Tanah di dusun kami memang subur,bahkan sampai jalanannya sekalipun ikut-ikutan subur.
***
Kali ini Kota kesayangan, di mana ledre berasal, menyuguhkan hawa dingin dan derai hujan yang tiada tahu wayah-an. Siang, pagi, malam, dini hari sampai pagi kesiang lagi rasanya selalu diliputi bermiliar buliran air yang terlempar dari awan, dari langit di sana. Badan yang ringkih dan usia yang semakin kusut tak bisa terlalu lama lagi untuk berpura-pura jika sedang baik-baik saja.
Di jalan setapak berkerikil tajam dan penuh dengan lumpur serta lubang-lubang itu, menjadi saksi jika desa ini memang desa yang tidak muda lagi. Gapura dengan lambang garuda dan tulisan P4 saat hendak memasuki jalanan yang menjadi satu-satunya akses para warga itu telah berjenggot dan tak muda lagi. Jika kalian datang, atau kebetulan lewat dan tak sengaja menumpahkan sejumput kacang hijau yang anda beli dari toko kelontong di dekat perempatan sana, maka bisa dipastikan kacang hijau anda keesokan harinya akan berkecambah. Atau kwaci yang biasanya dijadikan camilan itu, jika tak sengaja terjatuh di kawasan jalanan kami, maka beberapa hari kemudian akan tumbuh benih bunga matahari yang merebak.
Tanah di dusun kami memang subur,bahkan sampai jalanannya sekalipun ikut-ikutan subur.
Adalah memang klise, jika salah satu bentuk disparitas merupakan sasaran utama yang mempunyai lahan cukup subur untuk menanam sebuah tanaman atau varietas bernama ‘proyek’. Bibit ‘proyek’ jenis apa saja jika ditanam bakal tumbuh dan panen.
Belum lama ini beberapa anak muda berdatangan berbondong-bondong, atau lebih tepatnya berkelompok, dengan mengenakan jas almamater serta sepatu bermerek tampak membungkus rapat kaki mereka. Ada seorang perangkat desa mendampingi mereka saat berjalan melihat-lihat lokasi setempat. Lokasi yang rupanya akan dijadikan ‘proyek’ semacam program pengabdian kepada masyarakat, yang memang selalu menjadi salah satu mata kuliah wajib, hampir semua kampus. Anak-anak muda ini biasa dikenal dengan sebutan mahasiswa.
Mereka berjalan beriringan di belakang salah satu perangkat desa, yang biasanya sehari-hari kami memanggilnya PakWo. Benar-benar tertib berjalan urut mengekor kebelakang mengikuti PakWo yang mendekati usia pensiun itu. Terlihat beberapa masyarakat di dusun kami begitu senang melihat dusun terpencil mereka itu kedatangan orang kota. Orang yang bersepatu dan memakai jas yang disetrika licin itu. Sebagian warga dusun kami yang memang ndeso ini, terlihat tak bisa menutupi ke-gawok-annya sehingga mengambil gambar para mahasiswa dan PakWo itu dari depan rumah masing-masing secara diam-diam. Atau barangkali mungkin saking senengnya, karena akhirnya dusun mereka dijadikan tempat untuk pengabdian dan penelitian para mahasiswa.
Ada seorang Ibu paruh baya yang awalnya begitu sibuk sedang mengupas jagung, hasil panennya, seketika memanggil anaknya yang sedang main lumpur di kubangan bekas mengaduk semen, di depan rumahnya.
“Le… He kae lho enek mbak-mbak mas-mas masiswa (kebanyakan orang didusun kami tak bisa mengucap kata mahasiswa dengan benar, maka jadinya: maasiswa). Namun bocah ingusan yang sedang main lumpur dengan telanjang itu tak terlalu mengerti ucapan sang ibu, ia masih saja asyik dengan bulatan-bulatan kecil yang ia buat dari lempung.
PakWo hanya melemparkan senyum sembari terus berjalan seperti hendak menuju suatu rumah. Para mahasiswa terus saja mengikuti di belakang PakWo. Ada salah satu di antara mahasiswa itu berhenti, menunduk menghadap ke salah satu genangan air hujan. Anak tersebut lantas terlihat seperti sedang bercermin. Ia mengambil sisir kecil dari saku almamaternya kemudian merapikan rambutnya yang berponi itu. Lalu cepat-cepat berdiri dan mengencangkan ikatan rambutnya yang terjuntai sepanjang pinggul itu.
Guntur mengelegar, langit kian hitam. Hujan sepertinya bakal terjun lagi dari langit.
“Ayo mas, mbak. Agak cepet. Mau hujan lagi. Nanti dilanjut di rumahnya Pak Carik” Ucap PakWo sambil menunjuk rumah berlantai 2 yang jaraknya hanya tinggal beberapa meter saja. Mereka pun mempercepat langkah mereka.
Siang itu memang mendung, genangan air hujan yang mencair pagi tadi tampak menggenangi lubang-lubang di jalanan. Dedaunan dari pohon mahoni yang tumbuh di kiri kanan jalan juga berjatuhan, sehingga jalanan yang hanya selebar 2 meter itu tampak makin berantakan. Daun pohon jati yang menguning di pinggir kali itu juga berjatuhan. Sebagian terhempas angin dan mendarat di jalanan. Daun-daun gugur ini seperti memberi semacam ucapan selamat datang pada PakWo yang terus bertiwikrama dengan para mahasiswa tersebut.
***
Hawa dingin untuk keberkian kalinya menyergap tiap kulit makhluk hidup di dusun kami yang terletak di lereng pegunungan Kendeng ini. Dengan hawa dingin yang lebih “asrep” dari biasanya. Warga sekitar pun cukup mengeluhkan dengan keadaan ini. Dan apalagi warga pendatang, terutama mahasiswa yang datang dari penjuru kota, tentu akan merasakan hal ini sebagai ujian tersendiri. Bisa saja berhari-hari ia tak mandi. Dari belasan atau puluhan universitas dan perguruan tinggi di kota kami, saat ini memang sedang libur panjang, hanya hitungan jari yang tampak berseliweran. Di antara yang berseliweran tersebut ialah yang sedang penelitian dan pengabdian tadi.
Di dusun kami, hanya ada beberapa gelintir anak saja yang bisa menikmati mewahnya bangku kuliah. Tentu alasan ekonomi, lagi-lagi yang menjadi esensi.
Dan benar saja, hujanpun akhinya menghempas bumi sepanjang malam.
***
Keesokan harinya, saat mentari mulai merangkak naik dari sarangnya, terlihat para mahasiswa itu sedang berkumpul duduk melingkar beralaskan terpal, di depan rumah Pak Carik yang mempunyai halaman luas tersebut. Mereka sedang membicarakan sesuatu, entah apa itu. Sesekali terdengar teriakan memekik mekik, semacam jargon. Kebetulan rumah yang kami tempati hanya dipisahkan 1 RT saja menuju rumah PakCarik. Jam segitu juga, bisanya para warga mulai beraktifitas. Ada seorang warga bernama Sarwi. Setiap pagi ia bersama Bapak dan Ibunya pergi meladang. Ladang milik pemuda berambut keriting itu tempatnya tak jauh dari belakang rumah Pak Carik. Jadi pasti ia lewat depan rumahnya Pak Carik dahulu untuk bisa sampai ke ladang, atau dalam bahasa kami ladang=tegal-an
“Wi, budal nek tegal?” Celetuk Amri, teman Sarwi saat SD dulu. Yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan Pak Carik.
“Iyo Am, iki ape nek tegalan”. Sahutnya. Bapak dan ibunya terus saja berjalan.
“Sek to, rene diluk!” Ajaknya sambil melambaikan tangan pada Sarwi. “Ngopi kene lho, karo ndelok mahasiswi ” Imbuhnya dengan suara lirih, nyaris tak terdengar.
Seperti ada tarikan magnit yang menarik tubuh resam Sarwi. Ia pun akhirnya memenuhi ajakan Amri yang duduk santai di depan rumahnya. Ia melihat bapak ibuknya yang kian jauh terus berjalan menuju ladang.
“Awakmu prei e iki?” Tanya Sarwi ke Amri sambil menata duduk dan mencomot sebatang rokoknya yang tergeletak di lantai itu. “Kok nek omah?”
“Opo to Wi… Sarwi, aku wes lulus kaet tahun dek ingi kae lho”.
“Lhoh wes lulus to? Lhakok lagek ketok?”
“Iyo wi, lha aku dolanan sek nek kono”.
“Enak nu wes lulus, karek dadi pegawai saiki”.
“Duh Wi, lulus yo nganggur. Enak nek ijek kuliah. Aku ndelok cah-cah nek nggone pak Carik kae kok nggarai aku kelingan jaman-jaman kuliah yo…”.
“Wah, lha kuliah i piye to jan-jane ki?
Amri adalah salah satu di antara sedikit anak di desa kami yang bisa mengenyam bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Ibu Kota sana. Ia berhasil kuliah sesaat sebelumnya menjual 2 bidang tanah milik sang ayah yang tak lain warisan dari mbah-mbahnya dulu. Ia rutin mengikuti les privat untuk masuk ke Universitas sejak duduk di bangku kelas 3SMA. Sedangkan Sarwi adalah anak yang tak punya ambisi untuk duduk di bangku perguruan tinggi mana pun. Ia tak mau jika biaya kuliahnya musti ditopang dengan uang hasil jual tanah seperti temannya, Amri.
“Tak ceritani ya, aku iling calon mahasiswi sing daftar nk kampusku pas aku nek Depok kae”
“Waduh. Nek kowe cerito ga sido nk tegal aku. Diseneni mak’e ngko aku”
“Wes ngene wae, nek ga salah aku sempat nggawe catetan oret-oretan – diary harian ngunu. Ngko tak wenehi alamate. Tak WA-yo. Ngko karek klik”
“Aku tak nek tegal sek, selak panas”
“Awakmu nggowo HP kan?
“Iyo nggowo” pungkas Sarwi sambil bertolak dan mengikuti jejak kaki ibu bapaknya di tanah yang masih basah itu.
“Wes tak WA” Tambah Amri. Si Sarwi tak menjawab hanya mengacungkan jempol kepadanya.
Demi hanya menyenangkan seorang teman, sesaat setelah pulang dari ladang, ia akhirnya mengklik alamat yang diberikan Amri itu. Hingga mengantarkannya pada sebuah tulisan seperti berikut:
***
“Mas permisi, Gedung E4 mana ya?” Tanya seorang perempuan menggunakan seragam abu-abu putih, di suatu hari yang sangat indah, di sebuah taman samping perpustakan. Parasnya yang anggun, dengan wajah eksotik dan bulu mata yang lentik serta rambut yang tergerai sebahu itu tampaknya memaksa saya untuk tidak menjawab pertanyaannya, namun saya lekas mengantarnya ke depan pintu masuk gedung yang sedang ia cari, yang kebetulan tak terlalu jauh letaknya. “Mari, saya antarkan” sahut saya sambil berlalu. Ia pun mengikuti saya dari belakang. Langkah sengaja saya pelankan. Kali ini aroma parfumnya yang tak asing, menyeruak hidung saya, dan lantas saya berucap “Mau ikut ujian SBMPTN ya mbak?” Suaraku tiba-tiba membesar dan sedikit serak, seperti keluar dari rongga dada. Ah- Naluri untuk mendominasi mencuat begitu saja.
“Iya Kak”, jawabnya ringkas. Tak lama, tibalah kami di depan gedung.
“Ini gedungnya” Ucap saya sembari mencuri pandang pada sebuah sudut mata yang penuh harapan untuk bisa duduk di sebuah bangku Universitas, di sebuah jurusan yang diidam-idamkan. Angin mencuit, menyapu dahan dan dedaunan pohon yang tumbuh rindang. Tak luput, angin membelai genit rambut perempuan itu, rambutnya yang sedikit ikal itu terkibas-kibaskan hingga sedikit berantakan. Cepat-cepat ia sisir dengan jemarinya.
“Makasih ya, mas”.
“Iya sama-sama”. Ia pun berjalan memasuki gedung berlantai dua itu. Baru saja dua langkah “Oiya, sudah tahu ruangannnya?”. Sergah saya.
“Sudah kok mas, ada teman saya nunggu di depan ruangan”, jawabnya sambil mengeluarkan HP dari saku.
“Mas-nya Mahasiswa sini?”
“Iya”
“Oh … Saya juga milih kampus sini mas pilihan pertama, kebetulan tesnya juga di sini”, pungkasnya dengan sebuah senyum simpul. Dan ia berjalan menghilang di balik pintu dari kaca tebal itu.
Saya jadi teringat beberapa tahun lalu, saat saya hendak masuk mendaftarkan diri sebagai mahasiwa di kampus ini. Saya mengikuti beberapa tahapan tes, tersesat di antara gedung-gedung bernomor dan berseri-seri, dan yang paling saya ingat adalah harapan dan impian yang begitu besar saya bawa dan sematkan dalam angan-angan. Yaitu: kampus adalah sebagai “sumber ilmu”.
Dan tak lama setelah saya diterima dan menyandang predikat sebagai mahasiswa “Agent of Change”, impian saya yang mulai melambung, terbentur pada kenyataan, bahwa di kampus tak sedemikian halnya. Tidak juga kampus ini. Mars-nya yang selalu masih menyentuh, yang dinyanyikan di tiap tahun bersama puluhan ribu mahasiswa baru, dengan pandangan kepala tegak dan membuat mata berkaca-kaca, memang menyeru kepada almamater untuk “unggul berkarya” dan menjadi “rujukan dunia”. Saya tak terlalu tahu arti, maksud lebih-lebih makna dari lirik Mars itu, Namun, itu terasa hiperbol gaes. Ilmu itu di mana-mana. Dan rujukan bisa dari mana saja bukan? Kreasi manusia, proses seorang manusia itu pasti dan akan selalu berbeda. Ia melintasi batas-batas universiter. Apalagi cuma bilik-bilik kelas, jurusan dan fakultas-fakultas.
Pernah suatu ketika, saya mendengarkan respon seorang mahaguru pada salah seorang mahasiswanya yang kebetulan jurusan Seni Rupa, di suatu siang yang terik di sebuah kantin. Saya duduk di meja persis hadap-hadapan bersebelahan dengan Dosen dan Mahasiswa yang tampaknya sedang bimbingan itu. Tanpa maksud menguping, diskusi mereka berdua terdengar jelas di telinga saya, entah awalnya bagaimana, Saat itu sang mahasiswa berbicara tentang kondisi sosial ekonomi di daerah asalnya. Tentang jumlah pengangguran dan rendahnya tingkat pendidikan di daerah asalnya. Namun betapa terkejut dosen ini, ia terperanjat sambil meletakkan sigeret di asbak.
“Kamu ini, jurusan apa? Emang tahu apa kamu soal sosial, ekonomi? Ha?”.
Yang tak kalah heran adalah saya kala itu. Saya heran bahwa ia heran dan terkejut seperti itu. Kadang di Universitaslah kita menjadi orang yang melupakan sabda Nabi; Carilah ilmu sampai ke negeri Cina. Nahh ini,,, baru mencari ilmu di seberang fakultas saja sudah diblokade. Ada semacam peng-embargo-an intelektual. Pada asasnya, apa yang kita cari di Universitas? Ijazah, gelar intelektual, status sosial, atau pengisi waktu luang tinimbang nganggur? Atau untuk meninggikan harga jual para penjaja kepuasan sahwat? (Untuk yang terakhir kita bisa lanjut dengan secangkir kopi Jozz). Setelah itu apa? Pekerjaan atau sebuah proyek riset yang dipesan dan dibayari, yang tak jarang data dimanipulasi?
Sampai sini, seseorang; entah mahasiswa, dosen atau civitas akademik lainnya mau nggak mau harus memarkir “niat”-nya untuk mencari ilmu pengetahuan–“niat”-nya perlu diperbarui dengan “niat” ambisi seorang “intelek” pemburu dolar dan kertas sakral. Lalu pasang kacamata kuda, lari kencang, sembari berikrar; “Carilah ilmu sampai sekian semester saja!”
“Kita boleh berhenti sekolah, tapi jangan pernah sekali-kali berhenti belajar” bukankah jika “Ijazah itu adalah bukti jika kita pernah sekolah, bukan berpikir?!” Kata Rocky Gerung dalam layar kaca.
—-
“Wes tak woco” tulis chatnya ke Amri sepulang dari ladang, dengan pakaian yang masih dibasahi oleh keringat, Biar Amri, teman lamanya itu merasa lega dan senang.
Ternyata tak sampai satu menit, chat WA berubah menjadi centang dua berwarna biru dan mendapatkan balasan:
“Piye Wi, apik?”
“Jan-jane kowe kuwi ngeledek to piye to? Roh dewe aku sekolah mung sampai SD. Wong cekelanku arit mebendino kok ditakoki ngono’an”. Kali ini Sarwi membalas chat tersebut dengan Voice Note. Dengan nada sedikit tinggi. Dengan peluh yang masih bercucuran dari tubuhnya yang ringkih itu.
Malam, setelah hujan reda
22 Januari 2022
Abdul Mufid
Tulisan yg berdasar observasi langsung di lapangan 👌