Jika hari H dan H+2 Lebaran adalah hari keluarga, lalu H+3 dan 4 Lebaran adalah hari kawan-kawan, bolehlah H+5 dan 6 Lebaran ini dijadikan hari pengendapan, hari kontemplasi dan permenungan: jangan-jangan, Lebaran hanya karnaval tahunan yang setelah dihelat, bisa langsung dilupakan.
Selain proses saling memaafkan, yang memikat dari lebaran adalah geliat pertemuan. Yang menyenangkan dari Lebaran adalah pertemuan atas pisah yang terlampau lama. Saat bertemu keluarga atau kawan lama di kampung misalnya, temu-kangen menjadi momen nostalgis yang sangat magis. Ia menyulap hati yang sedih, ujuk-ujuk bisa menjadi bahagia.
Jika hidup adalah sebuah paragraf tulisan yang panjang, Ramadhan dan Lebaran adalah spasi, jedanya. Tanpa jeda, hidup akan monoton dan membosankan. Kita tahu, hidup selalu mendamparkan kita pada kompetisi-kompetisi tiada henti. Berkompetisi dalam hal apapun. Baik berkompetisi antar perusahaan, antar manusia, atau bahkan antar keinginan.
Pada Ramadhan, kompetisi itu didinginkan, direm pelan-pelan. Seperti sesaat sebelum kereta api memasuki stasiun, ada cepat yang dipelankan. Ada ingin yang ditahan. Nah, saat Lebaran tiba, tiba pula kita pada sebuah stasiun yang lebar dan bergema. Di stasiun itulah kita menjadi diri sendiri. Menjadi fitri. Stasiun itulah Lebaran: tempat menghentikan diri dari hiruk pikuk persaingan.
Itu sebabnya, yang menghias linimasa kehidupan selama pekan lebaran ini bukanlah kompetisi. Tapi hal-hal ringan yang tidak berorientasi pada menang-kalah. Saat Lebaran, yang menjadi pusat pembahasan adalah kenangan, nostalgia masa kecil, hingga keterkejutan akan perubahan-perubahan di sekitar kita.
Betapa menentramkannya duduk bersantai menghabiskan jajan lebaran di rumah bersama keluarga, sambil sesekali melamun betapa cepat waktu berlalu; kita yang dulu anak manja, kini sudah menjadi orang dewasa yang sudah bisa bekerja tanpa membebani orang tua.
Betapa membahagiakannya ngobrol ngalor-ngidul bersama teman-teman lama. Alih-alih membahas target dan beban kerja, justru sibuk menggali kegoblokan-kegoblokan masa lalu yang layak untuk ditertawakan bersama-sama. Tidak ada pembahasan yang serius. Karena sejujurnya, kita sudah penat dengan keseriusan hidup yang kita jalani sehari-hari.
Lebaran seolah memberitahu kita bahwa ada banyak hal di dunia ini yang layak diperbincangkan selain persaingan politik dan proses rebut-rebutan pengaruh. Salah satu diantaranya adalah keterkejutan kita pada hal-hal kecil; pada sesuatu yang saat tidak lebaran, tidak sempat kita pikirkan.
“lho, dalane saiki wes diaspal”; “lho, saiki wes nikah”; lho, saiki tambah lemu” dan lho-lho-lho yang lainnya.
Bagaimana rasanya saat ketemu keluarga yang telah lama tidak bertemu? Bagaimana rasanya bisa kumpul dengan kawan-kawan lama yang lama tak jumpa? dan bagaimana kita menghadapi berbagai macam pertanyaan-pertanyaan iseng mereka? Tentu, semua itu adalah kejutan dan kenikmatan hakiki dari Lebaran. Tanpa itu semua, justru ada yang aneh dengan Lebaran yang kita jalani. Ada yang kurang.
Euforia lebaran, pelan-pelan, kini telah usai. Ibaratnya, kemarin adalah keramaian proses membuat kopi: mengaduk bubuk kopi dan gula dengan keriuhan sendok dan gelas yang menebar bebunyian. Saat ini, cairan kopi dan gula itu sunyi, sudah larut dan sudah mengendap dan sudah bisa diminum. Mana yang bisa diminum, dan mana yang dijadikan letek (ketek) untuk tidak dikonsumsi, kini sudah bisa dirasakan.
Jargon “kembali ke fitri” juga bisa langsung dibuktikan. Jika hanya sekadar status WA saja, tentu ke-kembalian kita pada “fitri” hanya label formalitas tahunan belaka. Tidak sampai pada taraf pemaknaan yang sebenarnya. Indikatornya, bisa jadi rasa malu. Orang-orang yang sudah mengklaim diri kembali ke fitri, tentu bakal malu jika berkompetisi secara curang dan tidak baik pasca Lebaran.
Logikanya, seusai bermaaf-maafan dan kembali pada konsep 0-0, apakah dengan tidak malunya, kita kembali melakukan gontok-gontokan dan perebutan pengaruh secara curang? Jika iya, itu wajar dan memang sebatas itulah kemampuan kita memaknai fitri Lebaran.
** **
Dua pekan pasca Lebaran, Bojonegoro bakal punya gawe besar: Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Proses perebutan kekuasaan itu menjadi ladang pembuktian bagi kita semua, apakah yang kemarin ikut sumpyoh mengucap maaf-maafan di status WA itu benar-benar berlebaran atau sekadar ikut merayakan (keramaian sosial) saja.
Jika sudah terbukti, mohon jangan dibully, itu hanya lakon hidup yang memang harus dijalankan oleh mereka. Keberadaan mereka tentu bukan tanpa manfaat. Semua yang diciptakan Tuhan itu memiliki manfaat. Dan mereka bermanfaat bagi proses belajar. Setidaknya, belajar menjadi orang baik melalui perangai orang yang kurang baik.