Buku cerita Api di Bukit Menoreh karya SH Mintardja pertama kali terbit 1968. Buku itu diserbu penggemarnya. Sejumlah toko buku sempat kehabisan stok pada era 1970 an. Cerita berlatar Kerajaan Pajang hingga Kerajaan Mataram ini pun disukai tak hanya generasi waktu itu, tapi juga generasi puluhan tahun setelahnya.
Banyaknya pembaca Api di Bukit Menoreh tak hanya terjadi di Yogyakarta atau Surakarta saja. Tapi juga terasa hingga Bojonegoro, kabupaten yang tahun 1970 masih berlogo daun jati dan tembakau. Tak banyak toko buku yang menjual Api di Bukit Menoreh era 1970 an di Bojonegoro. Sebelumnya buku Nagasasra Sabuk Inten karya penulis sama juga banyak diburu pembaca.
Dari sedikit tempat, Toko Buku Nusantara adalah salah satu yang diserbu. Waktu itu, Toko Nusantara berada di Jalan Panglima Sudirman, sederet dengan Toko Buku Mataram, Toko Widodo, dan Toko Tanjung.
Toko Buku Nusantara, boleh dibilang sebagai salah satu toko buku tertua di Kabupaten Bojonegoro. Betapa tidak, toko buku ini sudah berdiri sejak tahun 1953 dan beralamat di Jalan Jaksa Agung Suprapto (dulu namanya asyik: Jalan Bengawan Solo). Toko kemudian pindah ke Jalan Diponegoro tahun 1957, dekat toko Bata kini.
Kala itu, di Jalan Diponegoro terdapat pom bensin dan bersebelahan dengan garasi bus Santoso. Bus ini mempunyai trayek Bojonegoro-Surabaya. Toko Buku Nusantara berada di Jalan Diponegoro cukup lama. Saat itu, di sepanjang jalan terdapat banyak pohon asem. Pucuk daunnya sering diambil warga untuk ramuan jamu.
Baru setelah 1970, Toko Buku Nusantara pindah ke Jalan Panglima Sudirman, yakni saat Api di Bukit Menoreh dan Kho Ping Ho jadi bacaan populer. Di sinilah banyak kisah mengiringi.
Beberapa waktu lalu, saya berbincang santai dengan Pak Har, begitu biasa kami menyapa. Pak Har adalah Hariyanto sang pemilik Toko Buku Nusantara. Saya memang sudah lama ingin membuat tulisan panjang tentang toko buku ini. Hanya saja, baru kesampaian sekarang dan tidak panjang, melainkan cukup pendek. Tapi setidaknya bisa mengobati syahwat ingin tahu saya tentang toko buku legendaris tersebut.
Saat di Jalan Panglima Sudirman, Toko Buku Nusantara menjadi tempat nongkrong para wartawan. Apalagi Pak Har menyediakan nomor telepon yang bisa dipakai untuk bersama. Jadi jika ada wartawan yang mendapat telepon dari Jakarta, Pak Har akan mencarikan wartawan dimaksud untuk menerima telepon.
Beberapa nama beken yang dulu sering nongkrong di depan Toko Buku Nusantara diantaranya Budiono Darsono yang kini menjadi Presiden Komisaris Kumparan. Saat itu, Budiono adalah seorang wartawan Surabaya Post. Selain Budiono Darsono juga ada Yusuf Susilo Hartono yang sering ke Toko Buku Nusantara. Yusuf adalah seorang jurnalis cum sastrawan yang mahir membuat gambar sketsa. Di bidang jurnalistik, Yusuf Susilo Hartono menjabat Pemimpin Redaksi Majalah Visual Art. Ia beberapa kali menggelar pameran sketsa dan menerbitkan sejumlah karya sastra berbahasa jawa.
Sayang, Pak Har tak memiliki banyak koleksi foto masa lalu tentang kondisi Toko Buku Nusantara. Ia hanya menyimpan ingatan dengan baik. Di tokonya, keakraban begitu terasa.
Baru tahun 2004, Toko Nusantara pindah ke Jalan Dr Wahidin sebagaimana kini. Menempati lokasi baru seiring dengan dunia perbukuan yang tak berpihak pada toko buku. Karena hampir tiap tahun buku pelajaran sekolah diganti, dan sistem distribusi berubah. Jika dulu siswa ke toko buku, maka sejak saat itu penerbit langsung ke sekolah.
Toko Buku Nusantara telah menjadi bagian bersejarah di Kabupaten Bojonegoro, terutama dalam menyediakan bacaan yang bermutu. Sejak 1963, toko ini telah menyediakan aneka buku bacaan, dari anak-anak hingga dewasa. Kini, dunia digital mengakibatkan disrupsi di berbagai bidang. Dan Toko Buku Nusantara tak mau ketinggalan. Ia juga ‘bermain’ di online yang menjadikan usaha buku ini makin dikenal luas oleh masyarakat.