Bagaimana caramu mengenal seseorang? Mudah. Datangi saja, ngobrol, dan jadi akrab. Simpel. Tapi bagaimana jika orang yang hendak kau kenal itu adalah Pramoedya Ananta Toer yang sudah meninggal dunia pada 30 April 2006 silam?
Buku. Ya, buku adalah salah satu sumber yang tepat. Kau pasti sepaham denganku soal ini. Benar kan? Bukannya aku sok tahu. Aku yakin kau menyukai Pram sebagaimana aku menyukainya. Sayangnya, kau dan aku sama-sama menjadi pembaca Pram yang terlambat. Tapi untuk sekadar membesarkan hatimu, biar kuajak kau mengakrabi satu buku bagus tentang Pram.
Judulnya “Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir” yang ditulis oleh August Hans den Boef dan Kees Snoek. Hans menulis esai dan Snoek menulis hasil wawancara. Judul buku merujuk pada tulisan Snoek. Aku menyukai buku kecil ini. Covernya bagus. Pram tua berkacamata, berkaos putih, sedang ngetik, merokok, dan menoleh ke kiri. Dari foto sampul, aku membayangkan sosok Pram yang tegas dan sikapnya yang tak mau menyerah.
Hans menulis esai panjang yang lumayan lengkap. Ia berusaha membagi waktu kepengarangan Pram. Cukup membantu sih. Setidaknya bagimu yang memulai mengakrabi Pram dengan serius. Pendudukan Jepang, kata Hans, adalah awal kepengarangan Pram. Pada masa itu, ia menulis roman Perburuan (1949) dan menuai sukses. Lalu dilanjutkan masa pendudukan Belanda kedua dengan lahirnya Keluarga Gerilya yang baru naik cetak tahun 1950, dan karya Mereka yang Dilumpuhkan.
Masa kepengarangan Pram terus berlanjut saat tinggal di Blora kemudian Jakarta yakni dengan munculnya buku Cerita dari Blora dan buku Bukan Pasar Malam. Ketika realisme sosialis melanda Rusia, Pram pun terpengaruh dan lahirlah Korupsi (1954). Karya-karya Pram selanjutnya adalah karya saat ia berada di tahanan, mulai di Nusa Kambangan hingga Pulau Buru. Diawali dengan Hoa Kiau di Indonesia (1960) yang mengakibatkan ia harus dijebloskan ke penjara. Disusul roman Gadis Pantai (1962), dilanjut Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Tetralogi Buru, dan Arok Dedes, dan Arus Balik. Hans menyebut masa-masa itu sebagai siklus roman Pram.
Aku yakin informasi yang kusampaikan ini sangat menyenangkan hatimu. Tinggalkan Tere Liye, berhentilah membaca Raditya Dika. Bukan soal karya mereka jelek, bukan. Tapi ingat usiamu yang makin tua. Maka sekarang, mulailah membaca Pram. Ambil pikiran-pikirannya yang progresif. Isi halaman-halaman bukumu dengan kisah-kisah sejarah bangsa ini. Aku tahu kau bercita-cita menjadi seorang penulis. Benar kan?
Oh ya, buku yang kuceritakan ini juga memuat wawancara dengan Pram. Koes Snoek adalah pewawancaranya. Tahun 1982 ia datang ke Indonesia dari Belanda. Pertemuan pertamanya adalah memberikan honorarium atas karya Pram yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Honorarium tersebut merupakan titipan sebuah penerbit di Belanda. Dan setelah pertemuan pertama itu, Snoek terus intens berkunjung ke rumah Pram di Jakarta Timur.
Sebagaimana Hans, Snoek juga melakukan wawancara berdasar urutan waktu. Pertama ia mengorek kehidupan Pram sejak lahir hingga remaja di masa kolonial. Lalu dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang. “Saya bekerja sebagai juru ketik di Domei Untuk itu saya belajar sendiri mengetik selama seminggu”. Tapi ketika menjelang kemerdekaan, Pram bergabung dengan tentara rakyat. “Kami pernah menyerang asrama angkatan laut, dan menahan satu orang Jepang.”
Di saat-saat genting itulah Pram menulis sebuah romah Sepuluh Kepala NICA. “Roman pertama itu saya berikan ke seorang pencetak di Pasar Baru. Dia tidak pernah mencetaknya.”
Lalu wawancara terkait masa Soekarno. “Saya bukan anggota PKI, tetapi saya bercita-cita memaparkan sejarah”. Pram kemudian masuk ke lingkaran Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan berujung pada penahanan. Di Pulau Buru, ia banyak melahirkan karya. Pandangan hidupnya tajam dan anti basa-basi. “Saya merasa sebagai orang Indonesia. Saya berpikir dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa”. Demikian kata-katanya.
Demikianlah sosok Pram dari buku terbitan Komunitas Bambu tahun 2008 ini. Buku setebal 174 halaman ini berukuran kecil, 11,5 x 17,5 cm. Dan kau bisa mendapatkan buku ini relatif lebih mudah dibanding dengan buku-buku Pram lain.
Bagaimana? Kau lebih ingin mengenal Pram kan? Teruslah berburu buku Pram. Kabari aku jika kau menulis sesuatu tentang Pram.