RIJSTTAFEL: Jejak Sejarah di Sajian Meja Elite Jawa

Ilustrasi rijsttafel

Di era kejayaan masyarakat Jawa, terdapat segi menarik yang menggambarkan budaya dan status sosial mereka: sajian di meja makan. Status yang melekat pada priyayi dan bangsawan menjadi garis pemisah antara mereka dan wong cilik atau masyarakat umum. Pepatah “kamu adalah apa yang kamu makan” membentuk identitas unik yang terjalin dalam setiap hidangan.

Dalam tatanan ini, status sosial berdampak pada jenis makanan yang dikonsumsi oleh para elit. Jamuan makan yang mewah menjadi hal biasa di kalangan elite Jawa. Pada meja makan mereka, kuliner beraneka ragam terhidang, mencerminkan harmonisasi resep asli Barat dan Cina dengan cita rasa khas orang Jawa. Menu seperti bakmi, sup, bestik, bergedel, sosis, dan lainnya disajikan dalam acara bergengsi, rijsttafel.

Sementara kelezatan masakan tradisional masih terjaga, tren kuliner beranjak. Pengaruh masakan Barat dan Cina menggebrak meja makan, terutama di Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta). Kuliner tradisional, seperti jajanan pasar, mulai tergeser oleh beragam roti Barat dan minuman seperti lemonade, setrup, air Belanda, bir, dan cola yang menyingkirkan minuman tradisional seperti dawet dan cao.

Tidak hanya soal makanan, tetapi sajian di meja juga menjadi penanda identitas sosial. Orang dapat dikenali melalui makanan yang mereka santap. Jamuan makan tidak sekadar menghidangkan hidangan, melainkan pula menggambarkan status dan budaya. Makanan menjadi pemisah golongan. Penyajian makanan di Vorstenlanden membedakan antara jamuan biasa dengan jamuan untuk tamu Eropa.

Baca Juga:  Resep Sederhana Sambal Terong Bakar yang Enak, Gabungan Cita Rasa Pedas dan Gurih

Jamuan makan biasa lebih menghidangkan kuliner tradisional yang disesuaikan dengan selera setempat. Namun, saat menjamu tamu Eropa, hidangan beragam dan menggugah selera disajikan. Ini adalah bukti penghormatan terhadap tamu sekaligus pencitraan status sosial yang tinggi. Menu disusun untuk mengesankan para tamu elit yang hadir. Meskipun begitu, minuman beralkohol tetap menjadi elemen utama, mengisyaratkan kemewahan dan gaya hidup Eropa.

Sejarah mencatat bahwa meskipun minuman beralkohol kerap tersaji, ini adalah penghormatan kepada tuan rumah dan tamu. Namun, pengaruh budaya Eropa mulai mengubah kebiasaan ini. Beberapa elite Jawa mulai mengintegrasikan minuman beralkohol dalam rutinitas sehari-hari, mengikuti pengaruh Eropa yang kian kuat.

Ketika mengulas sejarah “rijsttafel,” kita merenungkan bagaimana setiap hidangan, rasa, dan penyajian mencerminkan lapisan sejarah masyarakat Jawa. Dalam harmonisasi tradisi lokal dan pengaruh luar, meja makan elit menjadi medan interaksi budaya dan status yang mempengaruhi apa yang dihidangkan dan dicicipi.

Baca Juga:  Apakah 5 Jenis Teh Ini Berpotensi Membawa Dampak Negatif pada Kesehatan? Cek Apakah Salah Satunya Favoritmu!

Rijsttafel dan gaya hidup priyayi

Tidak terbantahkan bahwa gaya hidup para elit tercermin dalam jamuan makan yang disajikan dan peralatan makan yang mereka gunakan. Aktivitas makan, yang pada dasarnya adalah pemenuhan kebutuhan individu, di dalam konteks rijsttafel, telah menjadi lebih dari sekadar aktus santap. Makanan berubah menjadi panggung di mana individu merancang definisi diri mereka. Prinsip “kamu adalah apa yang kamu makan” menjadi begitu nyata dalam konteks ini.

Jenis makanan yang dikonsumsi menjadi jendela terhadap gaya hidup individu tersebut. Namun, dalam jamuan makan ini, arti lebih dalam terbentuk: elit tidak sekadar mencerminkan kebiasaan makan mereka, tetapi juga menggunakan makanan sebagai alat politik dan sosial. Di sinilah nilai-nilai elite pribumi muncul, mereka tidak hanya mengadopsi model hidup gaya Eropa, tetapi juga secara cerdas mengambil peluang untuk kepentingan politik dan sosial mereka. Dalam pandangan ini, jamuan makan berubah dari pemenuhan kebutuhan menjadi sarana yang mendukung kesuksesan kelompok atau individu tertentu.

Pengaruh gaya hidup ala Barat yang mulai diterima oleh para elit Jawa, sejak dari masa pendidikan mereka, tidak serta merta menghilangkan identitas mereka sebagai orang Jawa. Terlepas dari adopsi pola pikir dan pengaruh Eropa yang mereka terima, mereka tetaplah Jawa yang akar budayanya tidak dapat dipisahkan begitu saja. Para elit Jawa yang mengimba pengetahuan Barat dan terbiasa dengan aspek-aspek berbau Eropa, masih tetap memiliki ikatan kuat dengan identitas Jawa mereka.

Baca Juga:  Ternyata Membantu Melumasi Sendi: Resep Ongol-ongol Gula Merah Tepung Tapioka Cocok Buat Jualan Pemula

Referensi:

Kartodirdjo, S. (1987). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Gramedia Pustaka Utama.
Kartika, S. (2018). Rekonstruksi Budaya Jawa Melalui Kuliner: Sejarah, Transformasi, dan Identitas. Skripsi, Universitas Gadjah Mada.
Laili Windyastika dan Heri Priyatmoko. Jurnal BANDAR MAULANA VOL 25 NO 1 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *