Ini tentang perjalanan saya beberapa waktu lalu. Sebelum ke masjid Demak, di mana di kompleks yang sama dikebumikan para petinggi Kerajaan Demak, saya singgah cukup lama di Kadilangu, tepatnya di makam Sunan Kalijaga. Dalam hal kesaktian, terdapat persamaan antara Saridin dan Sunan Kalijaga, misalnya bagaimana dia membesut serpihan kayu (jawa; tatal) menjadi salah satu tiang utama masjid Demak. Tapi saya tidak hendak menjlentrehkan itu, selain butuh banyak variabel, persepsi kita tentang sakti juga pasti berbeda berbeda. Kita hindari perdebatan. Sebab hari hari saya di dunia nyata sudah penuh perdebatan, biarkan saya memiliki energi dan pikiran yang cukup untuk mengelola itu. Hehe. Makanya saya selalu mengutamakan sarapan. Hyee.
Saya akan coba kupas Sunan Kalijaga dari dua sisi saja untuk menjadi kaca benggala, pertama: negosiator, dan kedua: gerakan kultural. Baik, mari kita mulai…
Sebelum akhirnya benar benar berakhir, Kerajaan Majapahit yang usianya mencapai 350 tahun ini didera perang Paregrek, perang saudara yang terjadi selama 4 tahun ini benar benar menghancurkan sendi Majapahit. Ekonomi, sosial politik, budaya dan bahkan kedaulatannya sebagai negara adi daya. Perang Bhree Wirabumi dan Bhree Kertabumi itu bahkan nyaris menjadi perang horisontal karena diseret seret ke ranah agama. Apalagi setelah Raden Patah menjadi bagian dari pusaran konflik ini. Ciiitt, Rem Pol…
Perang, di belahan bumi manapun, dari sektor korban manusia, pasti tidak hanya melahirkan korban pasukan atau tentara yang maju ke medan perang. Secara hitungan, kalau yang meninggal tentara di medan Perang, tentu mudah dihitung. Jika yang berangkat 1.000 dan pulang tinggal 900, berarti 100 orang yang gugur dalam perang itu. Tapi bagaimana dengan eksesnya, bunuh membunuh antar rakyat, pertikaian antar golongan, suku, agama dan lainnya. Belum lagi jika ada sekelompok orang dan golongan yang memanfaatkan konflik itu. Tentu akan semakin silang sengkarut.
Dalam situasi seperti inilah, Sunan Kalijaga muda atas hasil ijtihad sejumlah wali senior, mengambil peran penting. Dia melakukan negoisasi dengan Bhree Kertabumi alias Brawijaya V, yang tak lain adalah ayah dari Raden Patah dengan ibu Dewi Dwarawati alias Ratu Campa, ke Majapahit. Intinya perang harus dihentikan, Kertabumi setuju. Meski tak mudah, wong nyatanya Usman Haji, panglima perang Demak juga harus sahid dalam perang ini di tangan Raden Kusen, Adipati Terung. Dalam konteks mencegah perang horisontal, Kalijaga cukup sukses. Iya, dialah sang negosiator
Gerakan Kultural dan Konsolidator Peradaban
Selain dikenal sebagai ulama, lebih dari itu Sunan Kalijaga adalah politisi, negarawan, budayawan, sekaligus pendekar pilih tanding. Ya, tentu saya tidak akan mengupas semuanya, kan fokus kita soal bagaimana dia melakukan Gerakan Kultural. Karena gerakan ini dilakukan dengan sistemik, maka secara tidak langsung Sunan Kalijaga telah melakukan apa yang disebut sebagai Konsolidasi Peradaban, setidaknya di tanah Jawa.
Ada dua Gerakan Kultural ala Sunan Kalijaga yang paling masyhur. Pertama keilmuan, kedua kebudayaan. Keilmuan misalnya, selain menyebarkan ilmu dari satu tempat ke tempat lainnya kepada rakyat, Sunan Kalijaga juga memiliki santri yang secara berjenjang mendapat bimbingan darinya. Sebagian kecil dari santrinya yang bisa saya sebut misalnya, Jaka Tingkir, Saridin, Sunan Geseng, Pandanaran, juga sejumlah Adipati.
Sementara, di sektor kebudayaan, Kalijaga banyak berjasa karena melakukan, sebut saja, merger budaya budaya lokal yang kemudian dilebur dengan nilai nilai Islam sehingga berubah menjadi media dakwah. Di antara jasa di bidang budaya adalah wayang kulit, iya, wayang kulit. Kalijaga bahkan piawai mendalang. Kemudian lagu Gundul Gundul Pacul dan Cublek Suweng, yang pertama kali dimunculkan untuk mengkritik Sultan Trenggono pada Pagelaran seni dan budaya dalam rangkaian acara kenegaraan di alun alun Demak.
Lengkap dengan alat musik khas jawa, Sunan Kalijaga mengajari santri yang masih anak anak sebuah tarian. Iya, tari itu yang disiapkan untuk melengkapi penampilan sebuah lagu yang juga baru saja dikarangnya itu. Tampaknya, dua lagu itu ditampilkan untuk mengkritik Trenggono yang dinilainya mulai pongah, mulai dari caranya melakukan ekspansi kekuasaan yang cenderung kasar, hingga metode dakwahnya yang kesusu. Ini wajar, saat dilantik menjadi Raja Trenggono baru berusia 24 tahun.
Sepertinya, Sunan Kalijaga sadar betul, Indonesia, atau kalau dulu lebih dikenal sebagai Jawa Dwipa, secara peradaban sudah sangat maju. Di abad ke 3 masehi saja sudah ada pemerintahan kok, apalagi abad 7-8, di mana Wangsa Syailendra membangun Borobudur. Proses pembangunannya saja lebih dari 50 tahun, itu kuil Budha terbesar di dunia, lho. Arsiteknya pasti sangat cerdas. Belum lagi kerajaan kerajaan setelah itu, baik di Jawa mapun luar Jawa. Fakta ini tampaknya yang membuat Kalijaga memilih metode dakwah yang… sebut saja rahmatan lil alamin lah.
Menurut saya, ada dua tokoh lain yang tidak boleh untuk tidak disebut kalau kita membahas Gerakan Kultural. Pertama Ali Alhanafiah, anak Ali bin Abi Thalib dari istri Fatimah Alhanafiah ini berjasa besar terhadap dunia keilmuan. Sebagaimana diketahui, di masa kepemimpinan Muawiyah dunia keilmuan Islam seolah olah mandeg, apalagi saat anaknya, si Yazid. Ali lah yang tekun mengajar ngaji di serambi masjid Nabawi, melawan tirani kekuasaan dengan gerakan keilmuan. Tak terhitung berapa ilmuwan kenamaan yang lahir dari majelis ini. Wong kalau dirunut, Hasan Basri dan Washil bin Atho saja kader beliau kok.
Kedua, Gus Dur. Kita ambil salah satu sisi saja tentang cucu pendiri NU ini, bagaimana beliau di masa orde baru sangat merepotkan penguasa. Gaya melawannya unik, guyon dan slengekan. Sederhana kelihatannya. Padahal, terlalu besar jasa beliau untuk disebutkan di sini, baik untuk Indonesia maupun dunia. Menurut seorang mursyid, Gus Dur adalah sulthonul aulia fi zamanihi, sementara Sunan Kalijaga adalah sulthonul aulia fil ardlil jawiy. Wallahu a’lam.