“Dengan linangan air mata dan terbata-bata, pria yang belum sempat kutanyai siapa namanya itu mendekatkan gawai ke mulutnya, dengan suara lirih . . . melantunkan adzan“
Suara raungan mesin mengiringi terik mentari di terminal Rajekwesi yang menyergap tiap kulit manusia di sana. Bus yang ku naiki perlahan melaju melewati pintu keluar terminal.
Seperti biasa, bus akan nge-time sejenak di seberang jalan, persis sejajar dengan pintu keluar terminal. Beberapa penjual aneka jajanan dan minuman silih berganti menaiki bus jurusan terminal Purabaya-Bungurasih ini.
Aku duduk di bangku nomor dua dari deretan belakang, sebalah kiri. Dekat pintu bus bagian belakang. Saat itu, sudah ada beberapa penumpang yang telah duduk sejak bus masih terparkir dalam terminal.
Bus pun melaju, kali ini siang berjalan lebih lama dari biasanya. Karena jalan A. Yani yang belum lama dilebarkan itu dipadati kendaraan dan sedikit macet. Lima orang berseragam dan satu di antaranya membawa gergaji mesin dengan mobil bertuliskan DKP tampak memangkas dahan-dahan rindang yang menjulang, beberapa pohon yang tertanam di kiri dan kanan jalan raya turut dipangkas hingga ke akar-akarnya.
—
Siang yang Panjang dan Bengsin
Selain siang jadi terasa makin panjang, hawa di Kota Banjir ini juga semakin cetar-membakar. Sopir dengan kacamata hitam itu memacu kendaraan beroda enam ini dengan gesit. Tak lama kemudian sampailah saya di Pasar Babat.
Bus kembali berhenti sejenak sembari mencari tambahan penumpang guna mengisi beberapa kursi yang masih kosong. Para pedagang memasuki bus kami sembari menawarkan jajanannya. Ada tahu goreng, lumpia, kacang godok, wingko dan minuman dingin. Setiap nge-time, sudah bisa dipastikan bakal ada para pedagang serta seniman jalanan yang hilir mudik naik dan turun bus. Mereka menganggap setiap bus yang nge-time itu ialah para rombongan pelanggan.
“Mijon-mijon, akua-akua … tahu-tahu, lumpia. Mijon mas? Tahu Mbak?” Suara dua pedagang riuh menawarkan dagangannya secara bersamaan kepada para penumpang.
Perjalanan dari Terminal Rajekwesi ke Pasar Babat rupanya cukup membuat tenggorokanku kering. Aku membeli sebotol air mineral, lalu menenggaknya.
“Yaopo Cak? Wes pelaris durung?” Tanya salah seorang pedagang ke pedagang lain di depan pintu bus bagian belakang.
“Durung Cak, sampean uwis ta?”,
“Lagek siji cak, akua” Jawab pedagang yang tadi ku beli minumannya.
Tak sengaja aku dengar percakapan dua pedagang di luar pintu bus itu. Aku yang duduk dekat jendela kaca bus, melayangkan pandang ke arah dua pedagang yang sepertinya sudah karib itu.
Tampak pedagang yang belum dapat pelaris menyeka wajahnya dengan sebuah handuk kumal yang mengalung di lehernya. Suara mereka terdengar cukup nyaring dan jelas.
“Owiyo, jare bengsin wes mundak yo?”. Ucap pedagang bertopi.
“Iyo cak, aku ndelok postingan nek pesbuk kimau. Walah mbuh lah, iki ngko tahu, lumpia lan liyo liyane lak melu mundak”.
Kali ini, mereka bergeser ke dekat toko yang berjajar di sepanjang jalan yang selalu ramai itu. Berteduh dari terik, di bawah pohon tabebuya yang setinggi tak lebih 3 meter sambil menunggu bus selanjutnya datang.
Sejurus kemudian, ada pria berumur sekira kepala tiga, dengan sebuah tas ransel yang lusuh dan jaket yang juga terlihat kumuh memasuki bus yang saya naiki. Dia duduk tepat di bangku sebelahku yang dari tadi masih kosong.
Di sebarang jalan sana, sesaat setelah berkeliaran mencari penumpang, ditemani kenek, Pak Kondektur tampak kembali dengan membawa beberapa calon penumpang, langkah mereka tergopoh-gopoh.
—
Rasa Jengkel yang Aneh
Sebelum meletakkan bokongnya, ia sempat tersenyum ramah kepadaku. Ada sebuah rona yang dipancarkan secara bebarengan saat mata kami saling pandang sepintas. Perasaan bahagia dan kacau sepertinya bersemayam dalam benak pria dengan tato di leher itu.
Dengan perasaan yang ragu, aku mulai berbasa-basi “Mandap pundi Mas?”
“Mandap Bungur mas”. Jawabnya ramah. “Njenengan mandap pundi?”
“Sami, kulo nggih Bungur, Mas”.
Kondektur mulai berjalan dan meminta uang karcis kepada setiap penumpang. Ia akan mengurutnya, biasanya kalau tidak mulai dari bangku urutan paling belakang, maka sebaliknya. Kali ini, kondektur dengan kumis yang mulai ditumbuhi uban itu narik karcis dari bangku paling belakang.
“Bungur”, jawab saya sambil menyodorkan uang pecahan 50 ribu rupiah.
Kondektur itu kemudian memberikan uang kembalian, entah berapa, aku langsung melipat lantas memasukkannya ke dalam saku celana.
“Kulo Bungur, Pak” Ucap pria di sebelahku sambil memberikan selembar uang pecahan 10 ribu.
Kondektur kemudian berkata “Kurang mas nek ning Bungur, solar yo mundak e”.
“Nggih, niku mawon pak, sak tutuk e ten pundi mawon” jawab pria itu dengan ramah dan pasrah.
Aku mendengar percakapan mereka, namun aku hanya bisa diam saat itu. Terdiam dan diam-diam menguping.
Kondektur berlalu dan tak mengatakan apa-apa. Tiba-tiba, ada suara telfon masuk, itu nada telfon pria di sebelahku.
“Tekan ngendi Le?” Terdengar suara seorang wanita paruh baya dari dalam telfon itu.
“Lagek numpak bus tekan Babat Buk”
Panggilan yang mulanya hanya suara wasap, dialihkan oleh sang ibunda ke panggilan Video Call.
“Alhamdulillah Le, anakmu Lanang. Guanteng koyok awakmu”. Terdengar suara tangisan bayi yang baru beberapa menit lahir, aku sempat melirik layar gawai pria di sampingku itu.
Perasaan yang ku sebut kacau tadi, seketika menjelma tumpahan linangan air mata yang mengalir di pipi dan membasahi layar gawai pria itu.
“Age, lhang diadzani Le”, kali ini sang ibu mengarahkan kamera gawainya ke arah si bayi mungil yang masih merengek-rengek menangis di atas dada ibundanya yang masih terbaring lemas.
Dengan linangan air mata dan terbata-bata, pria yang belum sempat kutanyai siapa namanya itu mendekatkan gawai ke mulutnya, dengan suara lirih—nyaris tak terdengar — melantunkan adzan.
Beberapa orang penumpang juga sempat memerhatikan atau barangkali juga menyimak perbincangan seorang pria yang baru saja resmi jadi ayah dengan ibu mertuanya itu.
Sesaat usai mengadzani buah hatinya, ia lantas mengakhiri perbincangan.
Bus tak terasa kini sudah membawa kami di pertigaan Pucuk, Lamongan. Untuk ketiga kalinya, bus itu harus nge-time dulu.
Bebarengan dengan itu, seorang pengamen dengan rambut gondrong dan sebuah gitar dengan cat yang sudah terkelupas di sana sini, bernyanyi persis di sebelah supir duduk.
Dengan begitu, ia bak musisi kondang yang sedang konser di atas panggung. Ia menyanyikan ‘Galang Rambu Anarki’ dengan suara yang sangat lantang hingga suaranya terdengar serak-serak parau.
Seperti biasa, setelah menyanyi, pengamen itu menengadahkan sebuah plastik bekas bungkus permen ke setiap penumpang, demi beberapa nominal.
“Lhoh Pang, awakmu ta? Gak nggenjreng ta Koen? Ndi Gitarmu?” Tanya pengamen tadi kepada pria di sampingku
Rupanya mereka saling kenal. Dari obrolan keduanya, belakangan saya tahu, jika keduanya adalah teman satu desa, yang sama-sama merantau mencoba mencari rezeki di jalanan, di dalam bus antar kota.
Pria di sampingku menjawab, “Ape mulih Jon, bojoku sektas lahiran, Lanang”.
“Lhoh Iyo ta? Wah selamat yo” Kali ini pengamen itu menepuk-nepuk hangat pundak pria di sampingku. ”Lha Gitarmu nyang ndi lho?”
“Aku mari kemalingan. Gitar sak dompetku raib. Pas aku turu nek emperan toko, Asu tenan trae”.
“Cuk! Temenan ta? Kok iso i lho, sepurane ya aku rung iso melu mulih, iki enek saktik” pungkas pengamen tadi sambil memberikan setengah kantong plastik berisi uang koin yang ia keluarkan dari tas kecil. Pengamen itu pun dengan langkah tegesa-gesa turun dari pintu belakang, karena bus perlahan mulai kembali melaju.
Seketika badanku menggigil, keringat dingin mengucur dari jemari dan tubuhku. Mendadak ada perasaan jengkel yang aneh menyeruak dari dada. Ada semacam amarah yang tiba-tiba saja membuncah.
Kemarin, seusai isya, 3/9/22