerjo tak sekedar berfungsi sebagai pewarta, melainkan juga sebagai lembaga hukum yang mendampingi rakyat yang menerima perlakukan tidak adil. Ketidakadilan dibongkar seterang-terangnya oleh Medan Prijaji tanpa rasa gentar. Minke menjadi tokoh penting dalam pergerakan nasional. Bersama Marko yang sekaligus menjadi pelindung dari kekerasan fisik, Wardi, Sandiman, dan beberapa tokoh lain Minke terus bergerak membebaskan rakyat dari ketidakadilan. Minke selalu ingat Multatuli.

Baca Juga:  Sosok Panembahan Senopati Raja Mataram dalam Pembacaan Kritis De Graaf

Sebagai novel, Jejak Langkah tak sekedar mencatat sejarah, melainkan menjelentrehkan kisah-kisah humanis. Jika dalam novel Bumi Manusia, kisah cinta Minke dengan Annelis Mellema, maka di Jejak Langkah kisah cinta Minke dengan Ang San Mei, seorang nasionalis China, begitu mengharu biru. Mei digambarkan begitu cantik, matanya sipit, kulitnya bersih. Namun ia mempunyai kekerasan tekad yang luar biasa untuk memerdekakan bangsanya, meski dilakukan dari Hindia.

Minke dan Mei kemudian menikah. Namun, Mei akhirnya meninggal lantaran sakitnya. Minke yang larut dalam Medan Prijaji tak lagi memikirkan istri. Meski sempat dijodohkan dengan Maysaroh, namun gagal. Minke terus bergerak lewat jurnalistik. Ia kemudian bertemu dengan Prinses van Karisuta, perempuan anak Raja Maluku yang diasingkan ke Sukabumi. Minke jatuh hati dan kemudian menikah.

Prinses kemudian berpedan tak sekedar istri, melainkan juga menulis dan mengelola penerbitan koran untuk perempuan. Prinses juga yang melindungi Minke, karena ternyata ia seorang pendekar dan mahir menggunakan revolver. Minke tak pernah tahu kapan ia belajar.

Pada bagian akhir novel, Minke mulai banyak menerima ancaman. Pembesar-pembesar Hindia Belanda mengincarnya. Hingga akhirnya, Pangemanann muncul, menyamar sebagai penulis menawarkan karangan. Namun, pada kelanjutannya, ia seorang kepala polisi yang ditugaskan menangkap Minke. Hingga pada akhirnya, Minke benar-benar dihancurkan. Mula-mula Medan Prijaji dan segala asetnya disegel. Teror fisik terus berdatangan, salah satunya dari gerombolan pemuda Indo yang dibayar untuk menghalang-halangi kiprah Minke.

Baca Juga:  Buku Baru Novel Cermin Tak Bertangkai, Bacaan Remaja

Novel ditutup dengan kisah Minke ditangkap, lalu diasingkan ke Ambon. Satu-satunya orang yang dipamiti adalah Piah, pembantunya. Karena istri dan teman-temannya di Medan Prijaji sedang tidak berada di rumahnya.

“Beri kami peninggalan kata-kata yang baik, yang akan dapat sahaya kenangkan seumur hidup,” kata Piah.

Minke lalu menjawab: “Baik Piah, jadilah propagandis Syarikat. Ajak semua perempuan jadi anggota dan pimpinlah mereka.” Piah adalah hasil didikan Prinsesn van Karisuta.

Bojonegoro, 27 Mei 2020

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *