Kang Tolib mencoba memahami apa yang terjadi akhir-akhir ini dengan cara pelan-pelan. Ya, pelan-pelan sekali. Dia tak mau terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Terlalu menyederhanakan masalah, begitu pikirnya. Meski ia cuma nyantri sebentar saja di pondok tua di desa sebelah, otaknya nggak tumpul-tumpul amat.
Sore itu lumayan panas. Kang Tolib berjalan dan membelok masuk ke warkop Mak Sablah. “Kopi satu Mak,” katanya memberi perintah. Hanya di warkop inilah ia bisa merasa seperti juragan, memerintah Mak Sablah untuk membikinkan kopi. Maklum, di rumah ia tak berdaya di hadapan istrinya. Kalah power, begitu kesimpulannya.
Ia duduk dan melanjutkan apa yang dipikirkannya tadi. Dicobanya menjajar di otaknya apa-apa yang terjadi belakangan ini. Kelompok etnis Rohingya di Myanmar dibunuhi. Anak Gus Dur diolok-olok sebagai anak orang buta. Orang menulis tentang Megawati dan Ang San Suu Kyi dipolisikan. Tahun 2018 Pilkada dan Pilgub digelar. Tahun 2019 digelar Pilpres. Muncul kelompok Saracen yang memperjualbelikan hoax. Candi Borobudur sempat hendak dikepung. Dan…dan….banyak sekali.