Cerita dari Rantau – Hidup memang misteri. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi beberapa detik ke depan, apalagi beberapa waktu kemudian. Begitu juga dengan masa depan. Semua adalah misteri. Semua adalah kemungkinan-kemungkinan yang mendebarkan dan mengejutkan.
Seperti takdir yang saya alami. Saya tidak pernah membayangkan akan hidup di Kalimantan. Tapi nyatanya, takdir melampar saya ke sana. Kenapa saya katakan melempar? Karena itu jauh dari jangkauan fisik dan angan-angan saya. Secara geografis saja itu sudah sangat jauh. Sebuah pulau yang lain. Belahan lain dari Indonesia. Dan juga dimensi waktu yang lain.
Semua bermula dari titik jenuh. Stagnasi. Juga keterdesakan ekonomi. Usaha bangkrut. Peluang-peluang tertutup. Mungkin karena pikiran sudah sangat suntuk hingga semua serasa buntu. Ah, rasanya saya membutuhkan udara segar. Saya butuh sesuatu yang lain; mungkin suasana, situasi, atau bahkan tempat yang berbeda sama sekali. Namun tidak pernah terpikir saya akan pergi jauh ke Kalimantan Timur.
Di saat semua kemungkinan tertutup, dan saya sampai pada titik nadir, di saat itulah saya berdoa: “Ya, Allah, beri saya jalan keluar.” Tak selang berapa lama saya mendapat telepon dari sahabat di Kalimantan. Ia menanyakan kabar saya. Saya bilang sedang buntu, stagnan. Butuh sesuatu yang baru. Lalu ia mendorong saya untuk mengikuti jejaknya pergi ke Kalimantan.
Ia meyakinkan saya bahwa di Kalimantan peluang sangat banyak. Dengan kapasitas yang saya miliki, ia yakin saya bisa lebih bermanfaat. Lebih dari itu, hidup saya akan lebih baik dengan suasana dan lingkungan sosial yang baru.
Niatkan Mengamalkan Ilmu
Karena saya memang sudah menginginkan suasana baru, maka peluang itu tak saya sia-siakan. Saya minta izin pada ibu dan bapak saya untuk hijrah, dan beliau menyetujui. Satu pesan bapak: “Ke sana jangan niat mencari uang, tapi niatkan mengamalkan ilmu. Insyaallah uang akan ikut.”
Maka dengan bekal nekat dan niat mengamalkan ilmu itulah saya terbang ke Kalimantan dengan bantuan tiket dari sahabat saya. Sampai di Bandara Sepinggan Balikpapan – sekarang namanya Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman – saya naik taksi ke Pelabuhan Kampung Baru, lalu menyeberangi teluk menuju Pelabuhan Penajam. Di sana suami sahabat saya sudah menunggu untuk menjemput saya. Saya tinggal di rumah sahabat tersebut selama satu bulan.
Sesampai di sana saya bingung harus melakukan apa. Namun, saya ingat pesan bapak untuk mengamalkan ilmu. Tapi ilmu apa yang harus saya amalkan? Ilmu agama? Ah, di situ sudah banyak tokoh agama yang mumpuni dan kultur religiusnya juga sudah terbentuk. Lalu ilmu apa yang bisa saya amalkan? Saya mulai menelisiknya.
Kemampuan terbaik sekaligus ketertarikan saya adalah menulis – saya adalah mantan jurnalis dan editor di media massa, juga penulis buku. Selain itu, saya punya basic sebagai aktivis pergerakan dan pernah terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat di sebuah NGO. Jadi ada naluri dan kecenderungan suka pada pemberdayaan masyarakat. Dua kemampuan dan interest itulah yang ingin saya amalkan.
Saya dikenalkan sahabat saya pada kepala desa. Ia meng-endorse saya dengan baik sehingga kepala desa tertarik dengan saya. Lalu saya mulai akrab dan sering diajak menghadiri acara-acara di kabupeten dan juga membangun relasi dengan beberapa orang penting di sana. Kami juga merencanakan membuat program bersama. Tapi ternyata belum bisa dieksekusi, apalagi menghasilkan uang.
Saya mulai menelisik lagi tentang kemampuan apalagi yang bisa saya dayagunakan untuk menghasilkan uang. Lalu saya diperkenalkan dengan seorang pemilik lembaga kursus komputer yang macet karena tidak ada yang mengelola. Maka melalui pembicaraan yang serius akhirnya saya akan mengelola lembaga itu dengan sistem bagi hasil. Tapi yang saya jalankan program kursusnya bukan komputer, melainkan Bahasa Inggris, mengingat latar belakang akademis saya sebagai sarjana Sastra Inggris.
Selain itu, saya juga dikenalkan dengan ketua sebuah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang lembaganya sedang membutuhkan sekretaris. Maka saya pun menjadi sekretaris dengan tanpa ada jaminan penghasilan apapun. “Pokoknya kalau ada uang, ya, kita nikmati bersama. Kalau nggak ada, ya, jangan berharap,” katanya. Ok, tak masalah bagi saya. Saya hanya ingin melakukan sesuatu. Tak peduli sesuatu itu menghasilkan atau tidak, yang penting saya bisa bergerak dan berbuat sesuatu yang bermanfaat, itu sudah cukup bagi saya. Niat saya satu: mengamalkan ilmu.
Tiga Tahun Kerja Sosial Tanpa Gaji
Singkat kata, yang saya lakukan kemudian berjalan dengan baik dan menghasilkan uang bagi saya. Bukan hanya itu, dengan terlibat di kedua lembaga itu akhirnya saya punya akses ke Dinas Pendidikan bukan hanya di kabupaten saja, tetapi juga sampai ke tingkat provinsi. Nama saya juga mulai dikenal. Dan saya bahkan sempat menjadi salah satu tim perumus soal ujian nasional untuk PKBM mewakili kabupaten saya.
Di luar itu, saya mulai mengorganisir masyarakat. Saya membidani lahirnya Lembaga Pusat pendidikan Dan Pemberdayaan Perempuan (LP4) Penajam Paser Utara. Saya juga berhasil membentuk Kelompok Usaha Mandiri Perempuan (KUMP) “KASIH IBU” dan mengakses bantuan usaha sebesar 50 juta rupiah dari pemerintah desa. Saya juga terlibat dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Bangun Mulya. Dan semua itu saya lakukan secara sosial (tanpa bayaran) selama tiga tahun. Niat saya memang bukan untuk mencari uang, tapi mengamalkan ilmu.
Tapi, Gusti Ora Sare. Tuhan tidak tidur. Tuhan mengganti jerih payah saya dengan sesuatu yang jauh lebih besar. Sepak terjang pemberdayaan masyarakat yang saya lakukan mempertemukan saya dengan seseorang dari Swiss Contact Indonesia. Ia kemudian menawari saya untuk terlibat dalam program yang sedang dikerjakan lembaganya. Saat itu saya derekrut sebagai konsultan untuk prorgam Coconut sector Developmen (CSD) yang didanai oleh Hivos Belanda.

Kerjasama dengan Chevron
Sukses dengan program itu saya kemudian diangkat menjadi Field Facilitator di program Promoting Rural Integrated Farming, Small Enterprise Cluster, and Microfinance Access (PRISMA), kerjasama antara Yayasan Sahabat Cipta dengan PT Chevron Company Indonesia, yang merupakan program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan tersebut. Saya di tempatkan di Marangkayu, Kutai Kartanegara.
Pengalaman-pengalaman itu membawa saya pada interaksi-interaksi dan jejaring yang lebih luas di kemudian hari dan semakin menambah kapasitas saya dalam dunia pemberdayaan. Hinga saat ini saya lebih dikenal sebagai pekerja sosial dan pelaku pemberdayaan masyarakat, selain tentu saja sebagai penulis.
Itulah cerita singkat perjalanan saya selama hidup di Kalimantan Timur. Banyak detail-detail yang tidak mungkin diceritakan di sini. Namun, ada satu hal yang penting untuk diingat, bahwa hijrah bukanlah sekadar perpindahan tempat, tetapi juga (yang terpenting) perpindahan pola pikir dan perubahan mentalitas. Niat menjadi hal yang sangat esensial untuk kita bisa menggapai sesuatu. Dan yang lebih penting lagi: keimanan dan keberserahan pada Tuhan adalah kunci pembuka semua kebaikan.
Jadi, tetapkan niat yang baik, lakukan segalanya dengan baik, maka hasil pun sudah pasti akan baik. Tuhan Maha Luar Biasa. Ia sesungguhnya menyayangi kita. Kita sendiri yang sering tidak peka terhadapNya.
Tabik.
Penajam Paser Utara, 29 Mei 2020