BUKU  

Review Novel Menolak Ayah; Jalan Berliku Kehidupan Tondinihuta

Novel Menolak Ayah karya Ashadi Siregar/ Foto: Gangkecil (Dot) Com

Menolak Ayah. Novel karya Ashadi Siregar teranyar ini sangat pas masuk di list buku yang perlu kau baca Maret tahun ini. Buku bersampul warna merah dan tebal 434 halaman ini diterbitkan KPG pada 2018. Meski kini sudah berganti tahun, tak akan mengurangi ‘kehebatan’ novel ini.

Pertama melihat ulasan buku ini di Harian Kompas edisi Sabtu (27/10/2018). Peresensi adalah sastrawan besar dan penulis produktif Martin Aleida. Ulasan pada buku ini menjadikanku bergerak memburu buku ini. Awalnya mencari di Shoping Center Jogja, tapi nihil. Lalu ke Togamas Kotabaru Jogja yang juga tak membuahkan hasil.

Setelah beberapa bulan berlalu tanpa berhasil menggenggam buku ini, akhirnya saya bisa memperolehnya juga. Dan ternyata, saya malah medapatkannya saat di Togamas Bojonegoro. Saat mencari buku tulis untuk anakku.

Lalu bagaimana isi buku ini? Izinkan saya berbagi cerita sekilas setelah membaca buku ini.

Tondinihuta. Pemuda Batak bertubuh tinggi besar telah menaklukkan Jakarta. Ia ‘menguasai’ Jakarta dengan caranya sendiri. Bisnis bengkel mobil, taksi, jasa preman, penagih hutang, penyedia perempuan penghibur bagi bos-bos dan terakhir yang hendak direncanakan adalah impor mobil mewah.

Tapi bukan itu yang menarik. Bukan kesuksesan duniawi yang berhasil diraihnya yang menjadi pokok cerita. Melainkan bagaimana perjalanan Tondi sejak kecil hingga dewasa.

Tondi lahir di keluarga Batak yang taat adat. Ompung atau kakeknya adalah bekas ulubalang Si Singamangaraja Keduabelas yang mati di tangan marsose Belanda. Sepeninggal Si Singamangaraja, ompungnya, Ompung Silangit, hidup dikucilkan, tidak memiliki kuasa apapun. Meski tetap dituakan oleh masyarakat adat Batak.

Baca Juga:  Buku Perang Padri di Sumatera Barat 1803-1838 Karya Muhamad Radjab

Tondi kecil hidup dalam kubangan kemiskinan. Ia diasuh ibunya dan kemudian kakeknya. Ayahnya meninggalkannya. Ayahnya, Pardomutua, disekolahkan keluarga kaya dan kemudian memilih meninggalkan tanah kelahirannya untuk pindah ke Jakarta. Ayahnya tak sekadar meninggalkan tanah Batak, tapi juga menanggalkan marganya. Bagi Tondi, itu perbuatan rendah.

Ketika remaja, Tondi sudah harus bekerja keras. Ia menjadi kenek bus untuk menyambung hidup. Ibunya hidup sendiri dari hasil menjual gorengan.

Hingga akhirnya Tondi terseret dalam arus pusaran politik. Saat Sukarno dianggap hanya mementingkan pemerintah pusat dan mengabaikan pembangunan pemerintah daerah, beberapa pemberontakan bermunculan. Di Sumatera muncullah PRRI tahun 1958-1961, di mana Tondi menjadi bagiannya. Bagi masyarakat Batak, PRRI bukan pemberontakan, melainkan perjuangan memperoleh kehidupan layak.

Semasa perang gerilya PRRI, Tondi hidup di tengah hutan. Beberapa kali Tondi mendapat tugas untuk menyamar, mencari bantuan logistik perang. Lalu, muncullah satu tugas yang akan mengubah jalan hidupnya di kemudian hari, yakni mengantar surat rahasia ke Bukittinggi.

Untuk sampai ke Bukittinggi, ia harus menjelajahi hutan belantara. Di hutan inilah ia tersesat antara alam nyata dan alam begu (makhluk halus) penunggu hutan. Tondi merasa hanya beberapa hari saja di hutan, tapi ternyata dia sudah tiga tahun di hutan.

Keluar hutan, Tondi bertemu pasukan PRRI dan dikabarkan bahwa pasukan induknya sudah tercerai berai. Perang gerilya sudah mendekati akhir dengan dimulainya perundingan-perundingan. Surat yang dibawanya pun sudah tidak ada gunanya lagi.

Baca Juga:  BMI: Lapis-lapis Kehidupan Pelacur

Singkat kisah, Tondi tertangkap tentara pusat. Ia menjadi tawanan perang. Tapi nasib baik memihaknya. Keahliannya memperbaiki mesin kendaraan membuatnya lebih bebas karena sering diminta memperbaiki kendaraan militer. Tondi pun kemudian menjadi asisten pribadi Mayor Sunarya.

Ketika Mayor Sunarya ke Bandung, Tondi diajak serta. Pun ketika pindah ke Jakarta, Tondi mengikuti dengan setia. Ia kemudian dipercaya menjalankan bisnis patungan Sunarya-Habinsaran yang sama-sama asli Batak. Di luar bisnis patungan, Tondi menjalankan bisnisnya sendiri. Hingga namanya kemudian sangat dihormati di kalangan preman Jakarta. Tondi menjadi bos yang mengendalikan banyak bisnis. Mulai bengkel, jasa penagih hutang, bisnis bisnis perempuan penghibur.

Lalu bagaimana dengan ayahnya, Pordomutua? Kisah yang begitu penuh lika-liku sampailah pada masa ketika pecah peristiwa 1965. Tondi yang tak peduli dengan dunia politik, tak terimbas peristiwa berdarah itu. Tapi ayahnya, yang sangat dekat dengan Bung Karno ikut ditangkap dan dipenjara. Keluarganya (istri dan 3 anak perempuannya) hidup terlunta-lunta.

Sampai akhir kisah, Tondi tetap tidak mau bertemu ayahnya. Ayah yang menelantarkannya dan ibunya. Ibu yang sangat dikasihinya. Waktu ia kecil, ibunya ditinggalkan ayahnya begitu saja. Tanpa pamit dan tanpa perceraian. Tondi tetap membantu mengangkat kehidupan istri kedua ayahnya dan anak-anaknya, tapi tidak kepada ayahnya.

***

Di luar kisah hidup Tondi, ada hal penting lain yang hendak disampaikan lewat buku ini. Yakni tentang Batak, budayanya, alam pikir masyarakatnya, adat istiadatnya, dan bagaimana pertarungan budaya ketika agama Kristen masuk dan membawa perubahan-perubahan di masyarakat Batak.

Baca Juga:  Buku Bodjonegoro Tempo Doeloe, Bacaan Populer

Novel ini semacam kajian etnografis yang sangat detail. Salah satunya dikisahkan sejarah Batak. Semua orang Batak diyakini berasal dari kawasan sekitar gunung Pusuk Buhit. Lokasinya di pinggir sebelah barat Danau Toba. Kawasan itu disebut Sianjur Mula-Mula atau menjadi Bona ni Pasogit, pangkal kehidupan setiap orang Batak. Seiring perjalanan waktu, orang Batak menyebar dan bermacam-macam marga. Marga paling muda adalah Siregar. (hal: 81-83).

Marga Siregar dikenal sebagai marga paling suka memberontak. Akibatnya saudara-saudara tuanya marah, dan anak-pinak marga Siregar diusir dari Bona ni Pasogit. Tanah yang ditinggal oleh marga Siregar diambil oleh abang-abangnya.

Ah, sudahi saja catatan ini sampai di sini ya. Novel ini benar-benar kaya data tentang sejarah dan adat masyarakat Batak. Apalagi di bagian akhir diberi catatan tentang istilah-istilah Batak. Sehingga, pembaca yang bukan orang Batak akan sangat terbantu memahami buku ini. Horas!

Biodata Buku:

Judul: Menolah Ayah I Penulis: Ashadi Siregar I Penerbit: KPG I Cetakan: Juli 2018 I Tebal: 434 halaman

  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *