Poligami Adalah Laku Politik dan Bisnis

Foto: Ilustrasi

Ustaz-ustaz kiwari yang akhir-akhir ini kerab memamerkan kemesraan dalam hal bercinta, berpoligami, hingga “memberdayakan” perempuan secara syariah cum (syur)gawi itu, kadang membuat saya merasa seperti digigit semut rangrang: gatal dan kayak ada panas-panasnya dikit. Atau, seperti lama tidak bertemu seorang teman, sekalinya ketemu langsung ditawarin ikut MLM:memuakkan.

Dengan kerap mengekspos kehidupan pribadi di televisi mainstream, seolah-olah kelakuan ustazfotainment itu sudah menggambarkan lelaki muslim secara keseluruhan: poligami sebagai lelaku ubudiyah. Tentu, menurut saya, anggapan itu pelan-pelan harus diluruskan. Sebab, menghargai perempuan jauh lebih mulia daripada menghalalkan nafsu dengan cara berpoligami.

Di saat masyarakat awam dicekoki berbagai istilah kearab-araban berbasis tuntunan berumah tangga—dan tentunya, tuntunan berpoligami— bagi saya, itu semua tidak lebih hanya kemasan bisnis belaka. Kita tahu, saat ini, bisnis akan cepat melejit jika mengandung istilah Arab. Dari laundri syar’i hingga alat dapur syurgawi. Seolah-olah, dengan menggunakan komoditas itu, kamu bisa otomatis nginden kavling di surga.

Barusan, saya membaca sebuah poster di media sosial berjudul: Cara Kilat Dapat Istri 4. Di mana, narasumbernya meliputi; praktisi istri 4, praktisi istri 3, hingga praktisi istri 2. Selain bisnis berkedok agama, ini merupakan sebuah penistaan. Membawa sunah Rasul sebagai bamper syahwat yang diorientasikan pada kepentingan bisnis.

Baca Juga:  Doa Awal Menanam Padi, Lengkap Teks Arab, Latin, dan Artinya

Padahal, semua tahu, Nabi menikah sebanyak lebih dari satu kali karena memang sesuai tuntutan zaman. Yakni, memperbanyak keturunan dalam rangka mempercepat persebaran agama Islam. Nah, sekarang, oknum-oknum yang mengkampanyekan poligami tentu sudah berbeda tujuan dengan nabi. Selain konteks zaman yang tidak sama, menurut saya, itu lebih didorong urusan syahwati.

 

Poster ini sempat menyebar dan menghebohkan jagat dunia maya

KH. Husein Muhammad Cirebon, salah  seorang Kiai yang juga Komisioner Komnas Perempuan—dalam salah satu tulisannya— menjelaskan, poligami bukanlah praktik yang dilahirkan Islam. Menurutnya,  Islam tidak menginisiasi perkawinan Poligami. Jauh sebelum Islam datang, tradisi poligami telah menjadi salah satu bentuk praktik peradaban patriarkis di seluruh dunia.

Poligami adalah corong peradaban patriarki, peradaban yang memposisikan laki-laki sebagai aktor yang memiliki hak menentukan seluruh aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi hingga politik. Di mana, nasib hidup kaum perempuan dalam sistem ini didefinisikan oleh laki-laki dan untuk kepentingan mereka.

Perempuan, dalam budaya patriarki dipandang sebagai layaknya benda (mataa’) dan untuk kesenangan (mut’ah) laki-laki. Peradaban ini telah lama bercokol bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia, tetapi juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti Mesopotamia, Mediterania dan di hampir seluruh bagian dunia lainnya. Fakta tersebut menunjukkan bahwa poligami sejatinya bukan khas peradaban Arabia, melainkan juga peradaban bangsa-bangsa lainnya.

Baca Juga:  Wanginya Aroma Desa dan Sekelebat Cerita Masa Kecil

Tidak ada hubungannya Arab (apalagi Islam) dengan poligami. Tidak ada hubungannya (syur)ga dengan poligami. Yang berhubungan secara langsung dengan poligami hanyalah nafsu syahwati. Seminar-seminar perihal poligami, sangat berkorelasi dengan nafsu syahwat dan kepentingan ekonomi. Di sinilah, letak penistaan yang sebenarnya itu dilakukan.

Poligami terjadi karena adanya relasi-kuasa antara laki-laki dan perempuan. Lelaki yang memiliki kekuasaan dominan di dalam sebuah hubungan, selalu berpotensi memilih opsi berpoligami. Padahal, seperti yang kerap disinggung Kiai Husein Muhammad, idealnya hubungan tidak menghadirkan relasi-kuasa, melainkan relasi-kesalingan.

Relasi-kesalingan tidak menghadirkan kekuasaan dominan dalam sebuah hubungan. Sebab, kedua belah pihak cenderung saling melengkapi dan saling berbagi peran sesuai sunatullah masing-masing. Jika relasi-kesalingan hadir dalam sebuah hubungan, tentu, tidak ada jalan bagi laku berpoligami. Bagi saya, Gus Mus dan Kiai Husein adalah sosok panutan dalam hal relasi-kesalingan.

Baca Juga:  Kemungkinan Bahasa Indonesia Mendunia (?)

Apa hubungan poligami dan politik?

Begini, hubungan masyarakat dan pemerintahan (dalam hal ini tokoh politik, baik pejabat maupun politisi), Tidak lepas dari teorema relasi. Oknum-oknum politisi yang memiliki bakat “mendominasi” kekuasaan— relasi-kuasa, sangat berpotensi berbuat sewenang-wenang. Mereka suka berbohong, memonopoli dan berbuat curang untuk mendapatakan apa yang mereka inginkan. Tahta, harta dan wanita, semua masuk dalam corong syahwat mereka. Itu menjadi alasan kenapa poligami sangat dekat dengan pejabat, politisi dan pengusaha.

Sebab, ketiga label tersebut (pejabat, politisi dan pengusaha), memiliki kecenderungan berlaku relasi-kuasa. Ingin menguasai kebijakan, ingin menguasai parlemen, dan ingin menguasai zona perdagangan. Kecenderungan “ingin menguasai” inilah, yang mendorong mereka dekat dengan poligami. Sebab, sifat ingin berkuasa adalah embrio dari laku relasi-kuasa, laku berpoligami.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *