Selama ini banyak yang mendengar tentang asa-usul salak yang ada di Desa Wedi, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro. Cerita salak itu sebagai permulaan dari awal mulanya desa ini. Padahal, sebetulnya Desa Wedi dan Salak memiliki sejarahnya masing-masing.
***
Saya sendiri berasal dari Desa Wedi. Dan baru beberapa tahun terakhir tahu bagaimana asal usul salak masuk ke desa saya ini.
Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan berbincang dengan salah seorang, yakni Ayah saya sendiri, Ahmad Multazam. Kebetulan beliau mengetahui bagaimana sejarah dari salak Wedi ini. Juga darinya, saya mengenal sejarah Desa Wedi ini lebih lanjut, tidak lagi berpedoman pada ‘jarene-jarene’.
Beginilah kurang lebih ceritanya…
Salak ini sendiri awalnya dibawa oleh seseorang, bukan layaknya cerita yang beredar, yakni bisa tumbuh sendiri di tanah desa Wedi dan sekitarnya. Sosok KH. Basyir Mujtaba, atau masyarakat desa sini mengenal dan memanggilnya ‘Mbah Basyir’ adalah sosok yang membawanya.
Beliau mendapat amanah untuk menyebarkan Islam di desa Wedi pada masa itu yang dipimpin oleh KH. Abu Bakar, selaku lurah atau kepala desa Wedi. Dan KH. Abdul Jabbar sebagai carik atau sekretaris. Mbah Abu Bakar dan Mbah Jabbar, begitulah orang-orang memanggilnya, juga seorang alim. Namun pada masa itu seorang tokoh agama tidak boleh menjabat 2 hal secara bersamaan.
Maka kedua tokoh tersebut matur atau mengabarkan kepada Mbah KH Kholil Bangkalan, yang kealimannya sangat terkenal di mana-mana, dan memohon agar mengirimkan salah seorang muridnya yang memiliki keluwihan, atau biasa disebut ilmunya paling mumpuni dan sudah sia untuk terjun ke masyarakat.
Terpilihlah Mbah Basyir. Tapi saat Mbah Basyir datang pertama kali ke Wedi, tanahnya belum ada apa pun. Hanya tanah yang keras dan kosong. Kemudian Mbah Basyir sowan ke Mbah Yai Kholil Bangkalan. Mengenai kondisi di desa Wedi dan tanah yang ada di sana. Lalu Mbah Yai Kholil Bangkalan membawakan Salak sakjanjang kepada Mbah Basyir untuk ditanam di desa Wedi.
Kembalilah Mbah Basyir ke Wedi dengan membawa salak tersebut. Setiap murid yang pulang selesai belajar kepadanya, diberi biji salak untuk ditanam di pekarangan atau halaman belakang rumah mereka. Dengan tujuannya sebagai persiapan si santri dilepas di masyarakat.
Setelah berpulangnya Mbah Basyir, begitupun Mbah Abu Bakar dan Mbah Jabbar, keadaan desa Wedi semakin membaik. Dengan salak menjadi salah satu ciri khas apabila tersebut nama desa Wedi. Orang-orang akan lebih mengenal salaknya.
Kini tiap tahun selalu diperingati haul Mbah Basyir. Atas bentuk ucapan rasa terima kasih dan mengenang perjuangannya semasa hidup di desa Wedi.
Mulai tahun 2017 lalu, haul Mbah Basyir diperingati dengan cara yang berbeda. Tidak hanya sekadar tahlilan bersama, namun juga diadakan kirab salak. Sebagai wujud syukur atas panen salak. Dua tahun ini sejak pandemi tak diadakan kirab, tetapi khidmat tahlil untuk Mbah Basyir tetap dilaksanakan. Baik di makamnya langsung dan di masjid, atau di rumah-rumah. Biasanya dalam mengaji bersama itu, masyarakat membuat berkat untuk kemudian dikumpulkan ke masjid dan dibagikan ke orang-orang yang ikut tahlil bersama di masjid.
Kurang lebih itulah asal-usul dari salak Wedi. Harapannya hanya bukan sebagai suguhon atau jamuan tamu. Melainkan mendatangkan tamu untuk mengenal salak Wedi, datang sebagi bentuk rezeki untuk masyarakat sekitar.
Cerita tentang Desa Wedi
Pada kesempatan lain saya juga menanyakan hal lain kepada Ayah saya. Jadi perbincangan itu saya manfaatkan bertanya tentang asal-usul nama Desa Wedi. Sejarah salak dan siapa yang membawa kiranya sudah banyak yang tahu. Tapi mungkin untuk nama desa Wedi tak banyak yang menahu.
Sebetulnya saya pun selama ini hanya mendengar asal-usul desa Wedi berdasarkan jarene-jarene yang dibawa dan diceritakan oleh teman-teman saya. Belum terpikirkan sama sekali untuk bertanya langsung kepada yang paham atau sesepuh.
Tak dinyana ternyata Ayah saya mengetahui betul sejarahnya. Bukan hanya sejarah salak, tapi juga desa. Saya pun tergerak untuk menggali informasi kepadanya. Karena saat melakukan wawancara terkait sejarah atau awal mula siapa yang membawa Salak ke desa Wedi.
Dari cerita yang saya terima adalah bahwa desa Wedi sudah ada sejak sebelum dibawanya salak. Bahkan sudah ada sejak Hindia Belanda. Bahkan penamaan atas desa Wedi sendiri itu karena seringnya mendapat julukan dari tempat untuk orang-orang yang takut dengan penjajah dan bersembunyi di desa ini. Orang-orang lebih mengenalnya pada waktu itu tempat berkumpulnya wong keweden. Maka dengan cepat tempat itu tersiar ke mana-mana sebagai tempatnya orang-orang bersembunyi karena takut.
Jadi, desa saya ini dinamakan desa ‘Wedi’ bukan karena banyak pasirnya atau wedinya, melainkan dahulu tempatnya orang-orang bersembunyi di zaman penjajahan. Kalau pasir tepatnya ada di Bengawan sana, bukan di gundukan tanah liat di sini yang cenderung keras.
Untuk cerita sejarah jarene-jarene yang lain adalah, konon ada orang yang membawa beras atau gabah berkarung-karung dengan gerobak. Kemudian beras-beras itu, atau gabah-gabah itu berjatuhan di tanah, dan ada beberapa orang melihatnya.
Dengan mengatakan, “He wedine ceblok kabeh..” konon beras atau gabah pada saat itu berwarna hitam karena tertutup atau gimbal tanah. Warna hitamnya tersebut yang sama dengan pasir, maka orang-orang menyebutnya wedi, bukan beras.
Dari beras yang berjatuhan tersebut sepanjang jalan, orang-orang di luar bertanya-tanya darimana arahnya dan darimana asalnya. Kemudian orang-orang menyebutkan dari tempat beras itu dibawa keluar, yakni ‘Wedi’. Langsung saja orang-orang mengenalnya dengan ‘Wedi’, karena dari sana arah jatuhnya beras-beras yang berjatuhan.
Bagaimana? Sebetulnya agak masuk akal, tapi agak bagaimana gitu. Apalagi saya menerimanya saat masih duduk dibangku MI. Jelas saja saya langsung manggut-manggut saja tanpa bertanya lebih lanjut.
Cukup menarik setelah mengetahui secara benar dan tanpa mengada-ada. Karena asal-usul desa mungkin tidak sekadar nama atau julukan saja. Pasti memiliki sejarahnya yang panjang. Maksud dari nama Wedi ini sendiri, sebab di Wedi terkenal dengan orang-orang yang mempunyai ilmu untuk dapat menjaga siapapun yang berlindung di tempat ini. Atau bisa disebut dengan istilah, ilmu kanuragan atau sekti.
Orang-orang penjajah tidak berani masuk karena takut akan terjadi sesuatu. Makanya tempat ini aman untuk bersembunyi dari sekumpulan orang-orang takut tersebut.
Namun desa ini lebih dikenal desa salaknya.
Setelah mendengar cerita tersebut, sekarang tidak ada lagi istilah jarene-jarene. Karena penting untuk bertanya tentang mengenai sesuatu yang belum jelas, agar lebih jelas, dan asal tidak mengarang. Itu bisa langsung berkaitan dengan sejarah atau menjadi tambahan pengetahuan, termasuk saya selaku warga desa Wedi yang baru tahu secara gamblang mengenai asal-muasal nama desa ini.
Meskipun namanya Wedi, orang-orang di dalamnya tidak seperti nama desanya. Bahkan berani-berani. Saking beraninya sampai-sampai mampu melepaskan dia begitu saja. Hehehe..