Seorang nelayan pemalas datang kepada kiai untuk meminta sesuatu. Kiai menerimananya di musholla pesantren. “Kiai tolong saya diberi zimat yang bisa membantu saya agar lebih banyak lagi memperoleh ikan”.
Kiai termenung sejenak, kemudian pergi ke sumur. Ia mengambil timba yang dibuat dari daun siwalan, lalu memberikannya kepada nelayan itu.
Ini bawa pulang!”
Nelayan itu hendak memberi uang kepada kiai. Tapi kiai menolak dan untuk kedua kalinya menyuruh nelayan itu segera pulang.
Sang nelayan pun pulang dengan angan-angan yang indah tentang banyaknya ikan yang hendak dikeruknya dari laut, tentang uang yang melimpah, sepeda motor baru, kalung isterinya yang gemerlapan dan lainnya.
Tiap malam Jumat timba itu diasapinya dengan kemenyan. Terjun ke laut tetap saja malas, kadang-kadang pergi kadang-kadang pula tidak. Akan tetapi sejak ia punya timba zimat itu perolehan ikannya biasa-biasa saja. Ditunggu sampai tiga bulan tetap saja penghasilannya dari laut tidak bertambah.
Akhirnya ia datang lagi ke rumah kiai, jangan-jangan ia keliru dalam menghormati timba zimat itu.
“Kiai, timba itu belum memberikan barokah apa-apa. Padahal tiap malam Jumat sudah saya asapinya dengan kemenyan.”
“Oh…Salah engkau memperlakukan timba itu.”
“Yang benar bagaimana kiai?”
“Yang benar, kau kuras laut dengan timba itu sampai air laut kering. Dengan demikian kau akan mudah mengeruk ikan. Yang kini perlu kau tahu, imanmu kepada Allah dan kerja kerasmu itu zimat untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat”.
___________
*) Tulisan ini diambil dari tulisan D. Zawawi Imron dalam buku berjudul Soto Sufi dari Madura, Perspektiff Spiritualitas Masyarakat Desa terbitan Media Cendekia, 2002. (Hal: 10-13).