Surat Untuk Pak Jokowi dari Tuban

Sumber: Facebook/@Presiden Joko Widodo

Saya sedang tidak di Tuban, saat bapak akan berkunjung ke tempat kelahiran saya. Kabarnya, semalam bapak sudah menikmati malam di Tuban. Tidur di hotel dan dijaga ketat oleh aparat. Ah, bapak kok merasa tidak nyaman saja. Tidur pakai di jaga-jaga segala.

Banyak warga Tuban yang tidurnya harus tetap menjaga nafas karena polusi pabrik. Ada juga yang kemarin tidur dengan kaki yang tergenang air. Ah, masak bapak lupa. Di Tuban juga banyak warga yang tidur tanpa dijaga dan tetap harus melaut esok pagi.

Pak Jokowi, ini kali ketiga bapak datang di Tuban tempat lahirnya Sunan Kalijaga. Pertama, bapak hadir untuk melihat TPPI. Sebuah perusahaan milik swasta yang akhirnya pemerintah ikut terlibat di dalamnya.

Usai bapak datang. Rosnef, perusahaan rusia akan investasi jor-joran di TPPI dengan akan membuat kilang berskala besar. Selang setahun berikutnya. Bapak datang lagi. Seolah tidak mengunjungi lokasi industri itu lagi. Tapi, bapak menanam pohon. Ya, lokasinya berdekatan tapi saya punya keyakinan kepentingannya tetap sama.

Kehadiran bapak selama dua kali pun meninggalkan luka. Warga bergejolak menolak tanahnya dibuat untuk kilang. Warga merasa itu tanah leluhur yang harus dipertahankan. Tapi ada juga yang setuju tanahnya dibeli. Mungkin sudah capek bertani atau utang banyak dan lumayan ada tambahan untuk membayar dengan uang hasil jual tanah.

Ada pejabat yang ngotot agar proyek yang kono akan membawa kesejahteraan ini biar terlaksana. Di sana sini dilakukan pengkondisian. Tujuannya satu, kilang harus tetap berdiri.

Oalah Pak Joko. Jian bapak kok ya tahu masyarakat kami memang doyang iming-iming uang. Bagi mereka yang hidupnya semburat industri memang seperti air di tengah padang pasir. Apalagi, kalau bukan uang dan pekerjaan. Tanah, air dan laut sudah tak penting lagi untuk dilindungi.

Baca Juga:  Pagi, Petani, Sawah ...

Ini yang kali ketiga. Bapak datang dengan seolah akan panen. Emm.. Panen jagung ya pak? Saya memang bukan petani. Tapi, sehari-hari saya bertemu petani. Jagung memang mudah ditemukan di Tuban. Hampir setiap musim tanam kedua mereka menanam jagung. Meski ada yang tetap tanam padi.

Bapak bisa lihat di Grabakan. Atau mungkin di tempat bapak yang akan panen pagi ini. Jagung di sana di tanam di atas tanah perhutani. Bagi, semua orang memang keren dan perhutani sayang membantu. Tapi siapa yang dibantu? Apakah orang-orang kecil kere dan tidak punya modal bisa ikut menanam jagung? Tanya saja ke orang yang mengundang bapak. Semoga dapat kepastian pengelola lahan di perhutani bukan seorang juragan.

Oiya, saya hanya ingin tanya. Kalau hutan jadi kebun jagung apa ada rencana mengganti Perhutani menjadi Perhujagung? Kalau memang nanti Perhutjagung berdiri semoga sekalian disediakan badan khusus penanganan longsor dan banjir di setiap desa dekat hutan yang sudah gundul.

Tentang jagung. Saya pernah mendapat cerita tentang bibit jagung. Produsen bibit jagung ya pengusaha itu-itu saja. Dan harga bibit yang mengendalikan ya itu-itu saja. Ada juga penjualan jagung. Harga pun segitu-gitu saja. Jadi, negeri ini sebenarnya milik siapa toh pak? Kok yang kaya itu-itu saja. Petani akan tetap jadi orang kelas bawah yang seolah merdeka tapi tangan, mulut hingga kakinya tetap terantai.

Bapak Joko sudah baca koran hari ini? Kalau belum silakan hubungi agen terdekat. Ada gambar dan berita mahasiswa menyatakan protes pada bapak. Terus sama orang-orang yang ada di media sosial justru disorakin. Ya pastilah yang sorak-sorak itu para pendukung bapak dan akun anonim yang sudah lihai menyambut bapak di dunia maya.

Baca Juga:  Doa Awal Menanam Padi, Lengkap Teks Arab, Latin, dan Artinya

Jadi, saya tidak pernah kaget kalau ada yang mengkritik bapak seperti ada pasukan “khusus” untuk membully habis-habisan pengkritik tersebut. Oalah Pak Joko. Kok ya alergi sekali sama kritik. Wong kritik juga nggak biki orang sakit perut toh. Masak kritik bikin ambeyen. Kan ya ndak mungkin. He he he. Ini tertawa saya sudah saya mirip-miripkan dengan bapak yang sepenggal-sepengggal.

Jadi, mahasiswa yang demo itu niatnya baik. Saya meyakini dia sayang dengan negaranya. Caranya dengan memberi kritik sama bapak. Lha kok yang sewot pendukung bapak. Untung saja, kubu sebelah ndak ikut-ikut jadi penumpang gelap di dalam kekuatan protes terhadap bapak.

Jadi, para mahasiswa itu melakukan dengan caranya sendiri. Ya mbok woles lah pak.

Pak, saya mau tanya. Selama tiga kali di Tuban apa yang bapak rasakan. Tetap saja. Biasa-biasa saja. Atau ada perubahan? Jawab lo pak. Masak tiga kali masuk Tuban ndak merasakan perubahan. Bener ndak merasakan? Mosok toh pak. Wong jalan yang sampean eh njenengan lewati itu ditambal habis-habisan kok. Masak ndak terasa. Sedangkan, jalan di desa ada yang sudah rusak perbaikannya masih nunggu jadi berita.

Ya jalan rusak memang ada yang senang dan seneb. Misalnya, kontraktor plat merah untung karena SPKnya cair dan warga senang jalannya mulus lagi. Meski ndak tahu kualitas aspalnya bagaimana.

Hayo selain jalan apa lagi yang ada perubahan? Halah mbel. Paling ndak bisa jawab. Karena memang ndak ada perubahan apa-apa toh pak. Ya beginilah Tuban Pak Joko, biasa-biasa wae. Sing penting pengajian lancar masyarakat dianggap kenyang.

Baca Juga:  Jangan Cabik Kedamaian di Kota Kami

Eh sebelum ditutup, saya mau tanya lagi? Beneran bapak mau maju jadi Presiden lagi? Apa yo nggak capek toh pak. Mbok ya sudah istirahat dulu. Wong selama lima tahun ini juga biasa-biasa toh. Ya begitu-begitu saja toh?

Ini saran lho Pak. Mending sudah ndak usah jadi presiden. Nanti malah riuh lagimada kubu-kubuan lagi. Ada kompor panas lagi. Ada serang-serangan lagi. Ada teror-teroran lagi. Walah, saya ndak isa bayangkan kalau bapak nyapres lagi dan ada lawan cuma satu pula. Terbelah lagi. Repot lagi. Masyarakat jadi korban lagi. Dan anda bersama viral politik tetap ha ha hi hi di balik layar yutube dan televisi.

Palang dan Tasikmadu itu dekat. Mbak Narti bakul rajungan lan welut sepertinya masih buka. Asli pedesnya nendang. Ndak usah ditanya ya Pak. Mbak Narti ambul rajungannya pakai cantrang atau tidak. Terus kalau lewat depan kampus di dekat warung Mbak Narti ya diampiri saja. Nyangkruk sebentar lah. Tinggalkan sedikit buku biar mahasiswanya mau baca lagi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *