Supartono merupakan anak seorang dalang. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan wayang kulit. Jika dihitung-hitung, sudah 49 tahun, pria yang lulus sekolah dasar (SD) ini, sekarang menghabiskan hari-harinya menjadi pengrajin wayang kulit. Ia begitu mencintai wayang kulit.
Usianya tak muda lagi. 58 tahun. Dia begitu tekun membuat kerajinan wayang kulit. Tangannya terampil menatah pola gambar wayang yang dia buat. Dia berkreasi di rumahnya di Desa Purwosari RT 01 RW 03, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro.
Supartono bercerita, awal mula mengakrabi wayang kulit sejak kelas 2 SD. Waktu itu, wayang kulit yang dia buat langsung mendapat pujian dari bapaknya yang seorang dalang sekaligus pengrajin wayang kulit. Bahkan, wayang kulit hasil tatahan pertamanya itupun langsung laku dijual.
Dia masih mengingat dengan jelas karya pertamanya itu dihargai Rp 5.000. Sebagai anak kecil, betapa girang perasaanya. Di usianya yang masih kecil sudah bisa memegang uang sebanyak itu.
“Senang sekali rasanya. Waktu itu sekitar tahun 1972 saya masih kecil sudah bisa menghasilkan uang sebanyak itu,” ungkapnya.
Dari situlah kemudian semangatnya membesar dalam dirinya untuk mendalami kerajinan wayang kulit. Apalagi orang tuanya juga menyambut antusias anaknya dengan memberi dukungan penuh kepada Supartono. Orangtuanya membelikannya lulang (kulit sapi atau kerbau) dan tatah (alat dari besi atau baja) khusus untuk membuat wayang kulit.
Setiap hari selama hampir 5 bulan penuh, Supartono belajar dengan giat membuat wayang kulit dari bapaknya. Lama-lama hasil wayang kulitnya semakin bagus dan rapi dan dia mendapatkan uang lagi.
Belum puas dengan hanya belajar dari bapaknya, menginjak usia remaja Supartono kemudian berinisiatif menimba ilmu ke pengrajin di daerah Sukoharjo , Jawa Tengah. Di sana dia belajar menatah dan mewarnai wayang menjadi lebih rapi lagi.
Sukoharjo memang dikenal dengan kerajinan tatah Sungging. Masuk sebagai daerah penghasil kulit untuk kerajinan wayang kulit.
Hobinya ini kemudian dia jadikan sebagai ladang penghidupan. Sampai berkelurga dan mempunyai anak, satu-satunya pekerjaan yang dilakoninya hingga sekarang adalah perajin wayang kulit.
Wayang buatannya juga sudah terjual kemana-mana. Luar kota bahkan sampai ke luar negeri. Dipasarkan melalui online maupun offline.
“Pernah ada orang Jepang datang ke rumah untuk membeli wayang saya,” tuturnya.
Karyanya dijual dengan harga ratusan hingga jutaan rupiah. Pernah dalam satu bulan dia bisa menghasilkan puluhan juta rupiah. “Tergantung kerumitanya. Kalau yang paling mahal itu saya jual Rp 3-4 juta,”
Bapak dari 3 anak itu menjelaskan bagaimana proses membuat wayang kulit. Pertama, lulang dikeringkan lalu kemudian dibuat pola gambar wayang terus ditatah. Dan setelah itu diwarnai. Dalam pembuatan satu wayang kulit dia membutuhkan waktu sekitar 5 hari.
Seiring perkembangan zaman wayang kulit menjadi kurang diminati masyarakat apalagi generasi sekarang. Pertunjukan wayang kulit juga sekarang sudah sangat jarang. Apalagi ditambah kondisi pandemi covid 19 saat ini yang tidak boleh mengadakan kegiatan mengumpulkan banyak orang. Penjualan wayang kulitnya juga menurun.
Tak hanya itu, ia juga merasa sedih belum bisa menemukan orang yang mau mewarisi keterampilannya. Ketiga anaknya sendiri enggan mengikuti jejaknya. Mau dipaksakan, juga tidak bisa.
Saat ini yang bisa dilakukan Supartono setiap hari bahkan sampai akhir hidupnya kelak, hanya membuat wayang kulit.
“Saya sangat suka dengan wayang. Saya akan terus membuat wayang tidak peduli ada atau tidak ada pesanan. Selain ini menjadi sumber penghidupan bagi saya tapi juga bentuk upaya untuk menjaga kelestarian kerajinan ini.” pungkasnya
Katanya, pengrajin wayang kulit di Bojonegoro sekarang hanya tinggal dua orang saja. Yakni dia dan kakaknya yang tinggal di Padangan