Ditulis dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro, ada tokoh penting, yang mungkin masih terlalu asing di telinga masyarakat Bojonegoro (semoga ini hanya perasaan saya saja). Lahir dan dibesarkan di Rajekwesi, sebuah wilayah yang di kemudian hari dinamai Kabupaten Bojonegoro. Dia yang kemudian mampu memainkan peranan penting dari tonggak sejarah di kabupaten ini.
Sosrodilogo, atau nama lengkapnya Raden Tumenggung Aria Sosrodilogo. Ia merupakan satu dari sederet nama yang pernah menjabat sebagai Bupati Bojonegoro. Penulis lebih memilih dia sebagai (bisa dibilang) sosok yang pantas untuk dikagumi, dikenang bahkan berupaya menginternalisasikan atas nilai-nilai dari perjuangan tokoh ini ke dalam diri sebagai warga Bojonegoro. Mengapa?
Sebagaimana ditulis dalam sejarah bahwa pasca perang saudara, Kerajaan Mataram kedidagyaannya makin surut. Apalagi setelah Mataram kemudian meminta bantuan VOC untuk meredam gejolah perang saudara. dari situ Kerajaan Mataram pun terikat perjanjian dengan VOC. Sultan Agung harus menerima konsekuensi yang harus dibayar mahal. Buntut dari perjanjian tersebut ada beberapa wilayah mataram yang harus lepas darinya dan berpindah menjadi wilayah yang berada dalam otoritas Kompeni Belanda.
Untuk menjaga stabilitas politik dengan makin menyusutnya kekuasaan Mataram, beberapa upaya dilakukan oleh pihak kerajaan. Di antaranya mengoptimalkan peran daerah-daerah strategis yang masih dalam kekuasaan kerajaan. termasuk daerah Jipang (Padangan). sehingga pada tanggal 20 Oktober 1677 oleh Susuhunan Mataram Kadipaten Jipang (Padangan) diubah statusnya menjadi Kabupaten Jipang. Sebagai bupatinya yang pertama waktu itu Mas Tumapel. Seiring perjalanan waktu, pada tahun 1812, Pajang menjadi daerah jajahan Inggris. Di masa ini bupati kepala daerah sekaligus ditetapkan menjadi gupermen di bawah kendali pemerintah penjajah Inggis. Namun di tahun 1816, setelah Inggris menyerahkan daerah jajahannya pada Belanda maka Jipang pun kembali berada dalam bayang-bayang kekuasaan Belanda.
Di tahun 1825 meletus Perang Diponegoro. Perang besar yang kemudian dikenal dengan sebuatan Perang Jawa ini, dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, Putra Sultan Hamengku Buwono III. Perang Jawa ini merupakan perang terbesar yang pernah ada di Jawa pada masa kolonialisme. Hampir seleruh wilayah Jawa menyulut perlawanan terhadap Belanda. Perang yang sangat lama dan menguras biaya dan korban jiwa. Menurut Peter Carey, dalam Perang Jawa ini, Belanda menderita kerugian sangat besar; sebanyak 7 ribu orang lokal yang merupakan serdadu pembantu tewas, demikian juga 8 ribu serdadu Belanda, dan perang Jawa menguras kas sebanyak 20 juta gulden. Hal ini disebabkan perlawanan Diponegoro mendapat simpati rakyat. Hampir di seluruh wilayah Jawa terjadi peperangan melawan Belanda.
Di daerah Rajekwesi telah meletus perlawanan rakyat yang dipimpin oleh orang dekat dan keperayaan Pangeran Diponegoro, dialah Raden Tumenggung Aria Sosrodilogo – putra Bupati Jipang, Raden Tumenggunggung Purwonegoro. Sosrodilogo, yang juga merupakan ipar dari Pangeran Diponegoro ini, bersama pengikut-pengikutnya, mampu merebut dan menguasai kota Rajekwesi dari kekuasaan Belanda. Pencapaian Sosrodilogo menyulutkan semangat rakyat di suluruh daerah sekitar Rajekwesi hingga sampai daerah Rembang, Kota Baureno dan daerah Bancar (Tuban). dari perlawanan itu akhirnya dapat direbut oleh rakyat. Belanda mengalami kekalahan.
Untuk memadamkan perlawanan yang dipimpin oleh Sosrodilogo beserta pengikut-pengikutnya, Belanda mendatangkan bala bantuan yang tak henti-hentinya mengalir dari Rembang, Semarang dan Surabaya. Belanda juga mengadakan seyembara untuk menangkap Sosrodilogo dengan pengikutnya. Hadiah besar akan diberikan pada yang sanggup menangkap pengikut Sosrodilogo, Raden Bagus akhirnya tertangkap dijebloskan ke penjara. Sosrodilogo makin tersudut dan melarikan diri ke Jawa Tengah dan bergabung dalam peperangan Dipenogoro. Namun ahirnya pada tanggal 3 oktober 1828 R.T Sosrodilogo menyerah kepada Belanda setelah beberapa pengikutnya tertangkap.
***
Kepahlawanan Sosrodilogo mengingatkan penulis pada sosok pejuang Che Guevara. Ya. Mungkin ini dianggap terlalu berlebihan. Karena aras-cakupan perjuangan kedua tokoh di atas sejatinya berbeda. Namun, penulis tidak asal membandingkan tanpa alasan tentunya. Geram dan gemes. Begitu mungkin yang ingin saya sampaikan. Sering penulis melihat orang banyak mengagumi tokoh Che Guevara. Tak sedikit yang begitu bangganya bahkan ada juga mendewa-dewakan tokoh pejuang Amirika Latin ini. Ia dianggap symbol perlawanan.
Bukankah sosok Sosrodilogo semestinya juga patut untuk ditempatkan-diperlakukan yang sama. Apalagi ia lahir dari dan merupakan bagian warga masyarakat Bojonegoro. Ia adalah “Che” dalam artian tokoh yang melawan imperalisme, penindasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penjajah.
***
Sosok Sosrodilogo merupakan tokoh yang mampu menyulut-menggerakkan perlawanan masyarakat Bojonegoro (Rajekwesi waktu itu). Bahkan menyulutkan perlawanan hingga warga-masyarakat daerah Kota Baureno, Tuban dan Rembang untuk melawan imperalisme-penindasan dan berjuang keluar dari ketidakberdayaan. Karena Sosrodilogo-lah, Belanda menjadi traumatis dan takut akan lahirnya Sosrodilogo-Sosrodilogo lagi di daerah Rajekwesi.
Akhirnya agar perjuangannya tidak menjadi inspirasi-obor yang mampu menggelorakan semangat rakyat untuk terus melawan. Belanda berharap dapat menghilangakan kenangan rakyat dari nilai perjuangan-perlawanan, dengan memindahkan ibu kota kabupaten Rajekwesi. Dan dikemudian diganti nama menjadi Bojonegoro (tepatnya pada tanggal 25 September 1828).
Dari cerita Sosrodilogo tentunya kita bisa mengambil nilai yang berharga dari sejarah tersebut. Sebagaimana sejarah, yang menurut kaca mata Kuntowioyo (1996) memiliki fungsi ekstrinsik yakni menjadi suatu medium untuk proses menanamkan pendidikan. Diantaranya pendidkan moral, pendidikan atas kebijakan politik dan perubahan sosial. Sejarah dapat dipandang sebagai rujukan untuk pemberi semangat/sumber inspirasi dan Memberikan ketegasan identitas dan kepribadian suatu bangsa; termasuk nilai-nilai kultur sosial masyarakat Bojonegoro. Kini saatnya mengembalikan-menghidupkan kembali kenangan patriotisme dan nilai-nilai dari perjungan Sosrodilogo yang hendak dihapus dari ingatan masyarakat Bojonegoro oleh penjajah pada waktu itu. Ayo !
Comment: kira2 tahun berapa tepatnya matinya dan di kubur dimana ya kang?