Story  

Soto Dua Porsi

Mukicoi tentu saja bukan Mukidi yang sering dibuat lelucon itu. Mukicoi adalah sahabat saya yang terkadang memang betingkah agak konyol juga sih, tapi benar-benar bukan Mukidi. Ia adalah penggerak organisasi tulen. Dalam aktifitas keorganisasiannya, jurus konyol sering ditunjukkan. Hasilnya ternyata  organisasi lebih hidup dan berjalan penuh gairah.

Pada tahun 2006, saat kami sibuk di Forum Putra Daerah Peduli Pendidikan (FPDP2) di Kota Kediri, kami memberikan pembekalan bahasa Inggris bagi siswa tingkat SMP dan SMA. Kami menamakan kegiatan tersebut dengan SIAP UNAS 2006, karena program ini memang untuk persiapan ujian nasional.

Nah, salah satu hal yang harus dipersiapkan untuk menjalankan program tersebut adalah pendanaan. Maka dalam kepanitiaan kegiatan ada divisi pendanaan dan sponshorship yang bertugas mencari dana dan sponsor dalam upaya tersenggalaranya kegiatan. Kebetulan salah satu timnya adalah Mukicoi.

Di satu hari penggalangan dana dan sponshorship, Mukicoi bersama  Mukidin satu tim mencari dana. Keduanya mendapat tugas menyebarkan proposal pendanaan dengan menggunakan sepeda ontel. Maklum tidak banyak anggota dan pengurus yang memiliki sepeda motor. Sehingga praktis aktivitas terpaksa menggunakan ontel sebagai kendaraan operasional. Meski jarak tempuh kadang lumayan jauh.

Menjelang siang hari, di tengah perjalanan dalam mengemban amanat organisasi menyebar proposal, Mukicoi dan Mukidin merasa lapar. Perut keroncongan. Dua orang dengan satu onthel ini pun berhenti dan berdiskusi soal “makan apa kita siang ini”.

Baca Juga:  Trik Membuat Sambal Serbaguna untuk Soto, Bakso, dan Mie Ayam dengan Mudah!

Mukicoi dan Mukidin lalu menghitung uang yang ada di dompet mereka masing-masing. Setelah dikumpulkan jumlah totalnya Rp 7.000. Di saku celana sudah diperiksa, tapi tidak ada uang tersisa. Ya, memang semua Rp 7.000. Mereka pun mendatangi sebuah warung soto pinggir jalan dan menanyakan harga satu porsi soto dan air minum.

Baca cerita lainnyaTertinggal di Toilet

“Soto dan minum satu porsi berapa pak?” tanya Mukicoi.

“Tujuh ribu, mas” jawab penjual soto.

“Alhamdulillah cukup,”  kata Mukicoi pelan kepada temannya. Mukidin diam saja tak mengerti.

“Kalau begitu saya pesan soto dan minumnya sekalian pak,” sambut Mukicoi lantang.

Sesaat kemudian penjual soto menyajikan dua porsi soto dan dua es teh. Satu untuk Mukicoi dan satu porsi untuk Mukidin. Setelah terbengong sesaat…

“Coi kok dua porsi, apa kamu tadi pesan dua?” tanya Mukidin setengah berbisik tak mengerti.

“Nggak Din, aku tadi tidak pesan dua,” jawab Mukicoi enteng.

“Terus bagaimana? Uang kita kan hanya cukup untuk satu porsi. Apa perlu kita kembalikan soto ini?,” tambah Mukidin.

“Makan aja, siapa tahu beliau memang sedang bersedekah. Yang penting kita makan dulu,” jawab Mukicoi santai.

“Nanti kalau orangnya marah bagaimana?” tanya Mukidin meragukan pernyataan Mukidin.

“Halah.. kayak gak pernah dimarahi orang saja kamu Din.. Kalau dia marah ya kita minta maaf… Tenang Din. Marahnya bapak itu masih jauh dari nyawa,” jawab Mukicoi.

Baca Juga:  Kehabisan Bensin di Tengah Jalan

Mukidin dan Mukicoi akhirnya menikmati soto setengah pedas namun nikmat itu. Tak lama, nasi soto dan es teh ludes des.

“Sudah pak,” kata Mukicoi kepada penjual soto.

“Oya mas, semuanya Rp 14.000,” jawab penjual soto.

“Maaf pak, saya tadi hanya mau pesan satu porsi karena uang kami cuma Rp 7.000, tapi ternyata bapak memberi dua porsi” kata Mukicoi.

“Lho sampean tadi tidak bilang kalau pesan satu porsi. Sampean kesini kan dua orang. Umumnya kalau dua orang masuk warung ya mau makan. Makanya saya kira tadi pesan untuk dua orang,” jawab penjual soto kesal.

“Tapi saya kan nggak bilang pesan dua porsi pak,” kata Mukicoi ngeyel.

“Kalau pesan Cuma satu, kenapa sotonya kalian makan semua? Nggak bisa, sampean harus bayar dua,” kata penjual soto sambil menggebrak meja. Beberapa pembeli lain langsung menoleh memperhatikan Mukidin dan Mukicoi.

Mukidin yang sejak tadi sudah khawatir jadi serba salah tingkah. Dia tak berani bersuara, hanya diam seribu bahasa. Tapi, lantaran Mukicoi tetap ngeyel juga, akhirnya Mukidin memaksakan diri berkata.

“Maaf pak, saya mohon kebijaksanaan bapak. Maaf tadi kami sangat lapar, jadi terpaksa kami makan semua. Kami mengaku salah,” kata Mukidin dengan wajah memelas.

Baca Juga:  Tiga Karangan Pendek Ainaya Isfi Qulubina

“Sudah.. Berikan uang seadanya dan cepat pergi. Bikin susah saja,” kata penjual soto mengusir dua orang penggerak organisasi ini.

Mendapat perintah begitu, Mukicoi langsung mengulurkan uang dan langsung keluar warung. Mukidin masih sempat mengangguk untuk memberi hormat.

Setelah nyengklak sepeda onthelnnya, Mukicoi langsung menggenjot pedal menjauhi warung. Sepanjang perjalanan Mukidin terus mengomel, menyatakan ketidaksetujuannya pada langkah berani yang diambil Mukicoi.

Tapi Mukicoi seperti tak mendengar apa-apa dan berujar “Alhamdulillah kenyang. Masalah sudah berlalu”.

“Woi, kamu itu keterlaluan Coi,” teriak Mukidin.

Tapi, Mukicoi malah bersiul dan mempercepat laju onthelnya.

Memang, bagi Mukicoi, hal semacam ini biasa saja baginya. Tapi lain dengan Mukidin. Saya menduga, dan ini pasti benar, kejadian ini akan menjadi kejadian yang sangat memalukan yang tidak akan dia lupakan selama hidupnya. Haha…

Dan hingga kisah ini saya ceritakan di sini, belum diketahui cerita lanjutan tentang Mukicoi dan Mukidin, apakah sudah mengembalikan kekurangan uang soto tersebut atau belum. Oalah Coi Mukicoi…

*) Penulis tinggal di Kota Kediri bersama keluarga dan tidak suka melucu. 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *