Timur Budi Raja adalah penyair yang berada pada maqom “manunggaling kawula puisi”. Ia sering berpuisi dalam kondisi yang bahkan ia tak sadari. Sebab kehadirannya adalah puisi itu sendiri.
Malam menunjuk pukul 11.30. Kami berdua ngobrol panjang lebar via telpon. Kepada saya, dia bercerita banyak tentang kondisi terkini perkembangan sastra, masa depan sastra lokal, dan tentu saja, karya-karya terbarunya.
Padahal sebelumnya, kami tak berjanji memperbincangkan sastra — perbincangan itu mengalir begitu saja. Dan itulah kehebatan Timur Budi Raja di mata saya. Dalam perihal kecil, ia selalu terasa sastrawi.
Dalam komunikasi via telepon itu pun, kalimat-kalimat yang Timur Budi Raja ucap tersusun rapi serupa deret abjad puisi. Sesekali mengeluarkan metafora dan berkali-kali bisa membentuk rima begitu saja, tanpa ia sadari.
Berkomunikasi via telpon dengan Timur Budi Raja, serasa mendengar pembacaan puisi. Entah informasi entah gojlokan, saya selalu bisa menangkap kalimat yang penuh intonasi.
Tak heran jika saat bertemu dan ngobrol secara langsung dengan Mas Timur — begitu saya memanggilnya — saya sering merasa seperti sedang membaca ayat puisi. Gerak-gerak kecil dari tubuhnya seperti sedang berpuisi.
Barangkali benar jika ia adalah sosok yang sudah berada pada level “manunggaling kawula puisi” — sosok yang bisa dirasakan aura syairnya tanpa harus melakukan pembacaan puisi. Sebab tubuhnya telah berpuisi sendiri.
Timur menjadi sastrawan produktif yang tak hanya menggarap ranah puisi. Tapi bermacam karya sastra. Bahkan esai non fiksi dan seni pertunjukan. Sastrawan muda asal Bangkalan Madura tersebut, beberapa pekan lalu sempat berbincang bersama saya.
Selain membahas produktivitas karya, juga pandangan-pandangan Timur tentang masa depan sastra daerah, khususnya Bojonegoro.
Timur lahir di Bangkalan, 01 Juni 1979. Menamatkan pendidikan terakhir S1 Sosiologi di Universitas Trunojoyo Madura. Selain menulis bermacam jenis karya, dia juga mengaransir puisi-puisi ke dalam bentuk musik puisi.
Sejumlah buku telah lahir dari tangannya. Beberapa diantaranya, Aksara Yang Meneteskan Api (Lingkar Sastra Junok, 2006). Opus 154 (AkarHujan Press, 2012). Tujuh Tipografi Tahun (Penerbit Delima, 2017), dan Penyamun Saleh (Rumah Akar Literasi, 2017).
Memang, saking produktifnya, jumlah jari tangan tak akan sanggup menghitung bilangan karya yang telah terlahir dari tangan dingin Timur. Selain karya tunggal, misalnya, dia juga berperan dalam beberapa himpunan puisi bersama.
Diantaranya, Akulah Mantera (1996), Mosshat (1998), Anak Beranak (1998), Istana Loncatan (1998), Luka Waktu (1998), Narasi 34 Jam (Komunitas Sastra Indonesia, 2001), Osteophorosis (2001), Hidro Sefalus (2001), Sastra Pelajar (Horison, 2002), Ning (Sanggar Purbacaraka Udayana, 2002). Selain deretan itu, masih banyak lagi karyanya.
Kreativitas Timur tak hanya berpagar pada dunia puisi dan tulisan. Dia juga melakoni sejumlah giat-giat teater. Dia bahkan mengikuti Workshop Teater oleh Ian Jarvis Brown dari Australia yang diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Timur, 1998.
Timur juga mementaskan “Nyanyian-Nyanyian Buram” (naskah sendiri) di tiga kota (Malang, Surabaya dan Nganjuk) dalam rangka Festival Monoplay Keliling Jawa Timur 1998-1999 yang digagas Forum Masyarakat Teater Jawa Timur dan Dewan Kesenian Jatim.
Pengalaman mementaskan karya orang lain dan berperan sebagai sutradara pun pernah dia lakoni. Dia tercatat pernah menyutradarai Orang-Orang Miskin (WS. Rendra) tahun 2001 di Unijoyo, Republik Seolah-olah (N. Yeas) tahun 2002, Pulang ke Indonesia (Timur Budi Raja), pertunjukan teater kolosal Dies Natalies Unijoyo ke-II tahun 2003.
Pentas musik “Mencari Bunyi” Pertukaran Budaya Mahasiswa Oxford-Madura tahun 2003, Mencari Sine (Timur Budi Raja) tahun 2003 di Tanjung Bumi, Mementaskan “Bulan Dalam Baskom (Timur Budi Raja) 2003 di Undar-Jombang.
Dia juga pernah menyutradarai pertunjukan teater “Orang-orang Malam”, karya Soni Farid Maulana, di tiga kota (Bangkalan, Semarang dan Surabaya) 2010.
“Memang selain menulis puisi, saya juga menulis prosa lirik, naskah pertunjukan, dan beberapa esai sastra.” Kata dia.
Berbincang-bincang dengan sosok Timur Budi Raja, akan menjadi sejenis petualangan pengalaman sastrawi yang menyenangkan bagi siapapun yang mendengarkannya.
Dia bercerita, pada kesempatan berbeda, dia menciptakan komposisi musik dan mengaransir puisi-puisi ke dalam bentuk musik puisi. “Hal ini saya lakukan sebagai upaya pencarian dan strategi saya membaca atau mensyiarkan puisi-puisi saya dengan cara yang lain.” Ungkapnya.
Bersama sejumlah teman musisi, Timur meyakini bahwa musik memiliki potensi sangat kuat untuk lebih mudah diterima di alam dengar, sebelum bergerak ke batin dan menuju alam pikir seorang apresian. Sampai detik ini, dia masih melakukan giat tersebut.
“Sekali lagi, ini tentu semata soal cara bagaimana sebuah puisi menemukan ruang-ruang apresiasinya.”
Timur pernah juga berteater. Cukup lama. Dia mencoba memahami, bagaimana teater seharusnya mampu membuka peluang menjawab problem-problem sosial dan politik.
“Hanya beberapa kali saya menjadi aktor dan rupanya saya merasa tiba pada titik jenuh.”
Masyarakat kita, kata Timur, mungkin belum membutuhkan teater semacam itu. Realitas sosial dan politik kita yang bobrok, belum menempatkan teater sebagai outlet, semacam jalan keluar dari keterasingan.
“Mungkin, saya kurang bersungguh-sungguh menjalani kehidupan saya sebagai pelaku teater. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti berteater dan saya batasi pada penulisan naskah semata.” tegasnya.
Masa Depan Sastra di Bojonegoro
Timur percaya, karya-karya yang kelak memenuhi khazanah kesusastraan Indonesia, lahir dari dusun, kampung dan desa. Bojonegoro, kata dia, merupakan salah satu lingkungan sastra yang berpotensi subur bagi kelangsungan kehidupan sastra Indonesia.
Bukan tanpa alasan. Itu ditandai dengan munculnya nama-nama penyair dan penulis novel dari Bojonegoro di kancah nasional. Begitu pun, kata dia, penulis sastra Jawa yang berasal dari Bojonegoro, cukup memiliki nama besar di ranah yang lebih luas.
“Bojonegoro, paling tidak, saya kira mampu menjadi daerah penghasil puisi seperti Sulawesi, Sumatera atau Madura.” Kata pria yang lama tinggal di Bojonegoro tersebut.
Akhir-akhir ini, kisah dia, secara tak sengaja, dia menemui puisi-puisi yang ditulis beberapa penyair mutakhir asal Bojonegoro di media. Umumnya, mereka menempuh study dan berproses kreatif di daerah lain.
“Ini membuktikan, bahwa masa depan sastra Indonesia di Bojonegoro punya kemungkinan yang gemilang.” Katanya.
Dalam berbagai kesempatan, Timur kerap mengatakan, sastra Indonesia hari ini, layaknya gadis cantik yang duduk di sofa dengan paha disilang. Anggun, tapi tak bisa memasak dan mencuci bajunya sendiri.
Analogi di atas, tentu bukan tanpa alasan. Hantu-hantu pertanyaan di benak Timur mendukung lahirnya temuan-temuan, bagaimana fungsi duduk sastra mutakhir dalam realitas sosial dan politik yang goyah saat ini.
Puisi-puisi kekinian kita, menurutnya, tak memiliki cukup kemampuan untuk mengilhami perubahan, pun terhadap keberlangsungan hidup kemanusiaan pada tataran nilai.
“Saya kira ini adalah salah satu persoalan sastra kita saat ini.” Ucapnya menjelaskan.
Di media, utamanya di koran, kata Timur, bertaburan karya sastra yang ditulis nama-nama mutakhir. Puisi, cerpen dan novel, misalnya, terus dilahirkan. Buku puisi, buku novel dan buku cerpen terus diterbitkan tanpa ampun. Penyair dan penulis bermunculan memenuhi media dan pergaulan sastra.
Tapi masalahnya, karya-karya yang membawa kesejarahan proses kreatif yang panjang dan capaian kecerdasan bahasa yang matang, berkelindan dengan karya-karya yang lahir tanpa perhitungan, memasuki ruang perpustakaan dan semesta pembacaan yang kerap lengah melakukan seleksi.
“Satu dua mungkin kita kenang, selebihnya tak tersimpan dan tragisnya tak menyisakan pengetahuan.” Pungkasnya.