BUKU  

Review Buku Kisah Perjalanan Dua Lelaki Patah Hati; Sejarah dan Cinta yang Marah

Sampul buku Kisah Perjalanan Dua Lelaki Patah Hati

“Perlakuan konyol yang diterima oleh sejarah adalah manusia tak pernah mau belajar darinya”

— Hegel —

Saya selalu takjub melihat para penulis yang setia menggoreskan huruf demi huruf, kata demi kata dan seterusnya. Mengingat di era revolusi digital yang ugal-ugalan ini, nyaris semua lini sudah dirambati oleh AI. Temasuk produksi teks dan “sejenisnya.”

Saya baru saja rampung membaca novel terbaru besutan Didik Wahyudi. Ini adalah novel keduanya. Berjudul “Kisah Perjalanan Dua Lelaki Patah Hati”.  Ada sedikit pendar yang ingin saya bagi;

Masa lalu di tanah Jawa, rasanya selalu menarik untuk ditelisik kembali. Apalagi saat menyinggung masalah jatuh bangunnya sebuah kerajaan. Dalam novel yang diklaim ditulis sejak 2015 ini mencoba mengajak pembaca untuk menelusuri masa lalu, yakni kelompok orang yang mewarisi ilmu/keahlian khusus kerajaan Majapahit.

Di bagian awal buku, ada dua orang lelaki kawan lama yang seprofesi sebagai mantan wartawan bersua setelah sekian lama tak jumpa. Mereka bertemu di Parangtritis, sesaat sebelumnya saling bekabar lewat gawai.

Dua lelaki ini adalah tokoh kuncinya. Tokoh satu bernama “saya” dan satunya lagi bernama “lelaki tua berambut panjang memutih”. Tokoh saya berusia jauh lebih muda dibandingkan tokoh lelaki tua berambut panjang memutih. Di bab awal, pembaca seperti sedang mendengarkan sebuah podcast antara tokoh saya dan lelaki tua berambut panjang memutih. Tokoh lelaki tua berambut panjang selama ini menghabiskan sisa hidupnya untuk menelusuri para pewaris ilmu dari kerajaan Majapahit. Nah, menariknya, ilmu-ilmu yang diwarisi ini variatif, ada yang spesialis kanuragan, ramalan, ramuan obat-obatn, racun, hingga pendeteksi makam-makam kuno bertuah. Dan kali ini si Lelaki Tua merencanakan perburuan jejak masa silam di berbagai daerah dengan sebuah petunjuk yang datangnya dari orang-orang misterius.

Baca Juga:  Review Novel Tuyet, Mempertanyakan Kemanusiaan di Masa Perang

Tokoh saya sedari awal sebenarnya tidak tertarik dengan kisah yang dituturkan oleh Lelaki Tua Berambut Panjang Memutih. Tampak skeptis, tapi lebih dekat apatis. Namun karena Lelaki Tua itu adalah rekan seniornya, ia hanya menyimpan keacuahannya dan mau gak mau turut menemani perburuannya.

“… dari cerita kakek, menjadi tahu bahwa saya adalah keturunan orang-orang pelarian pasukan Majapahit”. (hal.16).  Ungkap Lelaki Tua kepada tokoh saya. Karena mungkin itu juga, ia merasa mempunyai semacam privelege dan semakin penasaran serta meyakini masih ada keturunan Majapahit lainnya di luar sana dengan berbagai spesialisasi keahliannya.

Dalam novel setebal 204 halaman ini tidak ada bagian-bagian khusus untuk mengklasifikasi antara bab 1, 2 dan seterusnya. Setelah bagian awal, kisah-kisah selanjutnya mirip semacam cerita bersambung.

Usai mendengarkan kedua tokoh asyikbertiwikrama. Didik Wahyudi mengajak pembaca untuk melihat adegan percintaan orang dewasa/tua yang tak biasa antara Lelaki Tua dengan mantan kekasihnya dulu yang kini jadi istri TNI keparat, di sebuah kafe. Pembaca sangat beharap di bagian ini ada sebuah adegan layaknya kisah percintaan orang dewasa. Setidaknya adegan macam si Ajo Kawir dan Iteung dalam “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”-nya Eka Kurniawan.

Hanya sebuah kalimat yang begitu sadis diucapakan seorang Lelaki Tua (kakek) kepada istri orang di sebuah tempat ramai, “Aku hanya bisa onani sambil membayangkan wajahmu jika nafsuku sedang naik…” (hal. 55). Aihh…

Baca Juga:  Buku Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya Karya Mardi Luhung

Tokoh saya di sini kemudian mulai menangkap semacam simpul mengapa Lelaki Tua itu rela bahkan suka menghabiskan waktu untuk memburu masa lalu. Ya, karena patah hati. Dan perburuan masa lalu adalah pelarian.

Tokoh saya dan Lelaki Tua itu akhirnya memulai perburuan. Setelah pertemuan sebelumnya, kini keduanya bersua di Malang, di sebuah kafe. Di saat ini juga, ada tokoh yang misterius menemui tokoh saya bernama Manju Maheswari. Ia datang layaknya seorang guru yang memberikan banyak penjelasan kepada tokoh saya dengan transendental–magis tentang masa lampau, tanpa sepengetahuan si Lelaki Tua.

Perjalanan diawali menuju Trowulan, Mojokerto. Kemudian ke Bandungan, Jawa Tengah. Lanjut ke Tuban dan berakhir di Kedaton, Desa Klino Kecamatan Sekar, Kab. Bojonegoro. Dari satu tempat ke tempat lain selalu ada ulasan sejarah serta petunjuk dari para pewaris keahlian kerajaan Majapahit.

Sebelum tiba di destinasi akhir, di tengah jalan kedua tokoh bertanya kepada salah seorang warga lokal. Ternyata warga lokal itu adalah calon mertuanya. Warga lokal itu mempunyai seorang anak gadis yang amat jelita. Anehnya, wajahnya mirip Manju Maheswari. Selama ini, tokoh saya yang ternyata diam-diam mulai melabuhkan hatinya untuk Manju saat kali pertama bertemu di hotel itu, seketika patah hati.

“Kau mau saya nikahkan dengan anak perempuanku?” (hal. 194), tanya warga lokal pada si Lelaki Tua. Si Lelaki Tua pun tidak menolak. Sedangkan tokoh saya akhirnya melanjutkan perjalanan ke destinasi pamungkas, Tugu Kedaton, Klino—dan menikmati patah hati karena Manju Maheswari.

Baca Juga:  Ada yang Salah dan Perlu Dibenahi di Hidup Kita, Tapi Apa?

Perjalanan dimulai oleh si Lelaki Tua dan dituntaskan oleh tokoh saya. Barangkali tidak keliru yang dituliskan oleh Khalil Gibran dalam The Prophet: “Cinta tak mengetahui kedalamannya sendiri sampai saat perpisahan”

 

Proses Kreatif

Terlepas bagaimana orang membaca dan menafsirkan kisah dalam novel itu, ada proses kreatif penulisan yang menurut saya cukup menarik, mungkin juga cukup nyentrik. Sebagaimana dalam kalimat pendahuluan Didik Wahyudi mengklaim, jika penulisan novel ini tidak “disengaja” dan penulisannya full menggunakan gawai. Wah, bagian terakhir ini memberikan semacam daya kejut untuk siapa saja, teutama saya sendiri. Novel itu sangat panjang, membuat alur kisah, tokoh dan latar kejadian memerlukan waktu dan strategi khusus.

Ada seorang kenalan, yang sekali duduk ngopi bisa menghasilkan puluhan artikel. Disclaimer: buka dari Ai atau copas ya. Artinya gawai benar-benar bisa menjadi alat yang smart, untuk menuangkan ide atau gagasan yang kadang berdesir tidak bisa diperkirakan datangnya, ide itu barangkali mirip rezeki yang min haitsu laa yah tasib. Rasanya, gawai lebih efektif dan efisien dari pada alat tulis pada umumnya, laptop misalnya . Saya kini membayangkan; bisa jadi, kelak orang-orang menulis skripsi, tesis atau mungkin disertasi lewat gawai, yang penting tidak copas ai.  Hehe

Identitas Buku

Judul: Kisah Perjalanan Dua Lelaki Patah Hati
Penulis: Didik Wahyudi
Penerbit: Nuntera,  Januari 2025
Jumlah Halaman : 204 hal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *