Sepakbola dan Kapitalisasi Suporter

Kalau bukan karena nostalgia masa kecil yang membahagiakan, tentu saya tak bakal hobi main sepakbola, alih-alih mengikuti dan memperhatikannya. Bukan hanya sepakbola Indonesia, tapi juga sepakbola dunia.

Sepakbola sebenarnya tak sekeren testimoni mereka-mereka yang ahli mengglorifikasi cerita. Kalaupun ada rasa kagum dan senang pada sepakbola, murni itu karena momen membahagiakan di masa kecil. Saat sepakbola masih sekadar mainan. Bukan gelagat yang penuh kepentingan.

Khusus untuk Indonesia misalnya, sematan “permainan sejuta umat” pada sepakbola tentu terlalu gegabah. Tidak melalui riset yang jelas. Sebab, bisa jadi, pengamatan dilakukan pada lingkar jaringan yang memang bergelut di bidang sepakbola. Dan itu-itu saja.

Kalau boleh jujur, di Indonesia, sepakbola sebenarnya kalah pamor dari badminton. Dalam hal apa saja: popularitas maupun prestasi. Tapi, karena sepakbola dekat dengan akar rumput, bisa dimainkan banyak orang, mudah dijangkau dan tidak memerlukan alat dan lokasi khusus untuk memainkannya, ia (terasa) dekat dengan kita.

Itu alasan kenapa sejak kecil, olahraga yang paling pertamakali dikenal adalah sepakbola. Tidak ada olahraga yang di tiap sekolah dasar (SD) dimainkan kecuali sepakbola. Sebab, ya sepakbola ini olahraga yang paling awal kita kenal dan mudah dimainkan.

Baca Juga:  Kalah Agregat 6-2 Lawan Thailand, Timnas Indonesia Gagal Juara AFF 2020

Kondisi itu didukung dengan banyaknya orang dewasa yang bercerita tentang heroisme sepakbola. Nah, mau tidak mau, kita pun mengenal sepakbola. Yang dalam perjalanannya, selalu dibumbui euforia dukungan pada klub-klub kesayangan.

Ini masalah psikologi massa saja. Banyak anak yang tidak suka sepakbola sebenarnya, tapi karena teman-temannya selalu bercerita tentang sepakbola, dia pun akhirnya ikut menyukainya. Bukan karena suka, tapi agar tetap memiliki teman.

Sejak mengenal permainan wasit, manajemen pengaturan skor hingga proses jual beli kompetisi liga yang dipenuhi kejijikan, kesukaan saya pada sepakbola pelan-pelan memudar. Tidak ada lagi yang bisa dinikmati dari sepakbola, kecuali permainan itu sendiri.

Saya suka sepakbola. Sepakbola menjadi separuh dari bagian hidup saya. Saya juga memiliki klub dukungan layaknya pecinta sepakbola lainnya. Tapi, kecintaan saya pada sepakbola murni cintanya anak kecil pada permainan. Bukan pada kepentingan.

Sehingga, ketika mengetahui banyak kepentingan bermain di dalam sepakbola, hakikat kecintaan itu lama-lama berkurang. Tinggal menyisakan syariat formal saja.

Ketika PSSI menghentikan sementara Liga 1 2018 hingga jangka waktu yang belum ditentukan karena kematian suporter, sebenarnya banyak yang setuju. Meski jumlahnya (konon) hanya sedikit. Sebab, keberadaan sepakbola di Indonesia memang sudah waktunya dievaluasi. Banyak mudhorotnya apa banyak manfaatnya?

Baca Juga:  Hilangnya Unsur Bermain dalam Sepakbola

Jika memang banyak mudhorotnya, sudah waktunya kita memberi kesempatan pada cabor lain untuk lebih tampil di permukaan.

Banyaknya suporter yang tewas hanya karena hal-hal sepele, tentu membikin kita sadar bahwa ada yang salah dengan sepakbola. Sepakbola sudah tidak senikmat saat kita memainkannya dulu di masa kanak-kanak.

Kenapa ada rivalitas antar suporter? Karena suporter jauh lebih ingin eksis dibanding klub sepakbola itu sendiri. Jangankan beda klub yang didukung, mendukung klub sama tapi beda fashion dan mazhab saja sudah rentan bertengkar. Ini bukti bahwa suporter jauh ingin lebih eksis daripada klub itu sendiri.

Sehingga, dalam perjalanannya, suporter tidak lagi fanatik akan klub yang dibelanya, tapi fanatik buta pada kelompok suporter masing-masing. Ini lah yang memicu kebuasan. Hingga banyak nyawa menjadi korban.

Sialnya, kondisi itu dimanfaatkan banyak kaum kapital untuk mengeruk keuntungan pribadi. Fanatisme dangkal suporter terus dipelihara oleh kaum kapitalis demi memperkaya perut sendiri.

Baca Juga:  Pergantian Jitu Luis Milla yang Mengantar Indonesia ke Semifinal

Kaum kapital di bidang pernak-pernik sepakbola hidup dari fanatisme dangkal para suporter. Bahkan, rivalitas sengaja dihadirkan demi memperbesar keterjualan barang-barang dagangan mereka. Hingga nyawa suporter pun dijadikan tumbal.

Andai suatu saat tiba-tiba seluruh Indonesia bosan pada sepakbola dan enggan menjadi suporter, tentu pihak yang paling kebakaran jenggot adalah mereka-mereka yang berjualan di balik keriuhan sepakbola.

Sepakbola sebenarnya sangat receh di hadapan nyawa manusia. Tapi kaum kapitalis berupaya menutup-nutupinya agar barang dagangan mereka tetap terjual.

Sepakbola sebenarnya sangat receh di hadapan nyawa manusia. Tapi politisi berupaya menutup-nutupinya. Sebab hanya sepakbola yang mengandung banyak massa.

Dan kau tahu, besarnya massa berbanding lurus dengan besarnya potensi memenangkan banyak suara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *