Politik pilpres telah mengubah cara pandang dan cara pikir banyak orang. Yang semestinya wajar, menjadi tidak wajar. Yang semestinya biasa-biasa saja, menjadi hal luar biasa. Lihat saja, perbedaan pilihan capres harusnya sih wajar saja, bukan hal besar. Tapi menjadi tidak wajar karena terlalu dilebih-lebihkan, saling mengklaim paling benar, saling tuding salah, dan sebagainya.
Kalau sudah begini, yang terjadi adalah spiral kebencian, lingkaran setan kebencian. Ketika ada yang mengawali kebencian itu, maka akan terus terulang dan terulang. Pelaku kebencian akan merasa benar karena hanya membalas kebencian dari pihak lawan. Sementara pihak lawan juga akan berpikir sama, yakni melakukan langkah yang benar karena bertujuan membalas kebencian itu.
Melihat fenomena ini, saya kok teringat dua buku tentang teori kekerasan. 1 buku ‘Memahami Negativitas’ karya F Budi Hardiman, dan 1 buku ‘Kambing Hitam’ karya Sindhunata. Dua buku ini banyak memberi gambaran, bagaimana sebuah kekerasan, saat sudah dimulai, akan sulit dipadamkan. Dan kebencian pada pilpres kini saya maknai sebagai lingkaran setan kekerasan tersebut.
Apa penyebabnya? Merujuk pikiran Budi Hardiman (sependek pengetahuan saya setelah membaca bukunya), kekerasan itu berawal dari rasa takut akan ‘the other’. Ketika saya takut akan orang lain, maka saya akan selalu waspada, menanamkan pikiran bahwa orang lain itu mengancam keberadaan saya. Jika orang lain kuat, maka saya akan tiada. Sehingga jangan sampai ‘yang lain’ bisa kuat. Ketakutan ‘yang lain’ akan meniadakan diri kita itulah yang kemudian memproduksi kekerasan. Cara berpikir begini akan mudah dibenarkan. Orang/kelompok lain adalah ancaman.
Parahnya lagi, kekerasan ini akan seperti spiral yang akan selalu melingkar dan tak berujung pangkal, hadir dan hadir kembali, dalam rupa dan bentuk berbeda. Sindhunata lewat pembacaan teori kekerasan yang dikembangkan Rene Girard, mengingatkan bahwa kekerasan sulit untuk dihentikan. Kekerasan adalah naluriah manusia. Menyerang orang lain adalah sifat alami manusia untuk survive. Disadari atau tidak.
Lalu bagaimana? Padahal kekerasan harus dihentikan. Tentu butuh uraian dan penjelasan panjang untuk membuat semacam rumusan ‘jalan keluar’. Saya tentu saja enggak mampu, bahkan hanya untuk mengurai dengan seksama perihal apa yang terjadi kini, saya tak bisa.
Tapi begini. Kalau kita bersepakat untuk menjadikan pilpres ini berjalan baik, ada satu hal yang bisa kita lakukan. Yakni menggunakan media sosial dengan biasa-biasa saja. Kita tak perlu share apapun yang sifatnya menjelek-jelekkan kelompok lain. Yakinlah, bahwa itu tak ada gunannya. Jika kamu merasa menang dengan cara itu, maka sebenarnya bukan sebenar-benarnya menang. Karena kamu sebenarnya hanya memperbesar spiral kebencian itu. Memperbesar pusaran kebencian.
Kita anggap wajar sajalah perbedaan ini. Tak perlu kita merawat ketakutan-ketakutan akan ‘the other’. Seakan-akan kelompok yang berbeda mengancam keberadaan kita di masa depan. Merasa benar tentu boleh-boleh saja, tapi merasa paling benar dan melihat yang lain selalu salah tentu saja kurang fair.
Kita tidak akan berada pada satu titik yang sama setiap saat. Kita pasti akan terus bergerak, berubah, sebagaimana waktu bergerak. Tuhan Maha Baik. Yang benar mutlak hanya Tuhan, kita pasti akan bengkok-bengkok. Tak perlu kita mengklaim selalu lurus rus sepanjang waktu. Mustahil.
Salam kopi cangkir, kopi keakraban.