“Sastra ialah aneka penggunaan sistem bahasa yang terbatas untuk merumuskan banyak hal yang tak terbatas”
Bahasa sebagai teks, berkembang begitu pesat dan menjadi poros yang menggerakkan serta menumbuh-kembangkan peradaban makhluk yang bernama; manusia. Secara naluriah, manusia mempunyai kebutuhan untuk menuliskan apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka alami terlebih apa yang mereka pikirkan dan apa yang diimajinasikan.
Kodrat manusia yang unik ini (imajinasi) tidak dimiliki oleh makhluk lain. Dengan tambahan nalar, maka kodrat berupa imajinasi ini secara otomatis membuat manusia menjadi selalu ingin menaklukkan realitas yang terberi, bahkan di taraf dan kelompok tertentu, malah berkeinginan merubah realitas yang terberi itu menjadi realitas yang dikehendaki.
Tolkien pernah menulis; “…pada hakikatnya, ruh manusia itu bebas, ingin selalu melarikan diri dari faktualitas dan terbang mengikuti kreativitas dan imajinasinya sendiri.” Lebih lanjut, penulis The Lord of The Rings ini menuturkan “Alat yang digunakan untuk menaklukan kenyataan, atau kendaran untuk melepaskan diri dari kerangkeng faktualitas itu, tiada lain adalah; bahasa, kata, terutama tulisan atau teks.”
Seperti kita ketahui bersama, bahasa, bisa digunakan untuk mengungkapkan apapun juga serta dengan berbagai macam cara, namun bahasa yang dimainkan untuk semata-mata mengeksplorasi imajinasi, mengoptimalkan kekuatan kata, dan menyeret ruh pada petualangan batinnya yang terdalam, itulah yang dalam arti luas biasa disebut dengan istilah sastra.
Sastra ialah aneka penggunaan sistem bahasa yang terbatas untuk merumuskan banyak hal yang tak terbatas. Sastra ialah sebuah metode untuk merenungi realitas secara unik dan khas, personal serta imajinatif, tentunya. Sastra barangkali juga sebuah suaka yang bisa menampung-sekaligus-menyalurkan apa saja dan siapa saja.
Istilah sastra yang penulis utarakan di atas tentu saja sebuah deskripsi atau penjelasan yang sudah tentu tidak baku dan sah-sah saja jika disalahkan. Mengingat, perkara “sastra” ini sudah pernah menjadi bahan debat yang begitu sengit kala itu. Setidaknya pada tahun 1985, dalam buku “Perdebatan Sastra Kontekstual”, Ariel Heryanto dkk sudah saling ‘hajar dan sikat sikut’ saat mencoba merumuskan batasan “sastra” dan “bukan sastra”. Dalam perdebatan orang-orang markotop itu, setidaknya ada beberapa titik temu benang merah, dan tidak terlalu salah jika lantas kemudian kita deskripsikan sastra sebagai; aneka penggunaan sistem bahasa yang terbatas untuk merumuskan banyak hal yang tak terbatas.
Sampai di sini, rasanya ada sebuah kesepakatan tanpa aba-aba atau musyawarah sebelumnya. Apa itu? Kita barangkali sepakat, melalui sastra, penglihatan kita atas dinamika lahiriah dan batiniah manusia semakin diperdalam secara simultan, diarahkan ke berbagai ceruk-ceruk pengalaman kehidupan yang biasanya tak kasat mata. Sastra dengan caranya sendiri, membuat semacam teka-teki dan kejutan yang tak terduga melalui alur, tokoh-tokohnya yang nyeleneh, latar yang dihasilkan dari liarnya imajinasi dan kisah-kisahnya yang dramatis.
Tentu ada banyak sekali jenis sastra, dari sastra lisan hingga berbagai jenis sastra tulisan. Dan keragaman tersebut biasanya juga terkait erat dengan budaya dan zamannya masing-masing.
Sebenarnya, pemikiran tentang sastra sudah dilakukan oleh filsuf yang namanya sangat akrab di telinga kita, Aristoteles. Murid dari Plato ini menulis tentang hakikat sastra dalam bukunya yang berjudul “Poetica.” Sampai saat ini, buku itu masih berjajar gagah di rak-rak toko buku.
Owiya, btw kamu biasanya suka baca sastra yang seperti apa?
Sastra tertulis yang mulanya muncul konon ialah syair kepahlawanan karya Homeros ± 880 SM. Homeros juga mengemukakan, setidaknya ada tiga hal penting dalam bersajak. Pertama decorum (harmoni), ingenium (bakat), dan utile dulci (manfaat). Jika diperas lagi dari ketiga hal itu, yang menjadi esensi ialah poin terakhir, utile dulci (manfaat). Dengan kata lain, ketika karya itu hanya sebuah karya, tanpa membawa manfat bagi masyarakat, karya itu tak patut diperhitungkan.
Karya-karya agung zaman Yunani memang seolah ditulis bersifat timeless. Tak lekang oleh waktu. Selalu relevan di setiap zaman. Diantaranya adalah “Poetica” karya Aristoteles tadi. Aristoteles menyampaikan setidaknya ada dua prinsip puenting dalam sastra. Pertama; Mimesis (meniru realitas) kedua ; Catharsis (penjernihan kesadaran).
Sastra mendapatkan sebuah tempat yang agung namun tetap inklusif dan penting sebagai mercusuar kemanusiaan. Barangkali itu juga mengapa ‘sastra’ disebut sebagai literae humanae (sastra berkemanusiaan).
Meski pada abad ke-19 lahir era Romantik, namun trend memesis ini terus saja mendapatkan penikmat dan penganutnya sendiri. Terbukti tidak sampai seabad, yakni pada tahun-tahun akhir abad ke-19, era Romantik dapat diimbangi oleh kelompok realisme yang menolak sastra hanya sebagai letupan dan muntahan perasaan semata. Dan sejak itu, istilah realisme kian menjamur.
Realisme saat itu dimaksudkan menjadi sebuah mahzab kesusateraan yang tidak hanya mengikuti atau meniru seni dan tradisi, melainkan meniru realitas asli. Realisme menghadirkan kenyataan yang terjadi di alam sekitar tanpa upaya berlebihan menciptakan aneka simbol seperti halnya mahzab Romantik.
Para realis memotret keadian yang benar-benar terjadi dalam bentuk sastra. Hingga, mahzab ini pun benar-benar ‘mapan’ di Rusia, bahkan akhirnya juga ke Indonesia, Lekra, dan juga Pramoedya hingga skripsinya Eka.
Jumat legi, 29/7/22