Hari-hari ini petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro sedang merayakan panen raya. Awal Agustus lalu, para petani di sejumlah kecamatan seperti Kanor, Sumberrejo, Baureno dan Kepohbaru mulai memetik daun pertama. Masyarakat menyebutnya dengan istilah nggowoki.
Sayang, harga tembakau rajangan kering tahun ini tak sebagus tahun lalu. Setidaknya untuk harga awal petik daun paling bawah. Jika tahun lalu harga dibuka kisaran Rp 15 ribu dan hanya hitungan hari melonjak ke Rp 22 ribu, tahun ini harga dibuka dengan Rp 10 ribu dan merangkak naik ke Rp12 ribu, Rp 14 ribu, dan mentok Rp 15 ribu. Akan tetapi, tentu saja ini baru harga awal. Petik daun tembakau masih panjang. Semoga harga terus naik, karena itulah satu-satunya harapan petani tembakau.
Saya lahir dan besar di Bojonegoro. Meski bukan dari keluarga petani tus (karena kedua orangtua saya pedagang), tapi masa kecil hingga dewasa kini berada di lingkungan petani tembakau, dan pernah mencoba peruntungan produksi kretek meski gagal.
Kabupaten Bojonegoro tak bisa lepas dari sejarah tembakau. Bahkan, logo kabupaten dulu ada gambar tembakau. Lalu, bagaimana sejarah tembakau Bojonegoro?
Tanaman tembakau sebenarnya mulai dikenalkan VOC ke Hindia Belanda pada 1830. Waktu itu VOC mendatangkan beih sebanyak 100 gram dari Manila. Lalu, tahun 1909 tembakau mulai ditanam dan menjadi barang dagangan di pulau jawa. Jenis tembakau yang ditanam adalah jenis tembakau ekspor ke Eropa.
Melihat perkembangan hasil produksi tembakau yang cukup bagus, tahun 1920 berdiri PT British American Tobbaco (BAT) Indonesia dan PT Faroka SA. Pada awalnya bahan dipasok impor dari Amerika Serikat, namun mulai tahun 1925 PT BAT Indonesia mengolah tembakau virginia yang ditanam di Besuki. Lantaran dari Besuki kurang bagus, didatangkanlah tembakau dari Bojonegoro yang ternyata kualitasnya lebih cocok. Sehingga tahun 1928 penananam tembakau di Bojonegoro diperluas. Tahun 1930 areal tembakau di Bojonegoro mencapai 200 hektar dan 10 tahun kemudian mencapai 5.000 hektar.
Guna mendukung pengembangan tembakau virginia di Bojonegoro, tahun 1939 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Balai Penyelidikan Tembakau di Sumberrejo. Balai ini memberi informasi ke petani tentang cara menanam dan mengembangkan produktivitas tanaman tembakau. Sejak saat itu, tanaman tembakau terus dikembangkan di Bojonegoro hingga kini.
Pola kemitraan antara pabrik dan petani pernah dilakukan. Sebuah studi berjudul ‘Identifikasi Faktor Penyebab Lambannya Alih Teknologi Pada Usahatani Tembakau Virginia di Kabupaten Bojonegoro’ dilakukan oleh Mukani dari Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (Indonesian Tobacco and Fibre Crops Research Institute) yang dipublikasikan Desember 2006.
Mukani mencatat, selama periode 1970 – 1979 ke periode 1980 – 1989 ada kenaikan produktivitas tembakau Bojonegoro sebesar 43%. Hal itu salah satu penyebab adalah perubahan pola tanam dari tumpangsari menjadi monokultur. Penerapan teknologi anjuran para program Intensifikasi Tembakau Virginia (ITV) mampu meningkatkan produksi 2.529 kg/hektar. Mukani menyatakan alih teknologi lambat lantaran teknologi tidak mampu mengurangi risiko kegagalan yang disebabkan kelebihan air maupun kekeringan. Di Bojonegoro sebagian besar lahan tembakau virginia adalah sawah tadah hujan. (hal:71)
Istilah Ulan Songo
Tembakau Bojonegoro memang dikenal punya kualitas cukup bagus. Kini, pola kemitraan sudah tidak seperti dulu lagi. Kini petani tembakau menaman sendiri dan kemudian dirajang sendiri dan dijual dalam bentuk daun rajangan kering. Harganya tidak menentu. Kadang meroket, kadang terjun bebas. Seperti tahun ini, petani tembakau masih harap-harap cemas. Harga awal kurang menggembirakan.
Dulu, tembakau bak mutiara. Waktu saya kecil, teman-teman saya selalu mengandalkan ulan songo (bulan sembilan/September) saat hendak membeli barang. Mau beli sepeda onthl, nunggu ulan songo. Mau beli motor nunggu ulan songo. Mau beli televisi, nunggu ulan songo. Bahkan bagi petani yang punya lahan luas, ulan songo berlalu bisa membeli mobil.
Tapi kini, istilah ulan songo sudah tidak lagi terdengar. Memang bukan semata-mata lantaran panen tembakau tidak seperti dulu, namun juga lantaran sumber pendapatan petani tembakau terkadang bukan satu-satunya dari tembakau. Banyak keluarga petani tembakau yang punya sumber pendapatan, semisal anaknya merantau ke kota atau luar negeri, atau anaknya punya usaha lain di luar pertanian. Pendapatan anak kemudian jadi pendapatan keluarga.
Namun, bagaimana pun petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro hingga kini masih cukup banyak. Menanam tembakau bagi sebagian petani lebih disukai daripada menanam padi dengan bantuan air irigasi. Salah satu penyebabnya, tentu saja pendapatan dari tembakau lebih besar meski harus mengeluarkan keringat lebih banyak.