SEA Games 2017 Malaysia tempo hari terasa seperti membenarkan apa yang ditulis Chairil Anwar dalam salah satu puisinya berjudul Derai-Derai Cemara bahwa hidup hanya menunda kekalahan. Meski riuh rendah kegetiran perhelatan itu sudah berlalu, tidak ada salahnya kita mencari makna yang tercecer dibalik kekalahan-kekalahan beruntun tersebut.
Sebenarnya, saya tidak terlalu menanggapi akan berbagai dugaan kecurangan yang dilakukan Malaysia dalam sejumlah pertandingan cabang olahraga (cabor). Baik fenomena terbaliknya pemasangan bendera atau kecurangan berdampak walk out (WO) nya cabor sepak takraw, saya tidak terlalu memikirkannya. Sebab, saya yakin, sudah dipikirkan banyak orang. Sehingga, ini berstatus fardhu kifayah bagi saya.
Namun, yang benar-benar membuat saya sedikit merenung adalah rentetan kekalahan Timnas pada cabor futsal dan sepakbola. Bukan tanpa alasan. Kedua cabor ini sangat dekat dengan saya. Selain saya kerap memainkannya, saya juga nonton dengan mata kepala disertai hati dan telinga sendiri. Sehingga, kekalahan itu rasanya benar-benar memantik berbagai “tanda” untuk dibaca.
Timnas futsal Indonesia kalah dari timnas futsal Malaysia dengan skor paripurna 0-5. Ini skor yang bukan main memukul. Apalagi yang mengalahkan adalah Malaysia. Kita tahu, kita ini punya hubungan unik dengan Malaysia, gesekan kecil saja bisa langsung cepat berganda. Saat saya menyaksikan kekalahan tersebut, ingin sekali rasanya masuk ke dalam layar untuk membantu para pemain agar kalahnya tidak terlalu berlebih. Sayang, saya tidak bisa memasuki layar tivi.
Lain ladang lain ilalang, lain cabor lain skor. Namun, tetap saja kekalahan menjadi hasil akhirnya. Di cabor sejuta umat sepakbola, Timnas Indonesia yang bermain sangat ciamik, menguasai ball posesion, mengurung setengah lapangan, hingga kerap memicu peluang mencipta kemenangan, justru kalah dengan cara yang membosankan, 0-1.
Padahal, saya yang sempat merinding gara-gara menyaksikan Yabes Roni meneteskan air mata saat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya tersebut, benar-benar yakin lebih dari seratus persen Indonesia bakalan menang. Setidaknya memenangkan hati Yabes dan para masyarakat Papua yang hari itu— saya yakin, menyempatkan se-sempat-sempatnya—menonton penampilan Yabes di televisi. Ternyata prediksi saya salah, Indonesia lagi-lagi harus kalah.
Rentetan kekalahan bertubi-tubi di bulan Proklamasi seperti ini, membuat saya berfikir tentang hakikat kekalahan. Jangan-jangan, ada pesan halus yang ingin disampaikan arwah para pahlawan kepada kita yang masih hidup, yakni menengok kembali makna persatuan. Mengingat, persatuan menjadi frasa normatif yang kerap diucap di setiap upacara perayaan, tetapi nyatanya sulit diterapkan.
Dengan kalah dari Malaysia, mayoritas masjarakat memiliki kesedihan dan semangat yang sama untuk menerimanya. Tidak hanya itu, berbagai ideologi keagamaan di Indonesia yang beberapa tahun terakhir sempat ada gesekan, secara langsung ikut memiliki satu misi yang sama: mem-puk-puk mendoakan Kontingen Indonesia agar tetap tabah dan bersabar.
Kekalahan 0-5 di cabor futsal dari Malaysia memang menggurat luka di hati para pemeluk olahraga sepak bola kecil itu. Bagaimana tidak? Cabor Olahraga paling populer kedua setelah sepakbola , dengan tempat penyewaan (lapangan) yang selalu ada di setiap sudut kota tersebut, ternyata harus kalah telak dari musuh yang paling dibenci.
Kekalahan dengan skor super telak: “Panca-Kosong” tersebut, harus menjadi bahan permenungan bagi banyak orang. Bisa jadi, ada pesan suci di balik skor tersebut. Misalnya pemilihan angka 5 sebagai skor kekalahan. Tentu, ini mengingatkan kita pada Pancasila. Kita tahu, di bulan Proklamasi ini, berbagai logo, label dan pemaknaan Pancasila selalu menjadi pembahasan. Namun, di saat yang sama masih banyak yang tidak memahami bagaimana memaknainya. Terutama sial sila ke-5.
Ingat, kekalahan 0-5 tanpa balas dari Malaysia, mungkin pengingat bahwa pemahaman yang kita bangga-banggakan terkait Pancasila, jangan-jangan kosong belaka. Sebab, di ulang tahun ke-72 , ormas berlabel Pancasila, banyak yang justru melanggar Pancasila. Terutama bagi mereka yang kerap membubar-bubarkan pameran dan kegiatan positif yang seharusnya mendapatkan perlindungan itu.
Lalu, yang tidak kalah penting adalah kekalahan di cabor sepakbola. Cabor paling favorit dan ditunggu-tunggu. Ibaratnya, cabor apapun terserah mau menang atau kalah. Tapi sepakbola, kalau bisa, ya harus menang. Apalagi lawan Malaysia. Ironisnya, meski secara teknis di lapangan Indonesia sudah bermain sangat bagus dan layak menang, tiba-tiba di menit-menit akhir justru kebobolan. Alih-alih menang, Indonesia justru kalah dengan skor tipis, 0-1.
Kenapa kita harus kalah dengan skor 0-1? Barangkali, kita harus kembali belajar tentang Pancasila sila ke-1, Ketuhanan Yang Maha Esa. Diakui atau tidak, kita kurang paham akan eksistensi sila pertama tersebut. Ke-esaan Tuhan selalu digambarkan sebagai ke-esaan satu golongan saja, bukan keesaan yang universal. Bahkan, lebih parahnya lagi, oleh golongan tertentu, Tuhan justru dijadikan komoditas bisnis belaka.
Barangkali, Tuhan menetapkan kita kalah 0-1 dari Malaysia agar kita kembali belajar. Belajar memahami pancasila, sila ke-1.