The Investigation. Ini novel distopia pertama yang bisa saya selesaikan. Baru-baru ini saya menemukan Brave New World karya filsuf cum sastrawan Aldous Huxley, dan satu lagi novel distopia masyhur yang mangkrak di rak buku, 1984 karangan George Orwell. Apa yang saya nikmati dari The Investigation besutan Philippe Claudel adalah paragraf panjang refleksi kehidupan kontemporer. Misalnya, benarkah kita pernah berinteraksi secara intim dengan teman, pasangan, tetangga, atau kalimat apa yang akan kita katakan pada petugas keamanan ketika memasuki suatu wilayah baru, atau apakah kita merasakan bahwa modernitas membuat kehidupan kian statis, robotik-mekanistik dan juga seragam.
Berikut adalah percakapan ketika The Investigator (sang tokoh utama) memesan minuman di sebuah bar, yang mungkin saja dialognya akan kita dengar pada masa yang akan datang atau bahkan kini telah bisa kita temui pada daerah urban.
“A grog,” he said at last
But the Barman replied immediately:
“I’m sorry, that won’t be possible.”
“you don’t know how to make a grog?” the investigator asked, surprised
The Barman shrugged
“Of course I do, but that drink doesn’t appear in our computer listing, and the automated till would refuse to register a charged for it.” (hlm. 11)
Apa salahnya sekedar membuatkan grog (semacam minuman) pada seorang pengunjung yang baru saja turun dari kereta api yang kehausan. Namun di kota ini meski penjaga bar-nya bisa membuatkan toh menu itu tak terdapat dalam daftar pada mesin otomatis, sehingga tak akan ditemukan harganya.
(Adegan ini bisa anda ulang ketika anda datang ke kantor pemerintahan dan mengurus ijin sesuatu dan membutuhkan foto copy, dalam logika umat manusia mustahil sebuah kantor pemerintahan tidak memiliki mesin copy atau printer yang ada feature copy-nya, namun ketika anda kurang foto copy mereka, aparat petugas kantor pemerintahan itu akan bilang ke anda “berkas ini foto copy rangkap dua”. Anda yang tahu bahwa di kantor itu ada mesin foto copy dan meminta copy-kan saja di tempat, maka permintaan anda tak akan dilayani sama sekali)
The investigation -bagi saya- bukanlah novel njelimet yang menawarkan adegan vulgar nan heroik tentang detektif yang sedang menyelidiki sebuah kasus. Melainkan sebaliknya, tokoh utama yang hanya diberi julukan “The Investigator” tak pernah memulai investigasi.
Bagian awal novel ini menceritakan bahwa si tokoh utama harus pergi ke suatu tempat yang bernama The Firm karena ada serangkaian kasus bunuh diri. The Firm sendiri merupakan perusahaan yang memiliki hampir semua bidang usaha dengan puluhan departemen dan ribuan karyawan.
Apa yang terjadi kemudian adalah adegan demi adegan seorang investigator yang tak punya kesempatan melakukan penyelidikan kasus karena tergerus oleh tetek bengek aktivitas lain yang tak berhubungan langsung dengan kasus yang ditangani. Kamar hotel, menu makan, baju, toilet rusak, psikolog, mereka muncul sebagai masalah dan tentunya sedikit sekali sangkut pautnya dengan terbukanya tabir peristiwa bunuh diri yang sedang ia selidiki.
“….i feel i’ve been living in a kind of nightmare since i set foot in this town, or, rather, that i’m the victim of some gigantic hoax. Everything seems to have been set up in order to prevent me from doing what i have to do….” (hlm 51)
Bahwa kemudian modernitas juga memiliki pola kecenderungan yang sama, banyak hal yang mestinya memerlukan penyelesaian berdasarkan spesifikasi keahlian tertentu yang orang miliki namun justru hanya formalitas, hal remeh di luar masalah utama yang menjadikan semakin tersisih dan menjauhkan dari persoalan yang sedang dihadapi.
Novel ini bisa dilihat sebagai metafor dengan kesederhanaan ceritanya. Metafora pertama tentu soal tokoh utamanya sendiri The Investigator, kedua adalah perusahaan The Firm, dan ketiga adalah bunuh diri. Ketiganya juga simbol budaya kontemporer.
The Investigator.
Sebagai tokoh utama ia tak kuasa untuk menunjukkan kemampuannya melakukan investigasi, selain karena dunia yang sedang ia investigasi berbeda dari kesehariannya, ia tak tahu betul betapa luas wilayah yang harus ia jelajahi hanya untuk mendapatkan fakta yang mesti ia ungkap. Absurditas manusia yang pada suatu waktu semuanya berjalan di sisi seberang jalan, congkaknya resepsionis, pengunjung hotel yang diakui berasal dari planet lain, kantor polisi yang letak dan luasnya tak lebih hanya berada di samping toilet hotel, klasifikasi kematian yang tak biasa. Tokoh utama yang bahkan mungkin lupa bahwa tugasnya adalah menyelidiki kasus bunuh diri.
The Firm.
The Firm mungkin nyata dan mungkin tidak, tapi digambarkan teramat nyata dalam novel. Ada kekonyolan adegan ketika direktur menawarkan menu makanan yang tak lagi ada dalam daftar menu, pegawaianya telah pergi entah kemana dan divisi gizi sudah ditutup sekian tahun. Bahkan seorang direktur-pun tak mampu mengenali perusahaanya karena tak tahu ia sedang menjabat sebagai direktur dan tak tahu perusahaan yang dipimpinnya masih berjalan atau tidak.
Bunuh diri.
Begitu banyak kelas refleksi, buku-buku spiritualitas dan hikmah serta panduan menyelamatkan kehidupan dan mendeteksi adanya ketidakberesan dunia, malah modernitas justeru meningkatkan angka bunuh diri. Perusahaan-perusahaan tumbuh menguasai segala usaha dan menyingkirkan kehidupan variatif penuh warna masyarakat rural dan menggesernya menjadi budaya mekanistik formal. Bahwa makan harus tiga kali dan pakaian harus ganti sehari, bahwa jalan mesti pada koridornya tanpa menghiraukan apapun keadaan yang terjadi, tak perlu tegur sapa yang tak tak penting, dan jika ada satu orang yang berbeda maka akan kelihatan aneh dengan sendirinya.
Saya yang pada awalnya merasa bosan dengan novel, karena terombaang-ambing tak tahu kemana plot dan arah serta penyelesaian macam apa yang terjadi menjadi bergairah kembali dan sadar kemudian bahwa kehidupan modern memang beginilah adanya. Selalu paradoks dan terlalu rumit untuk dipahami.
Data Buku:
Judul : The Investigation, Penulis: Philippe Claudel, Penerbit: Maclehose Press London, Tahun: 2014, Tebal: 236 halaman.
_____________
*) Penulis adalah pembaca buku yang tekun, juga senang berburu kopi.