Sosok  

Sosok Mbah Sholeh Darat, Beri Kado Tafsir Al-Quran kepada RA Kartini

Ada satu tokoh penting yang dianggap beperan besar pada corak keislaman Muhammadiyah dan Nahlatul Ulama (NU. Beliau adalah Kiai Sholeh Darat atau biasa dikenal dengan Mbah Sholeh Darat. Beliau seorang ulama besar yang hidup pada abad ke XIX. Mahaguru dari para ulama besar Nusantara, diantaranya KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.

Kita tahu, KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 1912, dan  KH Hasyim Asy’ari mendirikan jamiyah NU pada 1926. Bahkan, ada satu tokoh lagi yang menjadi murid Mbah Sholeh Daray. Ia adalah tokoh emansipasi dan pahlawan nasional. Ia adalah R.A. Kartini.

Siapakah sebenarnya KH Sholeh Darat? Nah, buku karya Taufiq Hakim berjudul Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX – XX M bisa menjadi pengantar untuk mengenal sosok ulama besar yang tak hanya dikenal di nusantara ini, melainkan juga di Arab Saudi.

Nama lengkapnya adalah KH Muhammad Sholeh bin Umar As-Samarani. Namun, lantaran tinggal di Kampung Mlayu Darat, maka ia lebih dikenal dengan nama Mbah Sholeh Darat. Kedalaman ilmunya membuktikan dia adalah sosok kharismatik yang ikut mewarnai wajah Islam di nusantara. Ia dikenal sebagai Al-Ghazali nya Jawa. Karena, KH Sholeh Darat mengintegrasikan antara syari’at (fiqh) dengan ilmu tasawuf.

Kapan beliau lahir, memang belum diketahui secara pasti. Namun, dari penelusuran Taufiq Hakim, sang penulis buku ini, diperoleh kesimpulan bahwa Mbah Sholeh Darat lahir pada 1820 M/1238 H di Desa Kedung Jumbleng (versi lain menyebut Kedung Cumpleng), Mayong Jepara. (hal: 45).

Baca Juga:  Gampang Prawoto, Gurit dan Perempuan Cantik

Beliau adalah putra dari Kiai Umar bin Tasmin yang merupakan ulama yang ikut berperang dalam Perang Jawa (1825-183) menemani Pangeran Diponegoro. Dalam perang itu, Kiai Umar dipercaya untuk mengkoordinir gerakan jihad di wilayah pantai utara Jawa. Rumahnya di Jepara sering dijadikan markas para pejuang. (hal: 36).

Sejak kecil Mbah Sholeh Darat mendapat ilmu dari beberapa pesantren salaf dan belajar kitab-kitab klasik. Dan pada usia 15 tahun, dua tahun pasca kekalahan Pangeran Diponegoro, ia diajak Kiai Umar ke Mekkah dan menetap di sana. Selama di Tanah Suci selama kurang lebih 45 tahun, ia berguru kepada ulama-ulama besar.

Guru-guru Mbah Sholeh Darat bisa ditelusuri dari kitab-kitab yang ditulisnya. Diantaranya kitab Mursidul Wajiz yang berisi silsilah nama-nama gurunya selama di nusantara, dan kitab-kitab yang dikajinya. Selain itu juga ada kitab al-Murshid al-Wajiz fi ‘Ilm al-Qu’ran al-Aziz yang juga menjelaskan nama-nama guru dan kitab yang dikaji. Seperti kepada Sayid Muhammad Zaini Dahlan, seorang mufti di Mekkah, Mbah Sholeh Darat belajar kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghozali. Kepada Syekh Nahrawi al-Misri al-Makki ia mengaji kitab al-Hikam karya Ibn Athoillah yang merupakan kitab tasawuf banyak dikaji hingga saat ini.

Tidak Menjadi Arab

Baca Juga:  Cerita Parni, Nenek 57 Tahun yang Mengedukasi Warga Lewat Daur Ulang Sampah Plastik

Setelah lama menetap di Mekkah, Mbah Sholeh Darat pulang ke tanah air dan tinggal di Kampung Mlayu Darat, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Di sinilah beliau mendirikan pesantren yang kemudian dikenal dengan nama Pesantren Darat sekitar tahun 1880. Dari pesantrennya itulah banyak lahir ulama-ulama nusantara yang memiliki ciri khas pribumi dan ikut menentang penjajah Belanda. Dua diantaranya adalah KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.

Cara dakwah Mbah Sholeh Darat adalah cara-cara santun yang menghargai local wisdom atau kearifan lokal Jawa. Beliau sadar bahwa sebelum Islam masuk ke Jawa, masyarakatnya telah memiliki kepercayaan dan cara hidup yang dilakukan secara turun temurun. Mbah Sholeh Darat tidak lantas serta merta menghapusnya, melainkan berusaha meluruskan tradisi-tradisi yang ada agar bisa sesuai dengan koridor syariat Islam. (hal: 132).

Cara dakwah yang demikian, saat ini mulai ditinggalkan oleh orang-orang dengan dalih pemurnian Islam. Banyak organisasi keagamaan yang kemudian memilih jalan-jalan kaku, suka mengkafirkan, memfatwa sesat, dan menghalalkan darah orang atau kelompok yang berseberangan. Dakwah yang santun mulai banyak diganti dengan orasi-orasi yang provokatif dan menghasut orang agar membenci kelompok lain. Nah, Mbah Sholeh Darat tidak dakwah dengan cara-cara provokatif.

Beliau tinggal dan belajar di Mekkah selama 45 tahun, namun bukan lantas dia kearab-araban dan memaksa masyarakat Jawa untuk mengikuti kebudayaan Arab. Hal itu ditunjukkan dengan caranya menulis kitab-kitabnya yang tak terbilang jumlahnya itu dengan menggunakan bahasa Arab pegon. Pegon adalah tulisan huruf Arab tapi bahasa Jawa. Cara itu ditempuh agar ada keselarasan antara Arab dan Jawa.

Baca Juga:  Keunikan Dakwah Sunan Kalijaga (Bunga-Bunga dan Kemenyan)  

Tak hanya itu, keingingan beliau agar al-Quran diresapi dan dipahami masyarakat Jawa dilakukan dengan cara menerjemahkan dan menafsirkan al-Quran dalam bahasa Jawa. Buku tafsir al-Quran yang terkenal adalah Faidh ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan yang dijadikan kado pernikahan kepada RA Kartini. (hal: 160).

Langkah ini menunjukkan bahwa Mbah Sholeh Darat sangat menginginkan Islam membumi di tanah Jawa.

Apa yang dilakukan oleh beliau adalah pribumisasi Islam sebagaimana terminologi yang biasa digunakan oleh almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Yakni Islam yang menjejak di bumi nusantara, bukan arabisasi Islam di nusantara. Konsep ini kemudian digalakkan oleh NU dengan istilah Islam Nusantara yang sekarang getol disosialisasikan ke masyarakat.

Sumber rujukan buku:

Judul: Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M

Penulis: Taufiq Hakim

Penerbit: Institute of Nation Development Studies /INDeS

Cetakan: 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *