BUKU  

Sihir Cerita Silat SH Mintardja, Membaca Mata Air di Bayangan Bukit

Saya selalu merasa tersihir oleh cerita silat SH Mintardja. Untuk memulai membaca buku cerita karya sanga maestro, saya memerlukan memantapkan hati. Kenapa? Karena jika sudah memutuskan memulai membaca, maka sulit untuk berhenti di tengah jalan. Cerita-cerita itu selalu memburu, memenuhi imajinasi, memaksa untuk mengintip jalan cerita selanjutnya.  Ya, cerita silat SH Mintardja memang bisa serupa sihir. Sialnya, saya berulang-ulang tetap saja melakoninya. Hehe

Catatan ini tentu tidak begitu penting. Apalagi bagi Anda yang tak menyukai cerita silat dalam kalimat-kalimat yang berbaris di lembaran-lembaran kertas. Tapi anggaplah saya sedang berada di bawah pengaruh sihir tiap kata yang ditulis SH Mintardja dalam tiap karyanya. Saya sudah melahap beberapa judul, meski itu jauh dari jumlah banyak.

Kini, saya baru memulai membaca Mata Air di Bayangan Bukit. Ada 23 jilid. Saya membeli buku itu tidak lengkap jilidnya. Jilid 1-6 tidak ada. Untung, di online mudah ditemukan jilid itu. Sehingga, meski harus bersusah payah (karena mata tak kuat berlama-lama menatap gadget), saya terus membacanya. Meski beberapa kali harus menahan diri, karena mata tak lagi kuat.

Baca Juga:  Akhir Kisah Api di Bukit Menoreh yang Belum Berakhir, Lalu?

Cerita tentang apa? Sebagaimana cerita-cerita yang ditulis SH Mintardja, pertarungan antara kebaikan dan kebejatan berkelindan dengan kemunafikan, dibungkus dengan cerita-cerita silat yang menegangkan. Latar cerita tak jauh dari sejarah kerajaan-kerajaan di masa silam.

Mata Air di Bayangan Bukit pada awal-awal berkisah tentang dua padukuhan yang berasal dari buyut yang sama. Lumban Wetan dan Lumban Kulon. Dua padukuhan itu kering kerontang. Pertaniannya hanya menunggu gerojokan air hujan. Akan tetapi, datang dua orang (kakek tua dan anaknya) yang mengaku berasal dari padepokan yang luluh lantah dihajar gempa. Dua orang itu ternyata orang linuwih, punya ilmu kanuragan sangat tinggi tapi menyembunyikannya. Bersama Jlitheng, pemuda desa Lumban Kulon, dua perantau itu mampu mengalihrkan air dari atas bukit ke persawahan. Masa depan tanah subur membayang.

Namun kemudian timbul persoalan, yakni perebutan air antara Lumban Kulon dan Lumban Wetan.  Kedua padukuhan itu mengklaim yang lebih memiliki hak atas air itu. Ketika tanah mereka gersang tak ada persoalan, tapi saat tanah basah dan air melimpah, terjadi ketegangan-ketegangan.

Di luar cerita itu, ada yang lebih menarik. Jlitheng adalah ternyata seorang anak Pangeran era Majapahit. Cerita ini berlatar masa kerajaan Demak. Artinya, Majapahit telah runtuh. Ia melibatkan diri dalam perburuan pusaka yang juga menyimpan petunjuk adanya harta benda yang luar biasa banyak. Pusaka itu dipercaya membawa kebesaran dan keududukan yang tinggi. Mungkin saja sebagai raja.

Baca Juga:  Membaca Buku Harian Seorang Part-Time Indian

Perburuan pusakan itu melibatkan banyak perguruan. Mereka saling intrik, saling bunuh, demi memperoleh pusaka. Dan setiap pertarungan antar pendekar, SH Mintardja mampu menulis kata-kata yang membuat pembaca (saya maksudnya) ikut tegang, berdebar-debar. Bagi saya, membaca lebih imajinatif daripada menonton film.

Tapi bukan itu yang hendak saya ceritakan, akan tetapi apa yang dilakukan SH Mintardja memang benar-benar luar biasa. Saya sulit membayangkan sebagai pencerita, memasukkan begitu nama nama, banyak karakter, banyak ciri-ciri fisik, yang semua bisa dipertahankan hingga akhir cerita. Saya membayangkan, pasti ada rumus-rumus tertentu menulis cerita panjang, rumit dan hampir tidak ada kalimat yang perlu dibuang. Semua terasa menarik.

Siapa SH Mintardja?

Secara sederhana, sebagaimana ditulis Wikipedia, S.H. Mintardja punya nama lengkap Singgih Hadi Mintardja. Lahir pada 26 Januari 1933 dan meninggal dunia pada 18 Januari 1999. Ia merupakan pionir cerita silat asal Yogyakarta. Karyanya bernuansakan sejarah dan dunia persilatan di Tanah Jawa.

Baca Juga:  Dunia Sophie Episode Democritus; Teori Atom & Penutup Filsafat Alam Yunani

Karya yang banyak dibincangkan orang adalah Api di Bukit Menoreh serta cerita berjudul Nagasasra dan Sabukinten. Tapi jangan salah, di luar dua cerita itu, semua ceritanya luar biasa. Salah satunya yang sedang saya baca sekarang: Mata Air di Bayangan Bukit (23 jilid).

Dan baiklah, lebih baik saya melanjutkan membaca cerita Mata Air di Bayangan Bukit. Karena baru sampai jilid 10.

Jika anda merasa tersihir seperti saya, maka hadapi dengan tabah. Karena itu sungguh menyiksa. Haha. Oh ya, jika Anda pernah membaca Libri di Luca karya Mikkel Birkegaard boleh jadi inilah yang digambarkannya tentang kekuatan buku.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *