Seni Menikmati Hidup yang Brengsek Ini!

Dok.Pribadi

“Setiap kelahiran bayi baru, itu bukti Tuhan tidak putus asa pada manusia, yang sejak mula menjadi wakil-Nya di dunia”
— Rabrindanath Tagore —

 

Masih ingatkah saat kita dahulu awal keluar dari rahim ibu kita? Mungkin sudah tidak ada yang ingat, dan tak ada yang mampu mengingat peristiwa kelahiran itu dengan rinci dan detail.

Ya, jika diingat-ingat lebih jauh lagi, sebenarnya kita juga tidak pernah ingat kapan sebenarnya kita dilahirkan? Lebih tepatnya, kita sekan tidak pernah berharap jika kita akan dilahirkan. Ya, orang tua kita lah yang mengharapkan kelahiran kita. Kira-kira begitu, tentu kamu boleh banget semisal tak setuju.

Tapi, mari kita coba kulik kelahiran kita di dunia ini. Kelahiran kita adalah memang sebagai khalifah di dunia ini. Seperti dialog Tuhan dengan para malaikat, sesaat sebelum memilih makhluk bernama manusia untuk menjadi wakilnya, mengatur dunia.

Meski bakal menciptakan kekacauan dan pertumpahan darah, tapi Tuhan lebih mengetahui tentang apa yang lebih diketahui.

Fatum Brutum Amor fati!” Kata Nietszche. Hidup ini brengsek, dan kita dipaksa menikmatinya, kata Puthut EA. Dunia dengan segala pernak-perniknya ini memang tidak pernah sempurna. Tak ada yang begitu benar-benar sesuai dengan harapan setiap makhluknya.

Baca Juga:  Merupa Buku Karya Koskow

Persoalan ini berakar pada harapan-harapan manusia yang biasanya banyak dan juga tinggi. Ekspektasi yang begitu tinggi selalu menjadi prioritas kita. Pribadi yang penuh ambisi dan perfeksionisme menjadi semacam motto hidup.

“Dunia adalah hasil lukisan Tuhan yang gagal”, ucap Van Gogh. Untuk itu, ia cipatakan dunianya sendiri dengan bergulat di dunia seni lukis. Ia melukis dunianya sendiri, dunia yang menurutnya ideal. Van Gogh, dalam hal ini, bisa dikatakan, merupakan orang yang mengingkari sekaligus menerima dunia; menolak namun tidak mampu meninggalkannya.

Stanislas Fumet pernah mengungkapkan jika “… dengan rasa bersalah, seni mencoba bersaing dengan Tuhan?”. Seniman, menurutnya, tidak bisa menerima kenyataan dunia – sepenuhnya. Ia menolak karena dunia tidak memenuhi harapan-harapannya.

Kita rasanya sudah tak terlalu asing dengan kata seni, seniman, nyeni dan kata sejenis lainnya. Sebuah kata yang tidak mudah dijelaskan, namun sebenarnya tidak sulit dipahami. Ya kan?

Ada baiknya jika kita tidak terlalu jauh dalam mengulik perihal ini, lebih-lebih secara teoretis. Atau mencoba mengawalinya dengan kacamata keindahan dengan antagonisme ekstrem klasik; manakah yang menentukan dalam pengalaman estetis — Apakah berasal dari perasaan kita yang mengalaminya, ataukah karena objek pengalaman itu sendiri yang estetis, yang indah?

Kali ini, penulis mengajak menjajal melihat kehidupan ini dengan cara yang estetis. Oleh karenanya, rasanya perlu untuk saling membagi semacam tips dan trik dalam melihat kehidupan ini secara estetis (kalau boleh disebut begitu).

Baca Juga:  Pojok Literasi Aswaja; Rutinan Ngaji Riyadhus Sholihin di Kantor NU Bojonegoro

Pertama kita musti bersyukur, karena dilahirkan di dunia ini adalah bukti Tuhan masih percaya dan tidak putus asa kepada manusia yang sejak mula menjadi wakilnya.

Kedua adalah pasrah. Tugas kita hanyalah di ranah usaha, sekali lagi tugas kita sebatas ranah usaha. Masalah hasil, biar Tuhan yang mengaturnya. Lakukan sepenuh hati, sisanya, pasrahkan saja dalam doa!

Ketiga, okelah sesekali perlu dong kita melirik teman atau tetangga kita yang mungkin menurut kita tampaknya lebih enak, dan lebih sukses dari kita. Tapi hanya sekedar untuk memecut diri agar mungkin bisa saja menjadi seperti mereka, yang kita anggap suskes itu. Namun, jika tidak seperti mereka kan juga gak masalah. Terima saja. Dan kriteria sukses tidak melulu seperti apa yang anda bayangkan.

Ya, ya, meski beribu ribu sudah kita coba namun hasilnya kok gitu-gitu aja, jangan pernah kecewa. Apalagi sampai memikirkannya terlalu berlebihan sampai bikin insecure. Sekali lagi, sukses yang kita bayangkan itu tidak selalu seperti itu.

Setiap manusia yang lahir dunia ini selalu diciptakan unik dan mempunyai kesuksesannya masing-masing. Dalam psikologi, tidak ada istilah manusia normal. Pasalnya, jika menyebut manusia itu normal tentu nanti ada dikotomi; tidak normal. Yang ada adalah setiap individu itu unik dan selalu istimewa. Percayalah. Kita pun juga istimewa. Sungguh!

Baca Juga:  Afi Nihaya Dikepung Hoax?

Begitupun kata sukses, nanti ada kata gagal. Yang ada adalah manusia yang terus dan terus menerus berproses. Sungguh amat dangkal jika kita memaknai kesuksesan hanya sebatas kehidupan di dunia ini saja. Bukankah setelah mati ada kehidupan yang kekal?

Kali ini izinkanlah penulis mengutip Rabrindanath Tagore; “setiap kelahiran bayi baru, itu bukti Tuhan tidak putus asa pada manusia, yang sejak mula menjadi wakil-Nya di dunia”

Meski Soe Hok Gie bilang jika; “nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan…”, namun saya sendiri, memilih menanggalkan perkataannya itu, kemudian menimpali; “nasib terbaik ialah dilahirkan, lalu bisa melihat kehidupan ini dari sudut yang paling indah kemudian menikmatinya”

Salam!
*Tulisan ini pernah dimuat di huluhilir.com pada 22 April 2022 dengan judul “Dunia adalah Hasil Lukisan Tuhan yang Gagal”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *