Sepintas Sejarah Kebiasaan Sarapan pada Masyarakat Jawa

Ilustrasi: penjual keliling masa lampau

Tiap hari kita makan. Tiap hari kita minum. Untuk apa? Biar kenyang. Punya energi. Sehat dan kuat. Tapi, apa cuma itu saja tujuan kita? Tentu saja tidak kan? Ada orang sakit tidak boleh makan ini, tidak boleh minum itu. Artinya, makan dan minum bisa juga membahayakan tubuh.

Bagi masyarakat jawa lebih kompleks lagi. Makanan bisa berarti doa, makanan bisa berarti tolak balak, makanan bisa bermakna sopan santun. Makanan bisa menunjukkan sedang ‘nglakoni’. Makanan juga untuk ritual yang tiap ritual memiliki menu dan bumbu berbeda. Ada sego golong, nasi buwuhan, bubur tironan, dan lainnya.

Cara makan pun ternyata punya istilah macam-macam. Muluk,pamah, atau disuru adalah beberapa istilah dalam tradisi makan di jawa. Tapi, mari kita membincang tentang makan pagi. Sarapan. Breakfast.

Lalu, bagaimana sejarah sarapan? Tentu tidak mudah mencari literatur sejarah sarapan, khususnya bagi orang jawa. Catatan tentang pola makan zaman dulu, menyebut masa Kekaisaran Romawi, tidak ada tradisi sarapan. Dalam sehari masyarakat makan sekali yakni sekitar tengah hari. Makan lebih dari sekali dianggap suatu keserakahan.

Pada abad ke-17 baru ada tradisi makanan. Yakni berawal dari kebiasaan masyarakat kaya Inggris. Tapi Revolusi Industri pertengahan abad ke-19 terbentuk pola makan yang teratur. Hal itu dipengaruhi oleh jam kerja pabrik yang mewajibkan pekerja disiplin.

Tapi, apakah masyarakat jawa ikut terpengaruh pola makan itu? Mari kita melihat dengan kacamata sederhana saja tentang apa yang tampak sekitar.

Baca Juga:  Doa di Pagi Hari Lengkap Penuh Keberkahan

Masyarakat jawa adalah masyarakat pagi. Artinya, sejak terbit fajar, masyarakat jawa sudah disibukkan dengan berbagai aktivitas. Sebagian besar bersiap ke sawah, ke pasar. Kalaupun tidak ada pekerjaan di luar, mereka akan menyibukkan diri di sekitar rumah. Bangun pagi sebelum ayam jago berkokok adalah kebiasaan. Tak heran muncul kepercayaan bahwa jika bangun siang, rejekinya dipatok ayam.

Kebiasaan makan pagi di kampung (menurut pengamatan saya) bisa dibagi menjadi dua. Pertama, saat pagi masih gelap yakni sebelum mereka berangkat ke sawah. Kebiasaan ‘pra sarapan’ ini lebih ekspresif. Karena dilakukan di warung kopi atau penjual di pinggir jalan yang memang hanya buka selepas subuh. Menunya biasaya serabi, ketan, tiwul, atau semacamnya. Menu itu dipadu dengan secangkir kopi, wedang jahe, atau teh anget. Dan kedua, sarapan nasi yang biasanya menu nasi pecel dan nasi goreng dengan lauk tempe, telor ceplok dan kerupuk.

Departemen Pendidikan dan Kebudaya (Depdikbud) pernah melakukan penelitian tentang tradisi makan masyarakat Jawa Tengah, dengan mengambil sampel masyarakat Magelang, Demak dan Cilacap. Hasil penelitian yang dipublikasikan 1997 itu diantaranya menggambarkan kebiasaan makan masyarakat Jawa Tengah sebanyak tiga kali sehari, sebagaimana masyarakat eropa.

Khusus menu untuk makan pagi atau sarapan dibedakan antara orang dewasa dan anak -anak. Jika orang dewasa biasa makan nasi goreng dengan telur ceplok atau telur mata sapi dan kerupuk. Jika tidak sarapan nasi, masyarakat akan makan pisang goreng atau dengan ketan kintan, yaitu ketan yang diberi gula merah dan kopi atau the. Sedang untuk anak -anak sarapan dengan nasi bubur dan sayur (tahu, telur yang dimasak dengan santan dan diberi wama kuning) lebih dikenal dengan sebutan bubur sayur. (hal: 30)

Baca Juga:  Menepi dan Hening di Makam Wali Gotong Syeh Zakaria

Tradisi makan bagi masyarakat jawa adalah tradisi yang dilihat sebagai sesuatu yang dihormati, sesuatu yang diagungkan dan punya nilai tersendiri dalam tata kehidupan masyarakat. Dalam catatan kuno sekitar abad ke-6 terdapat informasi mengenai kebiasaan makan minum orang Jawa. Masyarakat jawa makan langsung pakai jari, tidak pakai alat misal sejenis sendok atau sumpit. Sedang minuman khasnya adalah tuak disadap dari tandan bunga kelapa.

Tapi, seberapa penting sarapan? Saat saya masih duduk di bangku kuliah S2 di UNS, seorang profesor, guru kami, sering berpesan, sarapanlah karena sarapan itu sedekah pertama pada tubuh. Saya tidak tahu dasar atas apa yang dikatakan beliau. Tapi dari pencarian saya, sedikitnya ada beberapa jawaban.

Untuk mengetahui manfaat sarapan, sejumlah peneliti merancang sebuah studi. Perdebatan muncul. Seorang pakar kesehatan mengatakan sarapan itu ‘berbahaya’: makan di pagi hari menyebabkan kortisol kita memuncak lebih banyak daripada di kemudian hari. Ini menyebabkan tubuh menjadi kebal terhadap insulin dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan diabetes tipe 2

Tapi, sebagaimana diulas panjang di unggahan BBC pada 28 Novemer 2008 berjudul ‘Is breakfast really the most important meal of the day?’ seorang profesor kedokteran metabolisme di Pusat Diabetes, Endokrinologi, dan Metabolisme Oxford bahwa sarapan adalah kunci untuk memulai metabolisme kita, katanya. “Agar jaringan lain merespons asupan makanan dengan baik, Anda memerlukan pemicu awal yang melibatkan karbohidrat merespons insulin. Sarapan sangat penting untuk hal ini terjadi, ”kata Karpe.

Baca Juga:  Oeloeng, R0k0k Klobot Indonesia Merdeka dari Bojonegoro

Tapi terlepas dari perdebatan terkait dampak kesehatan dari sarapan, saya lebih sreg dengan pendapat bahwa sarapan adalah sedekah pertama pada tubuh. Ya, tubuh kita bekerja 24 jam nonstop. Anggota tubuh akan bekerja sesuai dengan fungsi masing-masing. Dan malam ketika kita istirahat, tubuh tetap bekerja lebih giat. Ketika kita bangun pagi, maka saatnya memberi sedekah kepadanya. Tubuh punya hak untuk diberi asupan yang sesuai kebutuhannya. Apalagi sedekah itu ditambah dengan ungkapan syukur, ditemani secangkir kopi dan tiwul, aha nikmatnya. Salam.

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *