Diurna  

The Post dan Jurnalisme Kita Hari Ini

Foto: Niko Tavernise/AP

“Film The Post bukan sekadar potongan nostalgia yang melihat jauh ke belakang pada hari-hari ketika jurnalisme AS berada dalam kemegahannya”. 

Steven Spielberg mengatakan itu saat diwawancarai jurnalis dari theguardian.com. Film The Post garapan Spielberg memang menjadi hentakan yang mengagetkan bagi jurnalisme dunia. Meski film ini mengambil setting tahun 1971 saat Presiden AS Richard Nixon berkuasa, namun bukan lantas tidak bisa menemui kondisi hampir sama pada masa kini. Dan lantaran memang ada kemiripan masa itulah, Spielberg menggarap dengan cepat film ini.

Bintang-bintang di film The Post seperti Meryl Streep dan Tom Hanks sebagai Katharine Graham dan Ben Bradlee dari Washington Post mampu menunjukkan idealisme itu. Masalah bermula ketika dokumen rahasia tentang perang Vietnam ditemukan oleh sumber Washington Post yang kemudian menurunkan berita dan menggegerkan Gedung Putih.

Film ini berangkat dari fenomena di AS, yakni adanya “perang” antara New York Time dan Washington Post di era pemerintahan Donald Trump. Tapi lepas dari itu, film ini hendak menggambarkan pertentangan antara jurnalisme dan kekuasaan negara. Pertarungan antara idealisme dan pragmatisme. Hal ini menjadi begitu penting hari ini mengingat banyak yang sudah berubah seiring perkembangan teknologi informasi. Bahkan sampai pada tituk antiklimaks dengan bertanya masihkah diperlukan idealisme jurnalis? Jikalau ada, bagaimana bentuk idealisme itu?

Baca Juga:  LPM Stikes ICsada Bojonegoro Gelar Harlah dan Jambore

Merujuk Bill Kovach, ada sembilan elemen jurnalisme. Sembilan elemen itu tentu sebagai gambaran bagaimana jurnalisme ideal yang dibayangkan Kovach. Tentang sembilan elemen itu bisa dibaca di buku yang sudah berbahasa Indonesia yakni “Sembilan Elemen Jurnalisme, Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik”. Yang itu kemudian diamini oleh banyak jurnalis di dunia. Andreas Harsono pun kemudian menulis buku “Agama Saya Adalah Jurnalisme”. Sebagai produk jurnalistik yang “bagus” bisa dilihat dari laporan jurnalistik yang banyak mendapat penghargaan. Salah satunya adalah laporan jurnalistik Laurence Wright yang mengangkat tema aksi 9 September 2001. Laporan itu kemudian dibukukan dalam bahasa Indonesia berjudul “Sejarah Teror, Jalan Panjang Menuju 9/11”. Juga ada laporan jurnalistik yang kemudian dibukukan berjudul “Hiroshima, Ketika Bom Dijatuhkan” karya John Hersey.

Di Indonesia memang tak banyak laporan jurnalistik yang kemudian dibukukan. Dari sedikit itu, Majalah Tempo bisa disebut sebagai media yang kerap membukukan laporan-laporan jurnalistiknya. Bahkan Tempo juga membukukan “behind the scene” dari laporan-laporan jurnalistiknya dalam bentuk buku. Selain itu, buku “Jurnalisme Sastrawi” yang diterbitkan Pantau juga bisa menjadi air yang menyiram kegersangan bacaan hasil jurnalistik yang bagus.

Baca Juga:  Jurnalis Bojonegoro Ikuti Google News Initiative Training Network

Jika membaca buku-buku itu, melonjaklah hati seorang jurnalis yang kemudian mampu berbangga dengan dunia yang ditempuhnya. Tapi, benarkah demikian dunia jurnalistik kita hari ini? Seheroik sebagaimana di film The Post itukah dunia jurnalistik kita kini? Saya tentu tidak punya kapasitas menjawab semuanya. Namun, izinkan saya “membaca” beberapa hal tentang jurnalisme dewasa ini.

Pertama tentang jurnalisme online yang bergerak cepat seiring hadirnya media sosial. Jurnalisme yang berbasis kecepatan memiliki plus minus. Kecepatan tentu saja mengurangi kedalaman dan seringkali mengorbankan akurasi. Meski tentu saja semuanya tidak bisa dipandang dengan kaca mata ekstrem demikian. Tapi bagaimanapun azas kecepatan yang diterapkan media online sedikit banyak mengubah makna jurnalisme itu sendiri.

Kedua, era media sosial telah “mematikan” praktik jurnalisme kaki sebagaimana yang didengungkan oleh Sindhunata. Tak banyak jurnalis yang menganut “madzhab” yang memandang perlunya ke lokasi untuk menulis berita. Teknologi informasi telah memanjakan jurnalis dan mengubah pola kerjanya. Apalagi media sosial ternyata juga berperan sebagai media dan pemilik akun sebagai jurnalisnya. Padahal media sosial tak mempunyai sangkut paut dengan kode etik jurnalistik, meski sama-sama menyebarkan informasi (berita).

Ketiga (dan seterusnya) masalah internal institusi pers masih belum juga terselesaikan. Bagaimana gaji wartawan, bagaimana institusi pers menjaga diri dari kuasa politik dan ekonomi, dan sederet pertanyaan lain yang sulit menemukan jawab. Masalah ini belum selesai, jurnalisme kita sudah dihadapkan pada tantangan-tantangan besar dari dalam maupun dari luar dunia pers.

Baca Juga:  AJI Bojonegoro Serukan Jurnalis Bukan Jurkam & Jurnalisme Tanpa Amplop

Oh ya, ada satu hal lagi yang patut dikhawatirkan. Yakni hoax. Membincang hoax akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Apalagi kini hidup kita sedang dibayang-bayangi hoax setiap hari.

Tapi sudahlah. Setidaknya dengan menonton The Post kita akan tidak melupakan pertanyaan-pertanyaan seputar idealisme pers. Kita masih perlu menyemai angan tentang idealisme itu. Meski sulit dilakukan, tapi minimal kita tak menghapus keyakinan dalam benak kita. Karena jika kita tidak yakin, lalu kepada siapa kita akan menaruh harap?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *