KISAH INI BUKAN KHAYALAN SAYA, melainkan benar-benar terjadi. Saat itu kami aktif di Forum Putra Daerah Peduli Pendidikan (FPDP2) di Kota Kediri. Adalah Gus Coi, begitu kami memanggilnya, salah satu anggota forum yang super semangat. Kami memanggil dia Gus, karena dia mengesankan sosok religius dan anak pesantren. Maklum memang dia lama nyantri di pesantren. Lalu kata “Coi” tersemat begitu saja dan saya lupa asal usul panggilan itu. Yang pasti sampai sekarang kata Gus Coi lebih populer dibanding nama aslinya yang sebenarna lebih “indah” secara makna. Tetapi dalam cerita di sini saya menyebut Mukicoi saja.
Pada tahun 2006, kami berkesempatan bisa mengambil bagian menjadi relawan gempa bumi Yogyakarta. Kami berada di sana selama empat bulan dimulai pada bulan Mei sampai dengan Agustus. Aktifitas kami selama di sana adalah memberi program “traumatic healing” untuk anak-anak korban gempa dan memperbaiki gedung sekolah yang rusak agar bisa digunakan aktifitas belajar lagi.
Pada saat itu basecamp kami berupa tenda-tenda berada di lapangan Trirenggo, Bantul, Yogyakarta. Ada banyak relawan-relawan dari berbagai lembaga dan organisasi dalam negeri termasuk lembaga asing. Ada banyak kamar mandi umum dan toilet yang disiapkan untuk para relawan yang tinggal di lapangan tersebut yang terletak di pojok barat daya lapangan.
Suatu hari, selepas sarapan pagi, beberapa menit sebelum menjalankan aktivitas kerelawanan. Mukicoi dan Mukidin, salah satu teman lain, pergi ke toilet untuk buang air besar. Mereka menggunakan kamar mandi bersebelahan. Setelah beberapa menit, Mukidin keluar dari kamar mandi dan dia melihat Mukicoi masih berada di dalam toilet karena masih ada sarung Mukicoi yang menggantung keluar di pintu toilet.
Mukidin terkenal sebagai orang yang paling usil di organisasi kami, sering kali dia menggoda teman-teman dengan aktifitas usilnya. Nah, sebelum meninggalkan toilet, dia mengambil sarung Mukicoi yang menggantung di pintu toilet dan memindahkannya ke pintu toilet sebelahnya. Setelah itu dia meninggalkan toilet dan kembali ke basecamp. Iseng banget nih Mukidin.
Beberapa menit berlalu. Semua orang meninggalkan basecamp untuk aktifitas kerelawanan. Ada yang bertugas menjaga tenda dan menyiapkan makan siang. Ada yang keluar untuk menjalankan program organisasi ke korban gempa. Mereka semua tenggelam di kesibukan masing-masing. Pekerjaan melelahkan, namun menyenangkan karena bisa membantu sesama manusia.
Pada jam istirahat, kira-kira siang hari pukul 12 siang, seluruh teman-teman relawan mulai kembali ke basecamp untuk istirahat dan makan siang. Saat makan siang siap, semua relawan menyerbu dan menyantapnya dengan lahap. Usai makan, kami masih asyik ngobrol, ada yang serius tentang aktifitas kami hari ini, namun terkadang obrolan santai entah kemana.
Nah, masalahnya, setelah makan siang usai, Mukidin sadar bahwa Mukicoi tidak terlihat sama sekali di antara mereka. Mukidin pun bertanya kepada beberapa teman lain.
“Di mana Mukicoi?”.
Tak seorang pun menjawab dan tahu tentang keberadaan Mukicoi. Mukidin mulai panik.
“Siapa yang tahu Mukicoi? Mukicoi hilang.” Mukidin kembali bertanya. Tapi tak ada yang tahu di mana Mukicoi berada. Tenda makan pun gempar. Mukicoi hilang. Kemana dia pergi?
“Dia tidak bersama kami, kami mengira dia bertugas untuk menjaga base camp,” ujar salah satu teman. Suasana pun menjadi tegang. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mukicoi.
“Astagfirullahal ‘adzim,” tiba-tiba Mukidin berteriak. Kami semuanya kaget dan tidak tahu apa yang dipikirkan Mukidin.
Ia kemudian berlari ke arah toilet dan kami semua mengikutinya dari belakang. Sesampainya di toilet dia melihat sarung Mukicoi masih menggantung di pintu toilet. Itu berarti tidak ada seorangpun yang membantu mengembalikan sarung Mukicoi.
Mukidin pun mulai mengetuk pintu toilet. Tapi tak ada jawaban.
“Coi, Mukicoi. Apakah kamu masih di dalam?”, tanya Mukidin sambil mengetuk pintu. Tetap tak ada jawab.
Dengan perasaan khawatir, Mukidin kembali mengetuk pintu berkali-kali dan mulai dengan keras lagi, tapi tetap tidak ada jawaban apapun dari dalam toilet. Teman-teman di basecamp mulai panik. Kami pun memutuskan mendobrak pintu. Setelah pintu terbuka, masya Allah, kami melihat Mukicoi masih tetap pada posisi semula. Ia duduk berjongkok di toilet, dengan kondisi telanjang di bagian “itunya”. Tangannya bersila di atas lutut dan kepala terkulai lemas di atasnya. Dia tidur di pangkuan tangannya sambil berjongkok.
Lantaran panik, Mukidin mencoba menggoyang-menggoyang tubuh Mukicoi untuk membangunkannya. Khawatir Mukicoi tak sadarkan diri atau kenapa-kenapa.
Dan kemudian, pelan-pelan dengan ekspresi super datar Mukicoi mengangkat kepalanya dan membuka matanya. Ia hanya mengucapkan kalimat pendek: “Kebangeten kowe Din..!”
Hahaha….Meledaklah tawa kami. Kepanikan jadi hilang. Semua menjadi plong. Karena dikiranya Mukicoi semaput atau telah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kasihan, Mukicoi telah berada di toilet selama setengah hari dalam kondisi tanpa celana dan sarung. Selama beberapa jam itu, dia hanya bisa menikmati bau toilet dan tidur di dalam. Kami kemudian memberikan sarungnya dan memapahnya keluar. Oalah.. Coi Mukicoi…
*) Penulis sekarang tinggal di Kota Kediri bersama keluarga tercinta.
Sangat mengharukan
Wkwk.. Nasibmu coi..
Kebangeten… tapi ngakak ???