Story  

Wisnu dan Harapan dan Totoro-Totoro yang Membahagiakan

Wisnu adalah lelaki yang Totoro-Totoro. Dia selalu menebar energi positif dan keyakinan akan datangnya sebuah harapan, di tengah kekalahan yang membabi-buta. Seperti namanya yang terbangun dari kata wish dan new, dia selalu mampu menghadirkan harapan baru.

** **
Ruang meeting sebuah kantor civil society organization (CSO) di jalan Panglima Polim malam kemarin dipenuhi kesedihan. Ada tiga kubu sedih yang kebetulan bertemu. Pertama, sedih karena Jerman tidak lolos babak 16 besar dengan cara kalah yang ultra memalukan dari Korea Selatan. Kedua, sedih akibat jago pilkada yang tidak lolos pada babak penyisihan. Dan ketiga, sedih karena sakit giginya kumat.

Meski memiliki tiga konteks sedih yang berbeda,  ada benang merah persamaan yang menghubungkannya. Yakni warna hijau. Jerman kalah saat menggunakan kostum berwarna hijau. Jagoan pilkada itu tidak menang saat pakai kostum berwarna hijau. Dan pemuda yang sakit giginya kumat itu, entah sengaja atau tidak,  kemarin juga sedang memakai kaus  warna hijau. Dan saya kira itu hanya kebetulan saja. Dan jangan berpikir mereka akan segera mendirikan Partai Kesedihan Sejahtera (PKS).

Tadi malam, kebetulan saya berada di tengah-tengah muara kesedihan itu. Sebelah kiri saya, lelaki muda ganteng berbekap sedih karena jagoan pilkadanya kalah. Berulangkai dia mengusap mata dan pura-pura kelilipan untuk menyamarkan tangisnya.

Baca Juga:  Bahagia dalam Kesederhanaan

Sebelah kanan saya, lelaki muda berselimut sedih akibat giginya sakit. Dia klojat-klojet pura-pura tidur. Sesekali dia bangun dan  tersenyum agak aneh. Bukan senyum sebenarnya, tapi nyengir menahan sakit gigi. Hanya, karena dia sering tersenyum, dalam keadaan merintih pun masih banyak yang mengira dia sedang bahagia.

Di belakang saya, lelaki agak muda terkapar dalam sunyi gara-gara Jerman  tidak lolos 16 besar. Lelaki berambut ultra gondrong itu memang tidak tampak menangis, tapi langsung pingsan dan pura-pura tidur untuk menutupi kepingsanan-nya.

Ketiganya bermandikan sedih secara berjamaah. Dan saya, tentu saja, ikut merasakan kesedihan yang saya sendiri tidak tahu darimana arah kedatangannya. Saya pun terdiam. Ikut merasakan empati yang membahana.

Di saat seperti itulah, tiba-tiba Wisnu datang dengan membawa tawaran yang aneh dan unik dan lucu dan sungguh tidak terbayangkan sebelumnya: nonton film kartun. Dengan gaya glimbang-glimbungnya yang khas, dia bersabda, “Ayo teman-teman, kita nonton Totoro-Totoro. Ini film kartun yang sangat menenangkan,”

Totoro-Totoro pun kami tonton bersama. Pelan-pelan, Wisnu berupaya mengubah raut sedih orang-orang dewasa yang menelan kekalahan itu menjadi botcah-botcah kecild yang menggemazkan dan tidak lagi memikirkan kalah-menang pertempuran.

Film kartun itu berjudul My Neighbor Totoro. Diproduksi tahun 1988. Sebuah film animasi produksi Ghibli Studio. Kata Wisnu, Ghibli itu Disney-nya Jepang. Film-film animenya mengandung unsur-unsur provokatif, imajinatif, dan sangat emosional.

Baca Juga:  Gagal Coba Lagi! Menyerah Bukan Pilihan

Totoro bercerita tentang keluarga Kusakabe yang terdiri dari ayah (Tatsuo), Satsuki (kakak perempuan) dan Mei (adik Satsuki) yang pindah rumah di sebuah desa di pelosok Jepang. Konon, kepindahan mereka agar lebih dekat dengan ibu mereka yang masih dirawat  di Rumah Sakit setempat.

Keceriaan dan keriangan anak-anak itu diperkuat kehadiran makhluk mirip kelinci raksasa penjaga kampung bernama Totoro. Di mata Mei dan Satsuki, makhluk yang seharusnya mengerikan itu menjadi boneka panda lucu yang menggemazkan. Seperti Wisnu, makhluk itu sangat lutcu.

Cerita berkutat pada petualangan Satsuki dan Mei dalam menikmati hidup di pedesaan. Kejujuran hidup anak-anak benar-benar terasa dalam film ini. Bukan hanya riang dan jujur, tapi juga kemampuan mencintai dan menghargai alam yang sangat kental, kerap diprovokasikan pada para penonton.

Haru, sedih dan bahagia terpapar pada berbagai plot berbasis kekuatan cinta dan keyakinan. Mei, tokoh paling kecil di dalam film, menggambarkan secara langsung pada kami betapa kekuatan dan keyakinan anak-anak itu sangat murni. Dan penuh pengharapan positif.

Keinginannya menjenguk ibu di rumah sakit dan membawakan jagung hasil petikannya sendiri dari sawah, membawanya kesasar dan membuat semua orang kebingungan. Bukan hanya orang-orang di dalam film. Kami, orang dewasa yang ikut nonton itu juga ikut merasakan khawatir dan kebingungan. Totoro membuat mata dewasa kami semua tiba-tiba berlumuran kasih sayang.

Baca Juga:  Jika Hujan Datang, Apa yang Kau Kenang?

Benar saja, film kartun produksi Hayao Miyazaki itu mampu membuat seluruh penonton terdiam dan menyimak dan merenung dan sesekali meneteskan air mata. Pemuda yang sebelumnya menangis karena kekalahan itu, kini sudah melupakan kekalahan mereka dengan cara yang sangat elegan. Di sinilah kehebatan Wisnu yang sesungguhnya.

Di akhir pemutaran film, Wisnu bertanya pada kami semua, “Bagaimana, filmnya membuat kita feel good, kan?” Katanya sambil menggoyangkan kedua tangan seperti ayam jantan yang mengepakkan sayapnya.

Dan pemuda-pemuda yang sebelumnya dirasuki sedih itu pun, tiba-tiba kembali ceria dan memasang raut muka seperti botcah-botcah kecild yang menggemazkan.

Totoro Totoro…. Totoro Totoro..
Totoro Totoro ….. Totoro Totoro ..

Soundtrack film Totoro benar-benar merasup di dalam hati saya. Sampai saat menulis tulisan ini, saya masih seperti mendengar lagu itu dilantunkan secara langsung oleh Wisnu sambil menggoyangkan kedua tangannya seperti ayam yang sedang menari.

Totoro … Totoro….
Totoro… Totoro….

Terimakasih, Wisnu Totoro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *