Anime ini dirilis pada 2007. Tapi saya baru menontonnya di 2012 atau 2013, setelah salah seorang teman merekomendasikan anime ini pada saya. Apa reaksi saya pertama kali saat nonton? Tidak, saya tidak menangis. Hampir, karena waktu itu menonton dengan orang lain. Jika sendiri, mungkin saya akan menangis.
Kalau saya ditanya tayangan apa yang paling saya sukai, saya selalu menyebutkan anime ini. Kenapa? Sebenarnya rasa suka terhadap apa saja tidak mesti ada alasannya, Kan? Tapi coba saya jawab.
Anime ini luar biasa bagus, bagi saya. Dibuka dengan visual bunga sakura yang berguguran dan pembicaraan tentang kecepatan bunga yang jatuh sampai ke tanah. “5 sentimeter per detik.” Sesuai judulnya.
Anime ini dibagi menjadi 3 chapter.
Chapter pertama dari 3 yang ada, Oukashou (bunga mekar), dibuka dengan surat. Surat Akari kepada Takaki. Bagi saya, generasi yang sempat merasakan kenikmatan mengirim surat meski singkat, momen mengirim surat adalah momen paling menyenangkan.
Menyerahkan diri pada ketidakpastian soal kapan surat saya diterima? Atau apakah surat saya diterima? Atau justru lebih tidak pasti lagi, apa surat saya terkirim? Apa pak pos tidak lupa mengambil surat saya di antara tumpukan yang tak terhitung jumlahnya? Apa surat saya sampai pada alamat yang benar?
Takaki menerima surat Akari. Surat yang mengajak Takaki bernostalgia. Mengorek kembali kenangan-kenangan mereka, kehidupan di Tokyo beserta deskripsinya. Akari menutup suratnya dengan, “Hei, Takaki. Masihkah engkau mengingat diriku?”
Saya suka sekali cara Makoto Shinkai menggambarkan segala sesuatu, termasuk menyorot Takaki dengan segala kegiatannya saat memperdengarkan suara Akari membacakan suratnya. Seolah hendak menyampaikan surat Akari sedang memenuhi dunia Takaki saat itu. Memenuhi pikiran Takaki, saya sengaja memilih ‘memenuhi’ daripada ‘mengganggu’, karena tak ada satu pun tanda bahwa Takaki terganggu oleh surat itu.
Hampir di semua anime Makoto Shinkai yang saya lihat mengisahkan tentang jarak. Entah itu jarak sesungguhnya, yang mampu diukur dengan satuan, maupun jarak yang metaforis, seperti perasaan yang tak berbalas. Sebenar-benarnya jarak dalam sebuah hubungan. Di anime ini, keduanya, Takaki dan Akari, masing-masing terus berpindah. Lebih jauh, dan lebih jauh lagi.
“Ketika waktunya tiba, bukan hanya jarak yang memungkinkan kita untuk sekadar naik kereta dan bertemu satu sama lain. Kupikir, aku akan menjadi sedikit kesepian.”
Bagiku, kalimat itu adalah ungkapan terdalam remaja perempuan yang takut kehilangan. Perasaan yang benar-benar dalam. Lebih dalam dari sekadar, “Aku akan merindukanmu.” Orang masih bisa menikmati rindu, tapi tidak dengan kesepian. Tidak diucapkan secara lugas soal rindu, tapi kesepian tanpa kehadiran Takaki adalah mencangkup kerinduan dan penderitaan.
Dalam anime ini, banyak sekali metafora yang bisa ditangkap. Pada kemunculan burung yang terbang sendiri di langit yang luas misalnya. Saya tidak tahu apa ini hanya penangkapan saya, atau memang maksud yang ingin disampaikan Makoto pada penggemar karyanya.
Seolah dia hendak mengibaratkan orang yang sedang jatuh cinta. Perasaan yang dialami seorang diri. Benar-benar sendiri merasakan ketidakpercayaan diri di hadapan cinta yang maha agung. Benar-benar tidak sebanding dengan yang dicintai.
Kita memandang keluasan tak bertepi, yang panjang, yang seolah tak akan berakhir, namun begitu kita dengan kerelaan berkelana tanpa kepastian, akan menemui ujung atau tidak. Dan ketidakpedulian akan ‘entah’ yang kita temui sepanjang perjalanan menuju tepi: badai, sepi, sunyi, dan apapun, akan ditempuh untuk bertemu yang dicintai.
Salah satu yang paling menyedihkan adalah perjalanan Takaki mengunjungi Akari. Ketika dia kehilangan surat yang dia tulis untuk Akari, yang diberikan secara langsung untuk Akari. Takaki menahan airmatanya. Penyiksaan tidak berhenti di situ, ia berlanjut ketika kereta berhenti karena badai salju semakin parah, sedang perjumpaannya dengan Akari selalu menuntut kesegera’an.
“Waktu seolah mempunyai niat jahat dalam pertemuan kami,” ucapnya sembari mengepalkan tangannya kuat-kuat. Menahan. Bertahan.
Tapi, apapun yang dirasakan Takaki dalam perjalanan panjangnya naik kereta, dengan segera sirna begitu dia bertemu dengan Akari. Tidak peduli sesedih apapun, segelisah apapun ,selapar apapun yang dirasakan Takaki, semua akan terhapus begitu dia menjumpai sosok Akari sedang menunggu kedatangannya di ruang tunggu.
Mengorbankan diri dalam dingin dan kesendirian. Yang hadir seketika itu adalah kebahagian yang tidak terungkapkan dengan kata. Mereka berdua menangis. Konon, begitulah cinta mempermainkan perasaan kita. Sekali lagi, Makoto memang menyebalkan.
Perjumpaan Takaki dan Akari adalah perjumpaan dua insan yang saling mencintai, tapi gagal menentukan arah mereka. Gagal mengungkapkan yang sulit diungkapkan. Takaki tidak mengatakan yang dituliskannya dalam surat, begitu juga Akari yang memilih menyimpan kembali surat yang telah ditulisnya. Semua kemungkinan dihancurkan perlahan oleh jarak yang semakin lebar.
Ah, keren sekali Makoto ini. Saya berkali-kali memujinya. Saya khawatir ini akan terlalu panjang jika saya menuliskan semua impresi saya saat melihat anime ini. Baiknya saya lanjut pada bagian kedua.
Chapter kedua, dibuka dengan sepasang, laki-laki dan perempuan, yang berjalan menaiki bukit dengan hamparan dan gemerlap bintang di kegelapan. Perlahan cahaya kosmik menyinari wajah laki-laki.
Busur panah ditarik, anak panah dilesatkan. Cosmonaut, judul dari chapter kedua dari tiga. Di chapter ini, tidak ada tokoh Akari. Sorotnya bergeser pada tokoh baru yang dimunculkan, Sumida, yang sedang jatuh cinta pada Tohno (Takaki Tohno).
Lagi-lagi tentang jatuh cinta. Ya, apalagi yang dihadirkan di genre romance ini kalau bukan cinta. Tapi yang kumaksud di sini adalah jatuh cinta. Perasaan cinta yang selalu dipasangkan dengan momen jatuh. Momen di mana orang yang merasakan, tidak lagi mampu berdiri di atas kakinya. Ia jatuh. Ia tidak bisa berdiri. Tidak percaya diri. Tidak bisa mengendalikan diri.
Bahwa kau telah dikuasai oleh cinta, dan kau bukan lagi dirimu saat kau jatuh cinta. Itulah yang dirasakan Sumida dengan mengatakan takut menghadapi ketidakpastian, namun menyenangkan ketika bertemu. Selalu membingungkan, bukan?
“Tohno-kun selalu terlihat mengetik pesan. Pada saat itu, aku berharap akulah yang menerima pesan itu. Dengan alasan tertentu, aku selalu memikirkan hal itu.”
Berbeda dengan hubungan Akari-Takaki, hubungan Sumida-Tohno adalah hubungan berjarak yang metaforis. Sebenar-benarnya jarak yang tidak akan pernah bisa dilipat dengan pertemuan atau perjalanan dalam bentuk apapun. Dan yang paling saya sukai, lagi-lagi, adalah cara yang ditempuh Makoto Shinkai dengan menghadirkan roket luar angkasa untuk menggambarkan bahwa pandangan Tohno selalu tertuju pada sesuatu yang tidak mampu dijangkau oleh Sumida. Angkasa luar yang dia tahu betul, tapi tidak pernah tahu seperti apa rupa dan bentuknya. Tohno adalah roket yang selalu ingin mencapai angkasa luar. Untuk itu, wajahnya menghadap ke atas. Ke langit luas.
Momen jatuh, ada kalanya memberikan kekuatan pada pecinta untuk bangkit, dengan mengirimkan tangan untuk memapahnya berjalan. Kembali berdiri, menemukan kepercayaan diri yang teramat. Tentu untuk memperjuangkan yang dicintai. Itu juga yang dialami Sumida, sesaat sebelum benar-benar menyadari bahwa yang dilihatnya sejak dulu adalah punggung Tohno.
Roket diluncurkan menuju kegelapan yang sempurna, untuk waktu yang tidak dapat diketahui. Berharap menemui satu kehidupan baru yang lebih indah. Setelahnya, langit di bumi terbagi menjadi 2 sisi: gelap dan terang, dan satu di antaranya akan terhapus perlahan.
Chapter 3 dibuka dengan bunga sakura yang jatuh di meja kerja Tohno. Dia memungut kelopak itu dan kemudian berjalan menyusuri kota tempat dia dan Akari mulai saling mengenal. Di jalan yang melintas di rel kereta api, Tohno berpapasan dengan seorang gadis. Saya pikir ini akan jadi penutup yang bahagia, tapi Makoto Shinkai memang ahli bikin baper (bawa perasaan). Byousoku, begitu chapter ketiga 5 cm ini diberi judul.
Latar kehidupan ketiga karakter setelah menginjak usia dewasa. Akari akan menikah. Tohno berkencan dengan gadis lain. Sumida masih memendam perasaannya pada Tohno. Film ini kemudian ditutup dengan lagu One More Time, One More Chance oleh Yamazaki Masayoshi, dengan lirik yang tak kalah menyesakkan. Setelah ini, silahkan kalian dengarkan lagu tersebut dan carilah terjemahan liriknya.
Selain dari narasi sederhana tapi sangat menyentuh, yang membuat saya kemudian menjatuhkan hati pada film ini, adalah karena visualisasi yang luar biasa. Makoto Shinkai memang terkenal dengan kemampuannya yang satu ini. Di berbagai anime yang disutradarainya, saya selalu dibuat terkagum-kagum dengan visual yang dihadirkan. Selamat menonton!