“Kehadiran dunia maya, secara ugal-ugalan benar-benar menjajah segala ruang dunia realitas sesungguhnya. Saat ini, kehadirannya benar-benar sudah menindih ruang nyata kita”
Bumi atau dunia kita ini masih bulat. Meski ada juga yang menyebut jika bumi ini datar atau barangkali bumi itu berbentuk lonjong, “…seperti telur burung unta” Kata Zakir Naik. Beberapa orang di pasar buku sana sepakat, menyebut bumi itu kubus, mempunyai sudut dan bentuk seperti buku.
Era masyarakat digital, seperti saat ini, sepertinya mempunyai pandangan sendiri tentang bentuk bumi. “Bumi kini tak ubahnya sebuah bola bekel”, seloroh istriku suatu ketika–yang kebetulan sedang main bola bekel bareng sulung kami.
Ya, bumi itu rasaya hanya sebesar genggaman tangan kita, sebesar bola bekel. Kita tak perlu lagi menggunakan kaki kita untuk berjalan-jalan jika ingin menjelajahnya.
Bumi yang kata istriku berbentuk serupa bola bekel itu ternyata juga tak mempunyai sebuah riwayat atau satuan waktu dan ruang. Ia memiliki mekanisme dan dunia-nya sendiri.
Seperti kita rasakan bersama, masyarakat kita saat ini kebanyakan menjadi orang yang suka riuh rendah dan lalu lalang dalam hiruk pikuk kesibukan menjelajah dunia baru yang sebesar bola bekel tadi. Sebuah dunia yang sampai saat ini masih disebut baru (meski tak baru-baru amat), yang di dalamnya apapun yang dapat dilakukan di dunia nyata, semuanya dapat dilakukan di sana—dengan tingkat kenikmatan serta pengalaman yang sama.
Mungkin nenek kakek dan beberapa ayah ibu kita atau diri kita sendiri, sempat punya anggapan, bahwa apa saja yang saat itu kita anggap sebagai fantasi, ilusi, delusi, halusinasi kini dapat dialami sebagai sebuah realitas yang (hampir) nyata. Hal itu terjadi lantaran bantuan teknologi simulasi yang sampai saat ini terus berebut ruang dan tumpang tindih dalam realitas sesungguhnya. Realitas yang ada.
Semua itu telah dan akan terus terjadi setiap hari. Inilah yang kita sebut dengan istilah dunia maya, mayantara, atau ruang cyber/cyberspace. Dunia yang baru tapi nggak baru-baru amat.
Istilah cyberspace sendiri, pertama kali digunakan oleh seorang penulis kenamaan William Gibson, seorang novelis sekaligus pionir subgenre fiksi ilmiah yang dikenal sebagi cyberpunk.
Dalam kata pengantar yang ditulis oleh Yasraf A Piliang di buku Mark Slouka (Ruang yang Hilang, Mizan – 1999), mengatakan; Gibson memperkenalkan kata cyberspace dalam bukunya yang berjudul “Neuromancer”, yang terbit pertama kali tahun 1984.
Gibson mendefinisikan cyberspace sebagai sebuah “ … halusinasi yang dialami oleh jutaan orang setiap hari … berupa representasi grafis yang sangat kompleks dari data di dalam sistem pikiran manusia yang diabstraksikan dari bank data setiap computer”.
Dalam ekonomi, cyberspace atau yang lebih familiar kita kenal dengan istilah dunia maya, bisa menjadi sebuah dunia alternatif. Semacam barang substitusi. Lebih tepatnya substitusi realitas yang ada. Dunia maya dianggap bisa menciptakan realitas baru yang lebih menyenangkan dari kesenangan yang ada, menciptakan fantasi yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, mencipatakan kenikmatan yang lebih nikmat dari kenikmatan yang ada, mencipatakan keintiman yang lebih intim dari keintiman yang ada.
Inilah sebuah dunia realitas baru, realitas virtual. Sebuah dunia realitas yang artifisial. Kehadiran dunia maya, secara ugal-ugalan benar-benar menjajah segala ruang dunia realitas sesungguhnya. Saat ini, kehadirannya benar-benar sudah menindih ruang nyata kita. Dan ironisnya, nyaris secara total.
Kita sebagai warga dunia maya, atau warganet, rasanya juga merasakan hal itu. Realitas virtual memang sangat memabukkan dan penuh candu.
Nah jika ini terjadi terus menerus secara simultan dan massif serta ugal-ugalan, lantas masih butuhkah kita dengan realitas yang ada? Realitas sebenarnya? Realitas itu sendiri?
Pandangan terhadap Dunia Maya
Setidaknya ada tiga pandangan yang berbeda dalam melihat realitas virtual tersebut.
Pertama. Orang-orang yang melihat realitas virtual secara positif dan penuh rasa optimis. (affirmative), mereka adalah Timothy Leary dan Howard Rheingold; penulis The Virtual Reality & The Virtual Community.
Kedua. Kelompok orang yang melihat realitas virtual dengan rasa curiga, pesimis dan cenderung menolaknya (refusal), di antaranya adalah Iain Boal dan Mark Slouka; penulis War of The Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality.
Ketiga adalah pandangan yang penuh ketidakpastian, yang mengkritik realitas baru tersebut, tetapi menerimanya sebagai sebuah kenyataan yang tak dapat ditolak (fatalistic), dia adalah Jean Baudrillard fotografer cum filsuf kontemporer Prancis; penulis Simulations.