Tiba-tiba saya ingin Anda semua ingat bahwa Indonesia itu negeri yang besar. Dihuni banyak pemain sepakbola berbakat, dan memiliki sumber keuangan olahraga yang kuat. Namun, hingga kini, belum pernah sekalipun nama Timnas mengukir prestasi di dunia Internasional. Jangankan Internasional, Asia saja belum.
Baiklah, Timnas Indonesia pernah tercatat sebagai juara Sea Games Jakarta pada 1987 setelah mengalahkan timnas Malaysia. Tapi itu Sea Games lho ya, bukan ranah Asia. Ada lagi, Timnas Indonesia juga pernah tercatat sebagai tim Asia pertama yang lolos piala dunia pada 1938. Sayangnya, itu bukan menggunakan nama Indonesia, melainkan Nederlands Indische Voetbal Unie (NIVU), Hindia Belanda. Sekali lagi, bukan Timnas Indonesia.
Sidang pembaca yang baik, dengan potensi pemain berbakat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan begitu lamanya Indonesia mengenal Sepakbola, bukankah seharusnya Indonesia ini sudah layak mengukir prestasi di kancah Internasional?
Bermain dalam tajuk ujicoba melawan Suriah —tim yang negaranya sedang dilanda peperangan saja—Indonesia kalah wolak-walik. Kalah 2-3 pada (16/11) dan dua hari kemudian, tepatnya pada (18/11), kalah lagi 0-1. Padahal, secara psikologis, harusnya Indonesia lebih diuntungkan karena selain bermain di kandang, negaranya juga tidak dalam kondisi peperangan.
Belum lagi, gegap gempita heroisme dukungan untuk Timnas U-19 di kualifikasi Piala Asia U-19 yang harus berhenti hanya karena kalah 4-0 tanpa balas dari tim boyband Korea Selatan pada (4/11) lalu. Tentu, itu sangat tidak membanggakan, bukan?
Sebenarnya, masih banyak catatan kegagalan yang diraih timnas. Hanya saja, karena sama-sama tidak berpahala, saya jauh lebih memilih menghafal Pancasila daripada menghafal berapa jumlah kegagalan yang pernah diraih Timnas Indonesia. Dengan dukungan uang yang kuat, pemain-pemain berbakat, hingga doa-doa masyarakat yang selalu disemat, pernahkah kita berpikir, kenapa sih timnas Indonesia selalu gagal?
Kegagalan Timnas berhubungan erat dengan kegagalan klub-klub di liga kecil seperti Persibo Bojonegoro. Bukannya tidak bisa menerima kekalahan Persibo di Liga 3 Nasional tempo hari. Bagi saya, apapun yang terjadi; hidup, mati, jodoh, rezeki hingga kegagalan tim favorit pun, semua sudah digaris di lauhul mahfudz. Hanya saja, jika kegagalan disebabkan adanya indikasi kecurangan struktural, tentu bakal berimbas pada kehancuran strukturalis yang lebih masif, bukan?. Hemm.
Kegagalan Persibo adalah kegagalan non teknis di luar lapangan. Secara kualitas permainan dan skill pemain, lawan Persibo yang enggan disebut namanya itu jauh di bawah level Persibo. Bagi Anda yang menyaksikan laga tersebut, entah secara langsung ataupun streaming, pasti mengetahui di mana letak kejanggalannya. Iya, benar sekali. Semacam ada kecondongan wasit dalam memimpin laga tersebut.
Dari beberapa sumber yang sempat saya wawancara, memang sejak awal memasuki Liga 3 Nasional, sejumlah tawaran “pengawalan” sangat santer terasa. Tidak hanya sekali dua kali. Beberapakali manajemen maupun pelatih mendapatkan tawaran tersebut. Karena kondisi keuangan klub tidak memungkinkan, tentu penawaran itu tidak dikabulkan. Alhasil, kita semua tahu apa yang terjadi, kecondongan wasit di lapangan. Mereka yang mampu membayar “pengawalan” lah yang bakal menang.
Percayalah, perihal buruk seperti itu bakal berdampak pada Timnas. Sebab, banyak klub yang tersakiti. Nah, jika sudah tersakiti, tentu bakal ada karma bagi mereka yang menyakiti. Banyak klub di Indonesia yang memiliki kualitas bagus, pemain-pemain bagus, tapi karena minim finansial akhirnya berhenti begitu saja.
Di sinilah letak dosa besar para mafia sepakbola. Selain menyakiti hati klub, mereka juga membunuh potensi pemain-pemain muda produktif. Berapa banyak pemain muda potensial seharusnya bisa bermain di kasta atas namun gagal hanya karena sistem kotor “pengawalan” tersebut? sangat banyak.
Tentu saya bisa mengutip Edward Norton Lorenz dalam Chaos Theory (Butterfly Efect) yang mengatakan bahwa kepak sayap kupu-kupu di hutan belantara Brasil dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Secara tidak langsung, itu bisa dimaknai sebagai satu rasa kecewa sebuah klub kecil, bakal berdampak kerusakan besar pada Timnas kemudian. Nah, jika kekecewaan itu dirasakan banyak klub dan dilakukan berulang-ulang? Hemmm.
Sejak PSSI dirombak awal tahun lalu, memang sempat terbersit bahwa komponen di dalamnya adalah orang-orang baru yang idealis. Namun, ternyata itu hanya bersitan perasaan saya saja. Pada kenyataannya, masih banyak oknum-oknum Neo Orbais yang bercokol bak jamur di dalamnya. Mereka memang tidak tampak. Tetapi ada, dan kian berganda.
Jangan heran jika Indra Sjafri bersama Timnas U-19 gagal meski selalu meyakinkan di awal-awal kemunculannya. Jangan aneh jika pelatih sekaliber Luis Milla—pernah menukangi Timnas Spanyol U-19,U-20, U-21, U-23—tetap terseok-seok membawa nama Indonesia di kancah Internasional. Bahkan, jangan kaget jika ada kesan drama Korea di akhir Liga 1 beberapa pekan lalu. Bagi saya, itu semua sudah menjadi keniscayaan untuk sistem yang, yah, begitulah.
Terakhir, jika masih ada orang-orang “lama” yang menghuni kepengurusan PSSI, lebih baik Anda, saya dan kita semua fokus pada Panahan dan Badminton saja. Sebab, hingga kiamat kurang dua Minggu, sepakbola Indonesia tidak akan pernah maju.